“Devina mandi dan siap-siap dulu, ya. Ayah mau ngobrol dulu sama Tante Ami,” ucap Bimo. Sedangkan Devina cukup terkejut mendengar ucapan ayahnya. Ia pikir Bimo akan marah dan tidak mengizinkannya pergi dengan Dita.
“Iya, Ayah.” Devina segera berlari menuju rumah dengan wajah senang.
Setelah kepergian Devina, Bimo mengajak Dita untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.
“Aku harap kamu tidak memberitahu Devina sekarang jika kamu adalah ibu kandungnya.” Bimo langsung melontarkan permintaan itu tanpa basa-basi.
“Maksud kamu apa, A? Kenapa?” tanya Dita. Ia membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria yang duduk di depannya.
“Aku tidak mau kalau sampai Vina kecewa, Dita. Bukankah kamu juga akan pergi lagi meninggalkan dia?”
“Kamu benar-benar egois!” tukas Dita.
“Aku melakukan ini untuk kebaikan Vina. Akan sangat menyakitkan untuknya kalau tiba-tiba kamu datang dan mengaku sebagai ibu kandungnya, tetapi kamu juga akan meninggalkannya lagi. Bukankah itu jauh lebih menyakitkan lagi untuk dia?”
“Kalau begitu biarkan aku membawa Devina ikut bersamaku. Kami tidak akan menganggu kebahagiaan kamu dengan keluarga barumu.”
“Enggak! Aku tidak bisa membiarkan Devina pergi dengan kamu. Dia hidup bersamaku selama 4 tahun. Bahkan, dia tidak mengenal kamu, Dita. Bagaimana mungkin aku membiarkan putriku tinggal bersama wanita asing,” tukas Bimo dengan tergas.
“Apa? Wanita asing? Aku ibu kandungnya, yang melahirkan dia! Bagaimana mungkin kamu mengatakan kalau aku adalah wanita asing untuk putriku sendiri!" ucap Dita. Ia meninggikan satu nada suaranya.
“Kamu memang yang melahirkan dia, Ta, tapi dia tidak tahu seperti apa sosok ibu yang melahirkannya selama ini. Apa kamu lupa? Saat kamu meninggalkan dia, Vina masih berusia 1 tahun dan dia tidak bisa mengingat bagaimana ibunya.”
“Karena kamu tidak mengenalkanku pada putri kita sendiri, A. Tidak banyak cerita tentangku yang kamu sampaikan padanya. Bukankah kamu sendiri tahu, alasan kenapa aku harus pergi bekerja ke negeri orang dan meninggalkan kalian? Bukankah kamu juga yang mengizinkan aku untuk pergi? Kita bahkan sudah membicarakan ini empat tahun lalu sebelum aku pergi. Kita sudah menulis semua mimpi kita,” ucap Dita yang terdengar cukup lirih.
“Sudahlah, Ta. Tidak ada gunanya mengingat masa lalu,” tukas Bimo. Sepanjang obrolan mereka, pria itu tidak berani sedikit pun untuk menatap wanita yang sudah sah menjadi mantan istrinya tersebut.
“Ya. Memang tidak ada gunanya mengingat masa lalu yang sangat buruk itu!” balas Dita. Wanita itu terdengar menghela napas. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang telah diucapkan oleh mantan suaminya tersebut. Di mata Dita, Bimo telah berubah menjadi pria asing. Dita tidak lagi mengenal pria di depannya itu. “Baiklah. Aku akan ikuti semua keinginanmu. Kamu harus ingat satu hal, A. Rasa sakit yang aku rasakan saat ini tidak akan pernah membuat hidupmu bahagia. Kamu harus siap menuai apa yang telah kamu tanam. Tidak ada rasa sakit yang sia-sia dan semua pasti akan kembali pada pelakunya!” sambung Dita. Mata wanita itu menatap tajam pada pria yang sedari tadi hanya menunduk saja.
Tidak ada lagi sanggahan yang Bimo berikan, karena pria itu sadar jika ia sendiri tidak membenarkan semua yang telah ia ucapkan pada mantan istrinya tersebut.
“Aku harap ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku rela menukar sisa kebahagiaanku asalkan Tuhan benar-benar tidak mempertemukan kita lagi. Walau hanya dalam mimpi sekalipun!”
Bimo mendongak saat Dita mengucapkan kalimat itu, tetapi dengan segera Dita memalingkan tatapannya ke arah lain. Hatinya sangat sakit dengan luka dan lebam karena pria itu. Ia sudah tidak sudi lagi untuk melihat mantan suaminya tersebut. Rasa cinta pada pria itu sudah tertutup oleh kebencian yang begitu besar.
“Tante, Vina sudah siap.” Suara Devina mengalihkan tatapan Bimo dari sang mantan istri. Pria itu tersenyum lembut pada putrinya. “Tante, Vina cantik, enggak pakai baju ini?” tanya anak itu yang sudah berdiri di depan Dita.
“Wah, kamu cantik sekali, Sayang. Sini tante bantu rapikan rambutnya, ya,” ucap Dita sembari mengulas senyum lembut pada putrinya.
“Vina ambil sisir sama bando dulu, ya, Tante.” Devina berlari kembali ke dalam rumah. Dita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya karena dada yang kembali terasa sesak. Ia harus bisa menahan perasaannya saat ini.
“Dita aku—”
“Jangan katakan apa pun!” tukas Dita. Saat ini ia benar-benar tidak ingin mendengar satu kalimat pun dari Bimo. Wanita itu bisa mendengar helaan napas berat sang mantan suami. Namun ia mengabaikannya.
“Tante, ini sisirnya.” Devina kembali menghampiri Dita seraya menyodorkan sisir dan sebuah bando berwarna merah muda yang memiliki hiasan pita di sisi kirinya.
“Sini biar mama bantu.”
“Mama?”
Sontak Devina mendongak dan menatap manik mata indah milik Dita. Begitu juga dengan Bimo yang memberikan tatapan tajam pada mantan istrinya itu.
“Maksudnya tante,” ujar Dita meralat ucapannya tadi. Wanita itu tersenyum sembari mencubit gemas pipi Devina. Sementara itu, Bimo menghela napas lega. Ia pikir Dita akan mengatakan kebenarannya sekarang. Namun tetap saja, Bimo khawatir Dita tidak bisa menahan diri dan akan mengatakan semuanya saat ia tidak ada nanti. “Kalau sudah siap, kita jalan sekarang, ya, Sayang,” ajak wanita itu pada Devina. “Ayo Tante,” balas Devina dengan wajah gembira. “Tunggu!” sergah Bimo dan mendapat tatapan tidak mengerti dari Dita. “Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan meminta Alya untuk menemani kalian jalan-jalan,” sambung pria itu sembari melangkah pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut. Dita hanya bisa menghela napas berat mendengar keputusan sepihak mantan suaminya tersebut. Sebelah sudut bibir wanita itu terangkat, sepertinya ia tahu maksud Bim, kenapa adik perempuannya itu harus ikut bersama dengan Dita dan Devina. Bimo sepertinya sangat takut jika Dita akan mengatakan kebenarannya pada
Dita hanya menghela napas berat saat mendengar Alya bercerita tentang pertemuan pertama antara Nadiya dan Bimo."Seandainya waktu itu Teh Rina enggak minta A Bimo buat antar pulang Teh Nadiya, mungkin hubungan mereka tidak akan berlanjut, dan seandainya saja Alya enggak kasih nomor A Bimo sama Teh Nadiya saat dia minta waktu itu, mungkin mereka tidak akan saling berkomunikasi," sesal Alya."Kamu tidak sepenuhnya salah, Alya Seandainya A Bimo bisa menjaga jarak dan membatasi diri, mungkin hubungan mereka tidak akan sejauh itu." Dita menenangkan Alya. Wanita itu menatap lurus pada pohon bunga di halaman depan rumah Lastri. "Yang lebih pantas untuk menjelaskan tentang keadaan ini adalah A Bimo, Alya. Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."Percakapan kedua wanita itu terhenti saat Lastri ke luar bersama suaminya. "Sudah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya wanita itu."Iya, sekarang aja, biar enggak kemalaman pulangnya," jawab Dita."Ya udah, ayo." Lastri dan Dedi berjalan lebih dulu m
Dita menghela napas lega saat berhasil menghindari Tomi. Ia sangat berterima kasih pada Dedi karena cukup peka dan memahami situasi. Dita takut jika Tomi akan membongkar siapa dirinya yang sebenarnya. Devina bersama mereka dan dia tidak khawatir akan hal itu. Tomi adalah salah satu teman mereka. Pria itu jelas mengenali Dita, karena mereka berteman di media sosial milik Dita.*Dita menatap pantulan dirinya pada cermin, lalu tersenyum lebar. Sekedar memberi afirmasi positif agar mood-nya baik. Katanya suasana hati di pagi hari dapat menentukan mood sepanjang hari."Mari lupakan semuanya sebentar dan kita bersenang-senang lagi dengan Vina. Ok?" tanya Dita kepada diri sendiri. "Kita bisa! Semangat!""Cie, yang mau jalan-jalan," seloroh Lastri mengalihkan atensi Dita."Kamu bikin kaget saja, Las. Kalau mau muncul bilang, dong. Mbok kasih kode gitu, biar aku tahu." Dita berkata dengan wajah cemberut.Lastri menahan tawa melihat tingkah laku Dita, terlihat imut. "Iya deh, iya. Aku minta ma
"A Bimo!""Ayah!"seru Serentak Dita dan Devina. Cukup kaget karena tidak menyangka akan bertemu Bimo di sana.'Ih, menyebalkan! Bukankah dia sudah setuju untuk kasih kesempatan aku menghabiskan waktu dengan Vina? Dasar pembohong!' Dita mengutuki Bimo di dalam hatinya. Tentu saja ia tidak tahu jika semua itu adalah ulah Nadiya."Ah, siapa ini?" seru Nadiya dengan wajah kaget yang sengaja dibuat-buat. "Kita ketemu begini, takdir bukan, sih? Karena sudah ketemu, bagaimana kalau kita belanja bersama? Terdengar menyenangkan bukan?"“Tapi….” Bimo melirik ke arah Dita dengan terang-terangan. Ia sengaja tidak menyelesaikan perkataannya. Seolah-olah meminta izin kepada mantan istrinya.Tidak pantas rasanya jika ia datang dan menginterupsi kesenangan sementara yang diberikannya kepada Dita.Sementara itu, Dita segera membuang pandangan. Berpura-pura tidak melihat kode dari Bimo. Dalam hati ia berharap jika mantan suaminya peka terhadap sikapnya dan segera mengajak Nadiya pergi dari sana."Hm,
Mengabaikan Bimo, Dedi memilih untuk pergi ke tempat lain. Pria itu malas jika harus duduk bersama dengan Bimo.Di sisi lain, Nadiya memilih barang yang berbeda sambil terus mengawasi gerak-gerik Dita. Ia akan mengambil kesempatan untuk membuat wanita itu sakit hati.Saat ia melihat Dita memilih dan akan membawakan Devina sebuah baju, Nadiya pun melakukan hal serupa. Lalu, dengan cepat menghampiri gadis kecil itu."Vina, lihat deh, baju ini cocok untuk kamu–""Wah, kamu cocok sekali pakai ini, Vina!" seru Nadiya menyela perkataan Dita dengan suara yang sedikit keras.Devina terlihat senang. Baju yang dipegang oleh Nadiya adalah sebuah gaun yang memang telah lama diidamkan oleh gadis kecil itu."Wah, Mama ingat kalau aku mau baju yang seperti ini? Makasih, Ma," ujar Devina memeluk tubuh Nadiya.Dita yang masih mematung di belakang Devina menggenggam pakaian yang dibawanya dengan erat. Tentu saja ia merasa kesal. Harusnya yang berada di posisi itu adalah dirinya, bukan Nadiya.Beberapa
Beruntung Lastri dan Alya datang tepat waktu.“Vina liat mainannya sama Tante Lastri dan Tante Alya dulu, ya.” Dita mengulas senyum hangat pada putrinya dan mendapat anggukan kecil dari anak itu.“Kita lihat boneka yang di sana, yuk, Vina,” ajak Alya yang segera memahami situasi. Ketiga orang itu pergi meninggalkan Dita dan Bimo.“Kenapa kamu melanggar janji kamu, A. Bukankah kamu sudah mengizinkan Devina untuk menghabiskan waktu bersamaku hari ini? Lantas kenapa kamu mengusik kesenangan yang baru kami lewati beberapa jam ini?” Dita menatap kesal pada mantan suaminya tersebut.“Aku tidak tahu kalau kalian juga ada di sini. Aku hanya mengantar Nadiya yang ingin belanja keperluan Nada di sini,” elak Bimo.“Lalu kenapa kamu tidak membawa istrimu ke tempat lain dan malah membiarkan dia mengikuti kami?”“Kamu melihat sendiri bukan, bagaimana kerasnya Nadiya?”“Bukankah seharusnya sebagai suami, kamu bisa membujuk istrimu?” Dita mendesis kesal. “Oke, kita abaikan tentang istrimu yang terus
Bimo hanya bisa menghela napas pasrah dengan segala kekesalan yang sedang ia rasankan. Kedua wanita itu sama -sama keras kepala. Tidak. Setahu Bimo, Dita dulu bukanlah wanita seperti itu. Dita dulu adalah istri yang sanagat penurut dan patuh padanya. Ah, kenapa ia jadi mengenang masa lalu. Yang jelas, Bimo harus mencegah dua wanita itu bertemu lagi atau mereka akan membuat keributan dan mengundang perhatian para mengunjung yang lain.“Tante makasih, ya, udah beliin Vina ini,” ucap Devina sembari menujuk keranjang yang tengah ia dorong.“Sama-sama, Sayang. tante, kan, sudah janji sama kamu kalau hari ini Tante akan belikan apa pun yang Vina mau.” Dita menghentikan langkahnya dan wanita jongkok di lantai untuk mengimbangi tinggi Devina. “Besok tante harus pulang ke Malang dan tente enggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi. Jadi, hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, ya,” ucap Dita.“Iya, Tante,” balas Devina dengan senyum yang mengembang dikedua sudut bibir mungilnya. Dita seg
Bimo tampak mencengkeram sebelah tangan Nadiya yang terangkat dan nyaris melayangkan sebuah tamparan di wajah Dita. Rahangnya tampak mengeras, pertanda bahwa ia sangat murka atas perbuatan istrinya. Sementara itu, Dita refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menghindari tindakan kasar yang akan dilakukan Nadiya padanya. Mendapat serangan mendadak, Nadiya pun Sigap menoleh ke bekakang dan seketikan matanya membeliak sempurna, saat mendapati sang suami yang ternyata berusaha menahannya. "Kamu apa-apaan sih, Ä?" bentak Nadiya dengan tatapan murka. Jelas saja ia tidak terima atas perlakuan suaminya. Secepat kilat Nadiya berusaha mengentakkan tangannya, berusaha melepaskan dari cengkeraman Bimo. Nihil. Alih-alih melepaskan, Bimo justru menyeret wanita itu keluar dari pusat perbelanjaan tersebut. "A, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" Nadiya memberontak dan berusaha melepaskan tangannya berulang kali. Namun, lagi-lagi ia gagal lantaran cengkeraman tangan kekar di per