Cukup lama Intan harus duduk di teras dan merasakan hembusan angin malam yang dingin menusuk tulang-tulangnya. Intan merasa kepalanya sangat pusing dan tubuhnya lemas. Namun berangsur sakit yang ia rasakan di perutnya mereda. Ia nyaris kehilangan kesadarannya ketika pintu terbuka. Intan membuka matanya dan melihat Tommy dan Silvy keluar sambil berpelukan dan tertawa.
"Sampai jumpa besok, Sayang. Hari ini permainanmu sangat hebat. Aku semakin cinta padamu, rasanya aku gak mau berpisah denganmu," kata Silvy dengan manja."Sabar sebentar, Sayang. Kita akan segera bersama dan bahagia. Aku juga mencintai kamu." Tommy mencium dan memeluk Silvy dengan mesra. Intan mengalihkan pandangannya, ia merasa muak dengan ulah kedua orang yang tidak tahu malu itu. Silvy melirik dan tertawa mengejek Intan sebelum meninggalkan rumah itu. Sebuah mobil berwarna hitam mendekat dan menjemput wanita itu. Cahaya lampunya menyorot Intan dan membuat pandangannya semakin berkunang-kunang. Intan merasa seperti seorang pecundang, melihat suaminya bercumbu mesra dengan wanita lain, tanpa bisa melakukan apapun. Ia mengepalkan tangannya sendiri dan menahan rasa kesal di dalam dadanya.Setelah mobil itu pergi, Tommy dengan santai masuk ke dalam rumah. Ia sama sekali tidak peduli pada Intan yang kedinginan dan nyaris pingsan. Intan mengumpulkan kekuatannya, ia berusaha berdiri dengan berpegangan pada kursi kayu dan dinding.Tommy melihat Intan berjalan dengan tidak stabil, tetapi ia mengacuhkannya. Intan juga tidak ingin lagi meminta bantuan atau bertengkar dengan suaminya. Kejadian malam ini sudah cukup membuatnya mengerti, bahwa Tommy sama sekali tidak menganggapnya ada.Baru beberapa langkah melalui pintu, Intan merasa kepalanya bertambah nyeri. Pandangannya tiba-tiba gelap dan ia tidak sanggup lagi bertahan. Intan kehilangan kesadarannya dan jatuh ke lantai.___Entah berapa jam lamanya Intan tak sadarkan diri. Ia membuka matanya perlahan dan terkejut ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tommy masuk dengan setelan jas lengkapnya. Ia sepertinya sudah siap berangkat ke kantor. Jika melihatnya sepintas, tidak ada yang akan menduga kalau pria berparas tampan itu tidak punya perasaan dan sangat keji pada istrinya sendiri."Kamu sudah sadar?" Suara bariton Tommy menggema di kamar itu.Intan enggan menjawab, ia mengalihkan pandangannya ke arah dinding."Jangan terlalu percaya diri! Aku bertanya bukan karena merasa bersalah atau cemas padamu. Aku hanya mengingatkan bahwa tugasmu membersihkan rumah ini harus tetap dilaksanakan dengan baik. Jangan manja dan berpura-pura sakit! Bangun, pemalas!"I-iya, Mas. Tunggu sebentar!" jawabnya lirih.Saat mencoba berdiri, Intan merasa pandangan dan dunianya bergoyang. Ia kembali duduk di tempat tidurnya dan berpegangan. Butuh beberapa saat baginya untuk menghilangkan rasa pusing dan berdenyut di kepalanya."Mas, kepalaku sakit sekali. Rasanya aku demam, badanku juga lemas gak bertenaga. Maaf kalau pagi ini aku gak bisa memasak untukmu," lirih Intan."Jangan coba cari alasan! Atau kamu sengaja menarik perhatianku? Cepat bangun dan buatkan aku sarapan!" cibir Tommy.Intan memeluk tubuhnya sendiri ia terbatuk lemah dan menggelengkan kepalanya. "Aku benar-benar sakit, Mas. Aku gak kuat untuk bangun dan memasak untukmu."Tommy mendekat dan meletakkan tangannya di dahi Intan. Ia terkejut karena Intan memang benar-benar panas."Sial! Kamu benar-benar sakit?"Intan menganggukkan kepalanya dan kembali berbaring dengan lemah.Ponsel Tommy tiba-tiba berdering, ia merogoh sakunya dan melihat layarnya."Halo, Sayang.." kata Tommy sambil berjalan keluar dari kamar.Lima menit kemudian Tommy kembali masuk ke kamar. Ia menatap Intan beberapa saat."Tolong ambilkan aku minum, Mas!" pinta Intan."Urus dirimu sendiri dan jangan manja! Aku gak bisa merawatmu! Aku harus pergi menemui Silvy, karena dia juga sedang sakit.""Apa?! Kamu lebih memilih menemui selingkuhanmu daripada menemani aku? Aku juga sedang sedang sakit, Mas dan aku adalah istrimu. Di mana pikiran dan hatimu?" tanya Intan dengan getir."Tentu saja. Aku mencintai Silvy, bukan kamu!" Tommy berbalik dan melangkah ke pintu."Kamu akan menyesal, Mas! Aku gak akan memaafkan kamu!" teriak Intan dengan sekuat tenaga.Tommy berbalik dan mendekati Intan. "Aku menyesal? Gak akan pernah, Intan Aku suka melihatmu menderita seperti ini"Tommy tetap pergi dan masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian, Intan melihat Tommy keluar dari kamar dengan membawa tas ransel dan kunci mobilnya. Tanpa melirik ke arah Intan, Tommy berjalan dengan cepat menuruni tangga dan meninggalkan rumah itu. Raut wajah Tommy terlihat cemas ketika mendengar kalau wanita selingkuhannya itu sedang sakit.Intan meremas selimutnya kuat-kuat. 'Jadi dia lebih penting bagimu, Mas? Apa gunanya kamu menahanku di sini? Dasar egois!"Intan melepaskan cincin di jari manisnya, melihatnya sekilas dan melemparkan cincin itu jauh-jauh."Cincin palsu, pernikahan palsu!" teriaknya.Intan mengambil bingkai foto pernikahannya di atas nakas. Ia melihat foto dirinya dan Sandy mengenakan gaun indah dan jas pengantin yang mewah. Tommy tersenyum di foto itu, tapi kini Intan mengerti, bahwa senyum dan kebahagiaan itu juga hanya sandiwara.Pantas saja Tommy enggan memasang foto pernikahan mereka di kamarnya. Hanya ada satu foto pernikahan besar di dinding kamar Intan ini, dan satu foto berukuran sedang di atas nakas. Di kamar Tommy, ia justru tetap memajang foto dirinya sendiri di dinding. Ternyata sejak awal memang Tommy sudah berpikir bahwa pernikahan ini tidak untuk selamanya. Intan sadar, tidak ada celah sedikitpun baginya untuk masuk ke dalam hati Tommy. Sayangnya, sekalipun awalnya Intan juga tidak mencintai Tommy, perlahan cinta tumbuh di dalam hatinya. Intan merasa bodoh, karena sudah jatuh cinta dan berharap pada orang yang salah, pria keji yang tidak pernah mengganggapnya ada.Intan tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mencari sebuah map di lemarinya.'Mana surat perjanjian itu? Mengapa dulu aku menandatanganinya tanpa membacanya dengan detail? Saat itu aku terlalu percaya diri dan menyangka kalau Mas Tommy benar-benar tulus mencintai aku. Ternyata dia hanya bersandiwara.'Map berwarna hijau itu masih tersimpan dengan rapi. Intan mengambilnya dan membacanya dengan teliti. Bahasa dalam surat itu memang sulit ia mengerti. Intan merasa Tommy telah menjebaknya. Saat itu Tommy juga memaksanya menandatangani dengan cepat tanpa menjelaskan secara detail mengenai isinya pada Intan.Intan mulai menemukan kalimat dalam lembaran kertas itu, bahwa mereka akan terikat dalam kontrak pernikahan tak terbatas waktu sampai Tommy resmi menjadi pimpinan perusahaan atau setelah Kakek Nugraha meninggal dunia.'Ah, bodohnya aku! Ternyata ini memang rencananya sejak awal. Pernikahan ini tak lebih dari skenario agar Tommy bisa meraih ambisinya sendiri. Aku benci kamu, Mas!' Intan menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertipu dan sangat bodoh karena sempat jatuh cinta pada Tommy.Intan mengambil tas pakaiannya dengan gemetar, ia memasukkan semua pakaian miliknya. "Aku menyerah, Mas! Aku pergi dari rumah ini supaya kamu puas! Nikmatilah kebahagiaanmu dengan wanita itu, Mas, karena itu gak akan bertahan lama. Kamu pasti akan menyesal suatu saat nanti dan mendapatkan balasan yang setimpal!"Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m