Share

Kabur dari Rumah

Walaupun kondisi tubuhnya masih belum sehat, Intan memaksakan diri untuk pergi dari rumah itu. Ia sudah tidak bisa bertahan menghadapi sikap Tommy yang arogan. Intan merasa tersiksa, baik secara fisik maupun mental.

Sebelum meninggalkan rumah itu, Intan mengedarkan pandangannya ke kamar dan seluruh ruangan di rumah itu. Seakan mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya pada setiap kenangan yang ada. Seingat Intan, hanya kenangan buruk yang ia alami di rumah itu. Rumah bak istana yang didambakan oleh semua orang.

Intan bahkan bisa melihat tatapan iri dari para tamu undangan yang dulu hadir di acara pernikahannya. Seorang gadis desa seperti dirinya bisa menjadi istri seorang pewaris perusahaan yang kaya raya. Itu mungkin terdengar seperti dongeng Cinderella bagi semua orang. Namun semua harta kekayaan dan kemewahan ternyata tidak berarti. Intan tidak dapat menemukan kebahagiaan di dalam rumah megah itu, karena ia selalu merasa kesepian. Sang suami yang telah mendapatkan hatinya ternyata tidak pernah mencintai dirinya dengan tulus.

Intan memesan ojek online dan menunggu dengan gelisah. Ia takut Tommy akan kembali ke rumah dengan tiba-tiba. Intan menarik nafas lega ketika ojek pesanannya akhirnya tiba. Intan bergegas keluar dari rumah itu dan naik ke sepeda motor.

"Mas, antar saya ke terminal. Tolong cepat, ya!"

Setelah sepeda motor itu menjauh dari rumah, Intan baru merasa sedikit lebih tenang. Ia merapatkan helmnya dan memeluk tas berwarna hitam di pangkuannya. Sesampainya di terminal, Intan segera menuju loket dan membeli tiket. Ia mencari jadwal bus tercepat yang bisa membawanya ke kampung halamannya.

'Aku sudah harus meninggalkan kota ini sebelum Tommy menyadari bahwa aku pergi dari rumah,' batin Intan.

Masih ada waktu satu jam sebelum bus berangkat. Intan membeli makanan dan minuman untuk di perjalanan nanti. Perjalanan ke kampungnya membutuhkan waktu tujuh jam.

Setelah satu jam menunggu, Intan naik ke dalam bus dan duduk di bangku nomor dua dari depan. Saat bus mulai meninggalkan terminal, Intan menonaktifkan ponselnya. Ia bersyukur, bisa meninggalkan rumah dan kota yang penuh kisah pahit baginya. Intan membelai perutnya, berharap anaknya tetap kuat bertahan dan berjuang bersamanya.

'Maafkan Mama, karena telah membuatmu menderita, Nak. Mama juga harus membawamu pergi menjauh dari papamu, demi keselamatan kita. Mama yakin, papamu gak pernah menyayangi kita atau menginginkan kehadiranmu. Tapi Mama janji akan melakukan yang terbaik. Mama akan membuat kamu selalu bahagia dan tersenyum. Kita akan buat papamu menyesal suatu saat nanti.'

Intan memejamkan matanya dan terlelap beberapa saat lamanya. Ia baru terbangun ketika bus itu berhenti di sebuah rest area. Beberapa penumpang turun untuk menghirup udara segar dan makan siang. Intan juga turun dari bus dan masuk ke sebuah rumah makan sederhana.

Tiga puluh menit kemudian, para penumpang masuk kembali ke dalam bus dan duduk di kursi masing-masing. Intan bersyukur karena sepanjang perjalanan ini ia tidak merasa mual dan ingin muntah seperti biasanya. Ia juga merasa lebih kuat dan tidak demam lagi.

Intan melihat pemandangan ke luar jendela. Masih segar di ingatannya, ketika ia terpaksa meninggalkan kampung dan orang-orang yang ia cintai untuk bekerja di kota. Bukan tanpa alasan ia bisa bekerja di rumah Kakek Nugraha. Kakek Nugraha adalah teman lama dari Kakek Intan. Saat itu kondisi keuangan keluarga Intan sedang terpuruk. Kakek Nugraha berniat membantu dan memberi Intan pekerjaan.

Namun hal yang terjadi selanjutnya memang di luar prediksi Intan. Intan harus menikah dengan Tommy, cucu Kakek Nugraha. Keluarga di kampung menganggap Intan hidup dengan sangat baik dan bahagia bersama suaminya. Namun kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik dengan impian. Intan menutup rapat semua kisah sedih dalam rumah tangganya. Ia tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun, termasuk kedua orang tuanya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Intan tiba di terminal. Ia harus naik ojek selama dua puluh menit untuk tiba di rumahnya. Intan melihat kampungnya tidak banyak berubah. Walaupun sudah dua tahun lebih ia tidak menginjakkan kaki di tempat itu. Kampung yang asri, dengan hamparan sawah menghijau dan udara yang sejuk.

Ia menghirup nafas dalam-dalam, udara dan suasana desa yang sangat ia rindukan selama ini. Di kota, semuanya sangat berbeda, udara yang sudah berpolusi dan terasa lebih panas.

Tanpa terasa Intan tiba di depan rumah orang tuanya. Ia berdiri beberapa saat sambil melihat rumah kayu kecil yang sama sekali tidak berubah. Ada bangku kayu yang sudah usang di halaman. Intan melihat sang ibu sedang menimba air di sumur yang terletak di samping rumah.

"Ibu," panggil Intan sambil menahan air matanya.

Ibu Intan segera berbalik, ekspresi wajahnya sangat terkejut sekaligus senang melihat Intan.

"Intan, sama siapa kamu, Nak?" Ibu memeluk Intan dengan erat.

Ibu menarik Intan masuk ke dalam rumah, bertemu dengan bapak yang sedang membuat kandang ayam. Intan tersenyum dan memeluk bapaknya.

"Ibu dan Bapak sehat?" tanya Intan.

"Sehat, Nak. Kenapa kamu bisa di sini? Mana suamimu?" tanya Ibu Intan.

"Nanti Intan ceritakan, Bu, Pak," jawabnya.

"Oh, iya. Kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu pasti capek. Kebetulan kamu pulang sekarang, Nak. Kami punya kejutan besar untukmu." Wajah bapak berseri seolah ada berita yang sangat baik.

"Apa itu, Pak?" tanya Intan penasaran.

"Tanah kakekmu terjual dengan harga yang sangat tinggi. Tanah itu akan digunakan untuk membuat hotel dan kawasan wisata. Bapak akan menyerahkan semua hasil penjualannya untukmu dan adikmu nanti. Lima triliun rupiah dan uang itu sudah ada di rekening Bapak."

"Apa?! Banyak sekali, Pak, Bu!"

"Iya, Nak. Kita patut bersyukur karena tanah itu bisa terjual dengan harga yang sangat bagus. Bapak hanya berpesan padamu dan adikmu,.gunakan uang itu dengan sebaik mungkin, supaya kehidupan kita bisa menjadi lebih baik. Jangan sampai ada orang yang menghina kita lagi, Nak. Pergunakan dengan bijak untuk usaha yang halal! Jangan sampai uang itu habis begitu saja atau hanya untuk berfoya-foya," pesan Bapak.

"Pak, Bu, ini bukan mimpi, kan? Intan hampir gak bisa mempercayai ini," kata Intan.

"Awalnya kami juga merasa ini seperti mimpi, Nak. Ini nyata, bukan mimpi, Nak. Kami sedang mencari waktu yang tepat untuk datang ke kota dan memberi tahu kamu. Tapi ternyata kamu malah pulang sekarang. Bapak dan Ibu sangat senang kamu datang, Nak."

Intan sangat terkejut, tapi dalam hatinya ia sangat bersyukur. Ia akan menggunakan uang itu untuk menjamin kehidupan anaknya kelak dan membangun usaha.

'Aku akan berubah menjadi Intan yang baru. Intan yang tangguh dan gak akan dihina lagi. Aku akan membalas Mas Tommy dan membuatnya berlutut di hadapanku.' tekad Intan dalam hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status