Setelah mengetahui kepergian Intan, kondisi kesehatan Kakek Nugraha kembali memburuk. Kakek Nugraha merasa bersalah kepada Intan dan keluarganya. Itu membuat kakek mengalami kesulitan tidur dan tidak berselera makan.
Kakek memerintahkan pada anak buahnya untuk mencari Intan di kampungnya. Namun anak buah Kakek Nugraha tidak dapat menemukan intan dan keluarganya, karena mereka sudah pindah dari sana. Mereka telah kehilangan jejak Intan.Rasa kecewa dan kesedihan membuat Kakek Nugraha semakin melemah. Apalagi ditambah pula dengan rasa kesal dan amarah pada Tommy."Tommy, kenapa kamu tega berbuat seperti itu pada gadis polos dan baik hati seperti Intan?" ucap Kakek Nugraha sambil berbaring lemah di tempat tidurnya.Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban untuk kakek. Sejak saat itu Tommy juga tidak berani menampakkan batang hidungnya di depan sang kakek.Melihat kondisi itu, keluarga besar memutuskan untuk kembali membawa Kakek Nugraha ke Singapura untuk berobat dan menjalani perawatan di sana.Setelah mengetahui kepergian kakeknya, Tommy kembali merasa di atas angin. Kata maaf dan penyesalan yang kemarin diucapkannya di hadapan kakeknya kini bagaikan angin lalu.'Akhirnya kakek tua itu pergi dan menyerah,' batin Tommy dengan rasa lega yang tak terlukiskan.Ia kembali berpikir untuk menemui Silvy dan meminta maaf padanya. Ia tahu pasti, Silvy pasti sangat marah dan kecewa karena tindakannya kemarin.Oleh karena itu, malam itu Tommy datang ke rumah Silvy sambil membawa buket bunga yang besar. Sesampainya di depan rumah Silvy, Tommy meneleponnya.Silvy yang masih kesal awalnya enggan keluar dari rumah. Namun Tommy selalu punya cara untuk merayu dan membujuknya. Silvy akhirnya keluar dari rumah dengan memakai baju tidur tipis dan sweater. Tommy tentu tetap bisa melihat lekuk tubuh indah dari wanita itu.Tommy menelan salivanya dan menatap Silvy, ia sudah sangat ingin menerkam Silvy seperti yang biasa ia lakukan."Mau apa kamu datang kemari?" tanya Silvy dengan ketus."Sayang, jangan marah lagi, ya. Aku bawakan bunga ini untukmu." Tommy menyerahkan buket bunga yang cantik itu pada Silvy.Silvy menerimanya, namun ia hanya melihat sekilas dan meletakkannya di meja."Mudah sekali kamu meminta maaf, setelah kamu menolak dan mempermalukan aku di depan kakekmu? Aku bingung, mana ucapanmu yang bisa aku percayai? Kamu mengatakan akan menikahi aku, tapi setelah itu di depan kakekmu semuanya berubah. Kamu sendiri yang menyangkal ucapanmu itu." Silvy mengalihkan wajahnya ke dinding dan tidak mau menatap Tommy."Maafkan aku, Sayang. Aku saat itu terpaksa melakukannya. Kedatangan kakek yang sangat tiba-tiba membuat aku terkejut. Aku panik dan hanya berpikir bagaimana cara menyelamatkan posisiku. Aku sudah lama berjuang untuk jabatan dan posisi ini, sampai harus menikah dengan wanita jelek itu. Aku gak rela semuanya gagal dan hilang begitu saja," beber Tommy."Aku lelah, Mas. Kalau kamu belum bisa memberi jaminan atas hubungan ini, kita akhiri saja semuanya. Aku bisa mendapatkan pria manapun yang aku mau, anak konglomerat, CEO, semuanya mengakui kecantikanku dan memujaku. Atau aku bisa mendekati Carlo, saudara sepupumu itu. Aku yakin bisa membuat dia takluk dan jatuh ke pelukanku," tantang Silvy.Tommy memegang tangan Silvy. "Jangan begitu, Sayang. Hanya kamu wanita yang bisa menaklukkan hatiku. Aku benar-benar mencintai kamu, inilah fakta yang sebenarnya. Kamu yang kuinginkan untuk menjadi istriku selamanya."Silvy menarik tangannya dan melipatnya di depan dada. "Aku gak butuh semua rayuanmu, Mas. Yang aku minta hanya kepastian. Kapan kamu akan menikahi aku?""Aku tahu, Sayang. Secepatnya aku akan mewujudkan impian kita." Tommy mulai menarik Silvy ke dalam pelukannya dan mencumbunya. Selama beberapa hari saling bertemu, membuat Tommy harus menahan kerinduan dan hasratnya pada Silvy.Silvy melepaskan kecupan Tommy dan meletakkan jemarinya di bibir Tommy. "Tapi bagaimana dengan kakekmu? Bukankah kamu takut padanya? Kemarin saja kamu menolak untuk mengakui aku di hadapan kakekmu. Aku ragu, kamu berani mengakui hubungan kita di hadapan banyak orang, seluruh keluarga dan kolega bisnismu. Aku mau pernikahan kita sah, diketahui oleh seluruh keluargamu. Semua orang harus tahu, bahwa Silvy adalah istri Tommy, CEO Mega Jaya Grup."Tommy menarik kembali pinggang Silvy yang ramping dan memeluknya. "Kamu tenang saja, Sayang. Kali ini aku akan melakukan apapun yang kamu mau. Asal kamu tahu, kakekku sakit sejak mengetahui keadaan Intan. Dia berusaha mencari wanita itu di kampungnya dan dimana saja, tapi gak berhasil menemukan dia. Sekarang kakekku kembali dibawa ke Singapura. Aku yakin, kakek belum membuat keputusan apapun mengenai jabatan dan posisiku karena terlalu sibuk mencari Intan. Jadi posisiku aman sampai saat ini.""Tapi bagaimana kalau kakekmu kembali lagi dan tetap menentang hubungan kita? Apa kamu punya nyali untuk memperjuangkan hubungan dan status kita nantinya? Aku gak mau dipermainkan lagi, Mas. Aku juga gak butuh harapan palsu darimu," ucap Silvy.Tommy terdiam sejenak, namun sebuah senyum licik terukir di wajahnya. "Aku yakin kali ini kakek gak akan bisa kembali ke Indonesia. Aku sudah menyelidiki dan mendapatkan informasi yang akurat, bahwa penyakit kakek menjadi lebih parah dari sebelumnya. Kakek terlalu larut dalam kesedihan dan merasa bersalah pada Intan. Aku yakin kalau kakek kali ini akan tamat.""Benarkah? Jadi gak ada lagi yang bisa menghalangi kita?" tanya Silvy antusias."Tentu saja, selagi kakek dirawat di Singapura, kita bisa bergerak bebas. Kita wujudkan semua keinginan dan harapan kita. Aku akan melakukan beberapa kebijakan dan keputusan di perusahaan yang membuat posisiku semakin kokoh. Seandainya nanti kakek kembali, kita sudah sah menjadi suami istri. Dia pasti gak bisa berbuat apa-apa untuk menentang hubungan kita," jawab Tommy.Setelah mendengar ucapan Tommy, Silvy bisa kembali tersenyum."Kalau begitu, kamu harus menikahi aku secepatnya.""Baiklah, kamu atur saja semuanya, Sayang." Tommy membelai rambut Silvy."Mata Silvy berbinar, ia memegang lengan Tommy dengan erat. "Benarkah? Aku boleh mempersiapkan rencana pernikahan kita sesuai dengan impian dan keinginanku?""Tentu saja, Sayang. Lakukan apapun yang kamu mau. Aku akan selalu mendukungmu, karena aku mencintaimu. Kamu adalah permaisuriku," jawab Tommy dengan yakin."Ah.. Terimakasih, Sayang." Silvy memeluk Tommy dan tersenyum membayangkan impiannya yang akan segera menjadi kenyataan.Tommy berbisik di telinga Silvy, "Sekarang, yang paling penting kamu harus membuat aku senang dulu, Sayang. Beberapa hari ini aku sangat menderita karena gak bisa bertemu denganmu."Silvy tertawa manja, ia pasrah ketika Tommy menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tommy melucuti helai demi helai pakaian yang melekat di tubuh indah Silvy."Ah, kamu memang nakal, Mas!" Silvy tersipu malu, namun ia juga enggan melepaskan tangannya dari pundak Tommy."Kamu yang nakal, kamu selalu hinggap di pikiranku dan membuatku sangat tersiksa." Tommy merapatkan tubuh Silvy dan menjilat bibir merahnya.Godaan dan sentuhan lembut itu seakan memancing Silvy. Tubuh indahnya segera bereaksi dan merespon Tommy."Kamu selalu bisa membuat aku puas, Sayang," bisik Tommy di dekat telinga Silvy."Kamu juga, Sayang. Sejujurnya aku juga selalu merindukanmu. Kamu adalah pria yang sangat aku cintai seumur hidupku." Silvy terengah-engah. Keringat Tommy dan Silvy sudah mengucur deras.Seperti biasanya, keduanya saling memuaskan hasrat dan hawa nafsu mereka. Hubungan di antara keduanya bagaikan candu yang membuat Tommy semakin mabuk asmara dan terikat pada Silvy.Tommy tidak pernah merasa bersalah dengan kepergian Intan. Tanpa ia sadari, di luar sana, ada seorang ibu yang mengandung buah hatinya. Intan harus mengalami derita berkepanjangan karena sang suami.Tommy yang sedang rapat bersama beberapa kepala bagian di ruangannya terpaksa menghentikan rapat itu sejenak. Ia memberi isyarat untuk karyawannya dan meraih ponselnya setelah mendengar beberapa notifikasi pesan masuk.Suara itu ternyata berasal dari notifikasi SMS banking, yang menunjukkan ada transaksi keluar dari rekening tersebut. Mata Tommy terbelalak ketika melihat angka-angka yang tertera dalam pesan yang ia terima. Ada dua nominal dua ratus jutaan dan lima ratus juta. Pengeluaran sebesar itu hanya berjarak beberapa menit saja.Tommy mengerutkan keningnya, ia ingat kartu debit rekening itu dipegang oleh Silvy. Silvy memang biasa berbelanja sesuka hatinya, namun belum pernah ia melakukan transaksi dengan nominal sebesar itu dalam waktu kurang dari satu hari.'Apa yang sebenarnya ia beli?' Tommy langsung kehilangan konsentrasinya. Ia meminta rapat itu ditunda sampai besok. Ia harus segera meminta penjelasan pada Silvy.Setelah para karyawannya meninggalkan ruangannya, Tommy lang
Pagi itu Intan dan adiknya, Rudy sedang berada di kantor. Mereka menunggu perwakilan dari perusahaan lain yang akan mengajak bekerja sama."Pagi, Pak Rudy. Ini istri Bapak? Sudah berapa bulan usia kandungannya?" tanya Pak Sofyan, perwakilan PT. Cipta Mandiri. Intan hanya menyunggingkan senyum dan menjabat tangan Pak Sofyan. Memang bukan baru pertama kali ini ada yang menyangka kalau Intan dan Rudy adalah sepasang suami istri. Perut Intan yang semakin membuncit juga sudah tidak bisa ditutupi, sekalipun Intan memakai baju longgar atau jaket."Iya, Pak. Sudah enam bulan usia kandungannya," jawab Rudy.Sering kali Rudy memang terpaksa mengakui anak dalam kandungan kakaknya sebagai anaknya. Rudy tidak ingin Intan direndahkan, apalagi jika ada yang menghujatnya karena hamil tanpa ada seorang suami di sisinya.Di siang hingga sore hari, Intan menyibukkan diri, sehingga tidak terlalu merasa sedih dan kesepian. Namun saat sendirian malam hari, ia baru akan merasa sensitif dan sering menangis
"Sayang, kamu dimana? Aku sudah di rumah, tapi kamu malah belum di rumah," kata Tommy melalui panggilan ponselnya."Aku masih sama teman-teman arisan, Sayang. Satu jam lagi aku pulang." Silvy mengakhiri panggilan telepon itu sepihak. Tommy bisa mendengar tawa dan celoteh riang beberapa orang wanita yang sepertinya duduk tak jauh dari istrinya.Tommy melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Ia sedikit merasa kesal dengan kebiasaan baru Silvy setelah menikah. Silvy sibuk bergabung dengan para wanita sosialita, ke salon, belanja setiap hari.Bukan masalah jika Silvy bisa mengatur waktu dan tetap bisa melaksanakan tugasnya sebagai istri. Sering kali Tommy harus menjumpai rumah yang sepi saat pulang bekerja. Untungnya ada dua asisten rumah tangga yang selalu membuat pekerjaan rumah beres.Tommy keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Masakan yang tersaji sudah dingin, Tommy tidak berselera menyantapnya sendiri. "Pak, mau saya panaskan makanannya?" tanya Bi Sumi."Gak perlu, Bi," jaw
Silvy yang merasa kesal langsung menuju ke kantor suaminya. Ia tidak peduli ketika sekretaris mencegahnya masuk ke ruangan Tommy. "Mas, aku mau bicara." Silvy membuka pintu ruangan itu. Tommy yang sedang berbincang dengan seorang pimpinan cabang terkejut."Silvy, aku sedang membicarakan masalah pekerjaan. Bisa kamu menunggu sebentar?" bisik Tommy."Aku mau sekarang, Mas. Masalah yang akan aku bicarakan juga gak kalah penting," jawab Silvy.Tommy terpaksa menghentikan pembicaraan dengan karyawannya itu. Tommy meminta karyawan itu keluar dari ruangannya.Tommy berdiri dan mendekati istrinya. "Ada apa ini?" Silvy menatap Tommy dengan tajam, ia sangat marah karena kejadian tadi."Mas, kamu sudah mempermalukan aku di depan banyak orang. Aku tadi sedang di kantor perumahan dan akan bertransaksi."Tommy menghela nafas panjang sambil menatap istrinya yang keras kepala itu. "Kamu gak boleh membuat keputusan sepenting itu sendiri. Kamu itu istriku, seharusnya kamu bicara dulu jika akan mengel
Pagi itu Intan bersiap-siap untuk bekerja. Ia merasa perutnya sedikit kencang dan sakit. Namun setelah beberapa menit rasa sakit itu hilang. Oleh karena itu Intan tetap pergi ke kantor.Setelah menempuh waktu tiga puluh menit, Intan dan Rudy tiba di kantor. Hari itu mereka sedikit sibuk dan ada beberapa janji dengan klien perusahaan. Mereka langsung berjalan dengan cepat ke elevator untuk naik ke lantai delapan.Di dalam elevator, perut Intan kembali terasa sakit."Aduh." Intan meraba perutnya dan meringis kesakitan."Mbak, kenapa?" Rudy memegang bahu Intan dengan panik."Ah, gak apa-apa, Rud. Tadi sedikit sakit, tapi sekarang sudah hilang rasa sakitnya. Mungkin keponakanmu ini semakin besar dan sangat lincah bergerak." "Biasa anak laki-laki, Mbak. Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Rudy."Gak perlu, kamu tenang saja," jawab Intan sambil tersenyum.Intan dan Rudy menuju ruangan mereka masing-masing. Keduanya langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan mereka.Sesuai jadwal, Rudy la
Kehidupan Intan berubah total dengan kehadiran Darren. Darren kecil sangat tampan, sehat, dan menggemaskan. Setiap orang yang melihatnya pasti ingin menggendong dan menciumnya. Sekalipun harus mengalami perubahan pola hidup, jam istirahat, dan harus merawat Darren sendiri, Intan sangat bahagia dan menikmatinya. Intan menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama putranya dengan menyusui, menggantikan popok, menggendong dan menemani Darren setiap malam."Mama sangat menyayangi kamu, Darren," bisik Intan malam itu. Ia sedang menidurkan Darren dalam pelukannya. Intan sadar, waktu sangat berharga dan cepat berlalu. Masa kecil Darren takkan terulang kembali dan akan menjadi kenangan terindah dalam hidup Intan.Setiap malam, Intan selalu memandangi wajah Darren yang tertidur lelap. Wajah Darren sangat mirip dengan Tommy, terutama pada bagian hidung, rambut, dan bibirnya. Kulit Darren juga putih bersih seperti sang papa."Sayang, semoga karaktermu gak seperti papamu. Kamu harus menjadi pria
Melihat foto-foto mesra Tommy dan Silvy, hati Intan terasa nyeri. Di saat dirinya berjuang menjalani masa kehamilannya yang tidak mudah, melewati malam-malam sepi, merasakan sakit dan mengidam sendirian, ternyata Tommy sedang asyik menjalani pernikahan barunya. Bahkan di saat Intan harus bertaruh nyawa untuk melahirkan Darren, Tommy tidak berada di sisinya. Intan berpikir, mungkin Tommy merasa lebih bahagia saat ini. Mungkin saja Tommy sudah menganggap dirinya mati, atau tidak pernah hadir dalam hidupnya.Malam itu, dari balkon kamarnya Intan menumpahkan air mata kemarahannya. Ia segera menghubungi Rudy untuk menemuinya di ruang keluarga."Rud, Mbak akan segera melaksanakan rencana untuk membalas Mas Tommy," katanya."Mbak yakin sudah siap? Keluarga mereka bukan orang sembarangan. Mereka mempunyai uang, aset, dan pengaruh yang besar dalam dunia bisnis," ujar Rudy."Beberapa bulan ini kita sudah mempelajari usaha mereka. Kita juga meningkatkan kapasitas dan kemampuan kita. Mbak juga t
"Mas Tommy, pulang sekarang! Kamu harus menjelaskan sesuatu padaku!" teriakan Silvy di ujung telepon membuat Tommy tersentak.Tak biasanya Silvy marah dan memaksanya seperti itu. Tommy mematikan dan menutup laptopnya. Beruntungnya hari ini tidak ada jadwal apapun, Tommy hanya memeriksa dan menandatangani beberapa berkas di mejanya.'Apa lagi yang Silvy mau? Apa dia mau memaksa untuk membeli rumah lagi? Kenapa dia gak berhenti membuat masalah?' Tommy mengurut keningnya yang terasa pusing memikirkan ulah Silvy yang beragam setiap hari.Tommy segera meninggalkan kantornya, ia tahu Silvy akan semakin meradang jika ia tidak segera pulang. Silvy bahkan pernah datang ke kantor dan meluapkan amarahnya di depan beberapa karyawan. Hal itu tentu membuat Tommy merasa sangat malu di hadapan para karyawannya.Tommy akhirnya tiba di rumah. Ia melihat penampilan Silvy sangat kacau. Silvy duduk di sofa, dengan air mata bercucuran yang membuat sebagian riasannya luntur. Tommy sama sekali tidak mengerti