“Mas Indra?” Dita berucap pelan sembari menatap pria di depannya.“Mas kapan datang? Kenapa tiba-tiba ada di rumah?” tanya Ayu sembari menghampiri pria tersebut.“Salim dulu,” ucap pria jangkung tersebut sembari menyodorkan tangannya di depan wajah Ayu, dan langsung disambut oleh remaja tersebut, lalu mencium punggung tangan pria itu. “Pintar,” ucap pria itu sembari mengelus pucuk kepala Ayu.“Mas, Ayu bukan anak kecil lagi,” protes Ayu yang memanyunkan bibirnya dan menepis tangan pria tersebut.“Dita?” Seorang wanita paruh baya yang muncul dari dapur segera berjalan menghampiri Dita. “Ya ampun, akhirnya ibu bisa ketemu lagi sama kamu.” Wanita paruh baya tersebut langsung memeluk Dita dan terisak.“Alhamdulillah, Bu. Tuhan masih memberikan Dita umur panjang, dan bisa kembali lagi ke desa kelahiran Dita ini,” ucap Dita yang membalas pelukan wanita paruh baya tersebut.Wanita itu semakin terisak dalam pelukan Dita. Sedangkan Dita hanya bisa mengusap lembut punggung wanita paruh baya i
“Mbak Dita, ya?” tanya wanita bergaun merah tersebut. “Iya. Maaf kamu ….” Dita tidak melanjutkan kalimatnya. “Kenalkan saya Inggrit, Mbak. Calon istri Mas Indra,” wanita itu memperkenalkan diri sembari tersipu. “Mas Indra meminta saya agar menjemput Mbak Dita dan Mbak Lastri untuk makan malam bersama di rumah Ibu,” ucapnya lagi.“Oalah. Maaf, ya, jadi ngerepotin,”balas Dita yang merasa tidak enak hati.“Tidak apa, Mbak. Mas Indra minta maaf tidak bisa menjemput, karena takut akan menjadi fitnah dan gunjingan para tetangga nantinya. Ayu juga masih mengerjakan tugas sekolah. Katanya biar cepat selesai supaya bisa ngobrol sama Mbak Dita setelah makan malam,” jelas Inggrit sembari tersenyum pada kedua wanita di depannya.“Ya ampun eggak tahu diri banget kita, ya, Ta. Udah numpang makan, enggak bantu apa-apa lagi,”celetuk Lastri. “Eggak apa, Mbak. Kami senang dengan kedatangan kalian, kok. Ibu sama Ayu jadi terlihat lebih ceria,” sanggah Inggrit. Ketiga wanita itu pun berjalan bersama
Dita tidak kuasa menahan air matanya saat Ibu memeluk tubuhnya. Wanita paruh baya itu juga menangis. “Dita baik-baik saja, kok, Bu. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dita. Dita yakin bisa melewati semua ini,” imbuh Dita yang sedang mengulas senyum tipis. Ibu mengangguk dengan air mata yang terus menetes. Ia hanya sedang menghibur Dita dengan percaya jika wanita itu baik-baik saja. Tidak ada orang yang baik-baik saja dengan sebuah perpisahan. Sebaik apa pun cara yang ditempuh, tetapi tetap akan meninggalkan luka dan kesedihan.Banyak hal yang ingin ditanyakan oleh wanita paruh baya itu pada Dita, tetapi dia juga tidak ingin kembali mengulik luka yang belum mengering. Dia tahu bagaimana perjuangan Dita terhadap mantan suaminya tersebut. Dita rela tinggal bersama suaminya di tempat asing dan jauh dari kedua orang tuanya. Bahkan Dita rela bekerja di negeri orang demi membantu perekonomian keluarga kecilnya, meninggalkan buah hati yang masih kecil. Dan ... setelah perjuangan itu, bukan k
Dita hampir saja kehilangan keseimbangan saat melihat pria yang sedang berdiri di depannya. Seperti mimpi. Keduanya tidak saling bicara untuk beberapa saat karena rasa terkejut yang masih menguasai diri. “Mbak Dita ….”Sampai panggilan dari Ayu menyadarkan Dita. Ia mengerjap beberapa kali dan menatap Ayu yang datang menghampirinya. “Loh, Mas Bimo kapan datang?” tanya Ayu menyapa tamu tak diundang tersebut. “Baru aja, Yu. Kamu apa kabar?” tanya Bimo, menyambut uluran tangan Ayu yang mencium punggung tangannya. “Udah gede, ya, sekarang,” imbuhnya yang mendapat senyum malu dari Ayu. “Alhamdulillah, baik, Mas. Ayu buatkan minum dulu, ya.” Remaja itu masuk ke dalam rumah.“Duduk, A,” ajak Dita yang mempersilakan tamunya untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. “Apa yang membuatmu sampai datang ke sini?” tanya Dita saat mereka sudah duduk. “Kamu terlihat lebih beda sekarang,” puji Bimo yang mengabaikan pertanyaan Dita. Dita tersenyum getir. Sedikitpun ia tidak mau menata
“Mas Indra?” Dita kembali menepis dengan kasar tangan Bimo. Berhasil. Cengkeraman tangannya terlepas. Dita segera menghampiri Indra dan ibunya. “Kamu sudah tidak berhak lagi menyentuhnya, Bimo!” ucap Indra dengan tegas. Pria itu menghampiri Bimo. “Jangan ganggu dia lagi!”Dita cukup terkejut dengan ucapan Indra. Ia bisa menebak jika Ibu sudah memberitahu putranya itu perihal statusnya dengan Bimo saat ini. “Aku hanya ingin bicara dengan Dita, Mas.” Bimo membela diri. “Tapi tidak memaksa seperti itu, Bimo. Kami bisa melihat bagaimana kamu mencengkeram tangannya,” tukas Indra. Ia berbalik menatap Dita. “Ta, apa masih ada yang ingin kalian bicarakan?” tanya Indra pada Dita. “Enggak ada, Mas. Urusan kami sudah selesai,” imbuh Dita. “Ta—” “Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, A. Aku sudah tegaskan sama kamu.” Dita berbalik masuk ke rumah. Ibu menyusul di belakang wanita itu. “Maafkan ibu, Nduk. Ibu kasih tahu Indra tentang status kamu dan Bimo saat ini. Tadi ibu tidak se
Nadiya mengejar suaminya. Ia tidak akan membiarkan pria itu pergi begitu saja. Namun, Bimo bukan pulang ke rumahnya, melainkan pergi menggunakan motor.Tidak banyak yang bisa Nadiya lakukan selain menunggu suaminya pulang dan kembali menjelaskan pada pria itu.Tidak peduli dengan penjelasan Nadiya dan alasan yang diberikan oleh wanita itu. Bimo mendiamkan istrinya selama beberapa hari. Dalam diamnya Bimo mencari tahu tentang fakta yang sebenarnya pada Lastri. Rasa bersalah semakin menyelimuti diri pria itu. Dia bertekad untuk menyusul Dita ke Malang dan menjelaskan kejadian sebenarnya pada wanita tersebut. Tidak peduli apakah Nadiya akan setuju atau tidak. Karena Bimo tidak membutuhkan izin dari wanita itu.Sementara itu, Nadiya yang tahu jika Bimo pergi ke Malang untuk menemui Dita, semakin merasa resah dan takut.“Kejadiannya tidak akan sefatal ini kalau saja Ibu dulu tidak memberikan ide seperti itu padaku,” ucap Nadiya saat Mirna datang ke rumahnya untuk menanyakan apakah Bimo su
Dita masih merutuki diri sendiri. Dia benar-benar malu. Ingin rasanya menenggelamkan diri ke dasar bumi. Setelah makan siang, Dita diminta untuk istirahat lebih dulu sebelum sang majikan menjelaskan pekerjaannya."Ih, kamu kok, malah ketawa terus, sih, Sus!" kesal Dita. "Kamu juga kenapa nggak ngasih tahu aku kalau Tuan Daffin yang jemput. Aku nggak enak banget tau, Susi!" pekik Dita pelan. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Lagian masa setampan dan segagah itu dikira sopir, sih, Ta." Susi masih tertawa. "Aku sempat nggak percaya, tapi dia juga nggak bilang kalau dia itu bos aku. Dia juga bantu bawain barang-barangku ke bagasi mobil," imbuh Dita. "Dia marah nggak ya, sama aku, Sus?" "Tuan Daffin itu memang baik banget, Ta. Nggak cuman dia aja, sih. Tuan dan Nyonya Besar juga baik banget orangnya. Kamu tenang aja, Tuan Daffin nggak akan marah hanya karena kamu ngira dia sopir," kekeh Susi. Sembari istirahat, Susi sedikit menceritakan tentang pekerjaan Dita di sana.
Daffin beralih menatap Dita. "Maaf, mungkin karena kau mengenakan jilbab, Neira mengira kau adalah mamanya," imbuh Daffin. "Tidak apa, Tuan." Dita melambaikan tangan pada gadis kecil dalam gendongan Daffin. "Hai, Cantik," sapanya. "Mama." Lagi, Neira mengulang panggilan yang sama pada Dita. Gadis kecil itu bahkan meronta dari gendongan sang papa meminta digendong oleh Dita. Dita diam mematung. Meskipun ingin sekali menggendong anak itu, tetapi ia tidak berani jik belum mendapat izin dari Daffin."Sayang, itu bukan Mama. Namanya Sus Dita. Dia yang akan nemenin Neira main. Sekarang biar Sus Dita istirahat dulu, ya, Neira main sama papa." Daffin memberi pengertian pada putrinya. Ia takut Dita merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Dari KTP dan keterangan Susi, ia tahu jika Dita sudah menikah dan mempunyai seorang putri berusia 5 tahun. Daffin mempersilakan Dita untuk istirahat lebih dulu. Namun, baru wanita itu membalikkan badan dan belum melangkah ke luar dari ruangan tersebut