Anais menoleh ke sosok pemilik suara yang berada di sampingnya. Wanita dengan gaun malam berwarna hitam yang terbuka dan menampilkan hampir seluruh dadanya.
Anais memutar bola matanya malas, sepertinya akan ada perdebatan sengit antara mereka. Jujur saja, pertemuannya dengan Sarah, adalah sesuatu yang tidak baik. Anais yakin jika salah satu dari keluarga Anderson juga berada di tempat ini. Atau mungkin semua.
“Apa maksudmu dengan wanita sepertiku?” tanya Anais pura-pura menanggapi. Dalam hatinya, ia sangat malas untuk berurusan dengan Sarah.
Mereka berdua berdiri berdampingan menatap angin kosong. Tentu saja dengan pikiran mereka masing-masing.
“Apa kamu datang untuk menggoda pria di pesta ini?” tuduh Sarah pada Anais.
Anais menertawakan pertanyaan Sarah dalam hati. ‘Menggoda? Bukankah kata-kata itu tepat untuk menggambarkan dirimu?’ batin Anais sinis.
Melihat tidak ada perlawanan dari Anais, Sarah kembali memprovokasi Anais. Ia beralih menatap wanita dengan surai panjang yang tergerai dan menari mengikuti irama angin itu.
Sarah melipat tangannya di depan dada seraya menatap sinis ke arah Anais. Kemudian berbisik, “Aku sebentar lagi akan menikah dengan Garvi. Papa bilang akan merayakannya dengan sangat mewah.”
“Garvin juga sudah menyiapkan villa untuk kami bulan madu,” imbuhnya tanpa rasa malu.
Sarah tersenyum puas saat mendapati Anais sepertinya tertarik dengan ucapannya. Akhirnya ia berhasil memancing emosi Anais. Tunggu hingga amarah wanita itu meledak-ledak, maka Sarah akan mempermalukan Anais di hadapan semua orang.
Anais berdecak dalam hati. Seperti itukah rasanya bahagia karena hubungan yang direstui? Tidak seperti dirinya yang tidak ada tamu undangan. Bahkan orang tua saja tidak hadir. Bulan madu pun tidak ada dalam agenda mereka. Karena satu hari setelah pernikahan Anais dan Garvi, pria itu harus tetap berangkat bekerja. Jika tidak, pria bernama Louis Anderson itu akan marah-marah tidak jelas.
“Kenapa ada orang yang begitu bangga dengan suami yang didapat dari hasil merampas dari wanita lain?” sindir Anais.
“Dasar tidak tahu malu!” sinis Anais kemudian.
Seketika mata Sarah membola. Urat lehernya juga ikut menegang seiring cibiran yang keluar dari mulut Anais. Tangan yang sedari tadi terlipat di depan dadanya kini terlepas dan bertengger di pinggangnya.
“Seorang artis terkenal macam kamu nggak bisa cari pria yang masih sendiri? Kenapa harus pria beristri?” cecar Anais pada Sarah.
“Dasar kurang—”
“Berhentilah bertindak bodoh di hadapan semua orang,” bisik Anais penuh penekanan. Kemudian mengulas sebuah senyum manis di bibirnya.
Tangan Sarah mengambang di udara. Niatnya untuk menampar Anais ia urungkan karena keadaan sekitar. Banyak orang melihat dan Sarah tidak mau ambil resiko.
“Kamu tidak lihat, berapa banyak orang yang sedang menyaksikan saat ini?” tanya Anais. Dan sekarang giliran Anais yang melipat tangan di depan dada.
Mata Sarah memindai sekitar. Beberapa orang sedang menyaksikan mereka, beberapa juga tengah mengambil foto Sarah karena dirinya mengundang perhatian.
“Aku sih, tidak masalah kalau menjadi bahan gunjingan karena mereka tidak mengenalku. Sedangkan dirimu, apa kamu yakin tidak masalah?”
Anais tersenyum puas karena bisa mempermainkan Sarah. Ia tersenyum sinis ke arah Sarah sebelum meninggalkan tempat itu. Sedangkan Sarah hanya bisa menahan amarahnya dalam hati.
***
“Apa yang membuatmu begitu kesal, Sayang?” tanya Garvi pada Sarah saat mereka berada di meja makan untuk menikmati hidangan.
“Apa kamu nggak lihat Anais?” bisik Sarah pada Garvi.
Garvin menautkan kedua alisnya heran. “Anais? Bagaimana bisa ada Anais di sini?”
Sarah meletakkan garpu di atas meja. Kemudian memutar tubuhnya menatap pria pujaan hatinya itu yang tidak percaya dengan ucapannya.
“Aku tidak bohong. Ada Anais di sini,” ucap Sarah dengan nada kesal.
“Ada apa dengan wanita itu?” tanya Louis yang baru bergabung bersama mereka. Ia duduk di hadapan Sarah dan mulai membenahi peralatan makannya.
“Sarah bilang, Anais ada di tempat ini, Pah,” ucap Garvi yang diakhiri dengan tawa kecil. Ia tidak percaya jika Anais berada di tempat yang sama dengan mereka.
Saat masih menjadi istrinya saja, Garvi tidak diperbolehkan membawa Anais ke pesta perjamuan atau pertemuan apapun. Lalu sekarang, wanita itu menghadiri pesta dengan siapa? Tidak mungkin!
“Aku nggak bohong, Pah,” ucapnya meyakinkan Louis. “Dan ia menjadi wanita menyebalkan yang pernah aku temui.”
“Aku juga baru saja bertemu dengannya. Dan aku semakin membencinya,” ucap Louis tenang seraya memotong daging steak yang ada di mejanya. Membuat Garvi menghentikan aktivitas makannya lalu menatap Sarah dan Ayahnya secara bergantian.
“Tidak mungkin. Anais tidak mungkin bersikap kasar. Di bentak saja ia akan langsung menangis.” Garvi tidak percaya dengan cerita Sarah maupun ayahnya tentang Anais.
“Maksudmu, aku berbohong?” Sarah memicingkan netranya.
“Bukan seperti itu. Hanya saja—” Garvi tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat Sarah mulai menatapnya dengan tatapan kesal. Ia mengurungkan niatnya untuk membahas tentang kepribadian Anais yang lemah lembut dan periang. Tidak mungkin rasanya jika Anais berubah menjadi seperti apa yang mereka ceritakan.
Mariana, menghabiskan segelas air putih yang tersedia di meja karena saking kesalnya dengan sikap Anais. “Kamu tahu, Garvi. Wanita itu bahkan berani menjawab ucapan Mama. Tunggu saja sampai kamu melihatnya. Kamu akan benar-benar tercengang. Kamu akan menyesal sudah menjadikan wanita itu seorang istri,” imbuh Mariana.
Garvi masih terdiam, ia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan tentang Anais. Wanita lemah lembut itu berubah menjadi orang yang berbeda hanya dalam hitungan hari saja? Itu sangat tidak mungkin!
“Apa kamu sudah mengurus surat perceraiannya?” cecar Mariana pada putranya.
Garvi menggelengkan kepala dan mengatakan akan secepatnya mengurus perceraiannya dengan Anais. Ia beralasan sedang sibuk untuk alasan pekerjaan.
“Ingat! Wanita itu tidak akan menerima sepeserpun uang kita.” Louis mengingatkan.
Garvi kembali mengangguk. Mengatakan akan menghubungi pengacara besok pagi. Mereka kembali melanjutkan menyantap hidangan. Namun pikiran Garvi masih berputar pada Anais yang ditemui oleh ayahnya dan Sarah.
Bagaimana Anais bisa berada di tempat seperti ini? Dengan siapa ia datang? Pertanyaan itu terus saja menari-nari dalam pikirannya. Ia mengedarkan pandangannya menyapu setiap sudut tempat itu dan berusaha mencari sosok yang tengah dibicarakan. Namun, hasilnya nihil.
***
Masih terlalu pagi untuk membuka mata. Anais masih bersembunyi di balik selimut kesayangannya. Ia sudah sadar dari alam mimpi, namun matanya masih terasa lengket seakan ada lem yang melekat di sana.
Sebuah deringan dari ponselnya terdengar. Ia mendengus kesal karenanya. Hari masih pagi tapi sudah ada orang yang mengganggunya. Anais meraba-raba mencari keberadaan benda itu. Setelah mendapatkannya, ia menggeser tombolnya asal dan menempelkan di telinganya.
“Anais! Apa maksud semua ini!”
Anais mengusap pipinya yang terasa panas seraya menatap Sarah penuh amarah. “Orang lain yang buat kamu marah, kenapa aku yang jadi pelampiasan?” protes Anais pada Sarah.Emosi Sarah semakin meledak. Ia berkilah jika Anais lah penyebab semua ini terjadi. Itu sebabnya Anais pantas mendapat sebuah tamparan. “Hey! Kamu. Jangan kurang ajar sama Sarah. Sarah ini aset perusahaan kita. Kamu mau dapat masalah karena berurusan dengan bintang terkenal seperti Nona Sarah ini?” Broto memberikan pembelaan pada Sarah.Calista menangkap tubuh Anais yang sempat terhuyung ke belakang karena Broto mendorongnya dengan sangat keras.“Anak baru udah cari masalah,” bisik salah satu staf yang datang bersama Broto.“Ya maklum lah, ia kan wanitanya Pak Lukman, HRD kita,” timpal karyawan lain.“Pantas saja. Mana bisa seorang ibu rumah tangga bisa masuk dengan mudah. Ternyata pakai orang dalam?”Telinga Anais terasa panas saat makian dan cibiran itu terlontar dari karyawan Perusahaannya sendiri. Ia hanya bisa
“Tu—tunggu. Maksudnya apa?” Ada rasa penasaran yang bercampur sedikit rasa kesal dalam pertanyaan Sarah. Bagaimana tidak, artis besar macam dirinya ditolak secara tidak terhormat oleh seorang pemimpin perusahaan.Orang-orang yang berada di ruangan itu saling bertukar pandangan, tidak mengerti dengan jalan pikiran pimpinannya.Anton, yang menjabat sebagai wakil Direktur Adhyaksa properti mendekat pada Jati serta berusaha menenangkan perasaan Sarah yang tersentil egonya. “Tuan Jati, saya kira ada kesalah pahaman disini. Perusahaan sudah membuat kesepakatan dan sudah menandatangani kontrak. Nona Sarah—”Jati mengangkat tangannya, memberi tanda pada Anton untuk tidak melanjutkan ucapannya. Kemudian maju satu langkah lebih dekat pada Sarah yang sedikit kesal.“Dia sendiri yang mengatakan tidak mau melanjutkan proyek ini,” tuduh Jati.Sarah menganga tak percaya dengan ucapan Jati. Ia disini adalah sebagai korban, kenapa justru berubah menjadi tersangka? Sarah berkilah jika dirinya hanya min
“Nyebelin banget sih! Siapa juga yang berlebihan?” gerutu Anais.Ucapan Jati saat berada di lift masih terngiang di pikirannya. Dan karena hal itu, membuat pipi Anais tiba-tiba memerah tersipu. Perhatian Jati yang selama ini ia abaikan, nyatanya pria itu tidak bosan dan masih terus berusaha meluluhkan hati Anais yang beku.Semula terjadi saat Anais mengetahui jika dirinya akan dijodohkan dengan Jati oleh kakeknya. Anais menolak, karena ia menganggap Jati hanya sebagai Paman dan juga kakak laki-laki baginya. Sejak saat itu, Anais menganggap jika Jati sengaja menjadi bagian dari Adhyaksa untuk mendapatkan harta milik keluarga Anais.Seberapa keras Jati mengelak, Anais tetap percaya dengan apa yang ia pikirkan. Lebih tepatnya, Anais menolak untuk percaya.“Anais!”Seruan dari seseorang membuat si pemilik nama tergagap. Lamunan tentang Jati menjadi buyar seketika. Mila, kepala timnya sudah berulang kali meneriakkan namanya.“Kamu ini kerja apa ngelamun?” cibir Mila tidak suka.Anais hanya
Bab.15“Sialan!” hardik Garvi tak percaya.Garvi melempar map asal membuat kertas yang di dalamnya berhamburan keluar. Kemudian ia mengendurkan dasinya agar oksigen lebih leluasa masuk ke dalam saluran pernapasannya.Garvi memukul angin untuk melampiaskan kekesalannya. Kemudian menyugar rambutnya kasar lalu meletakkan tangannya pada pinggang. Hingga atensinya teralihkan saat pintu ruangan kantornya dibuka oleh ayahnya.“Apa-apaan ini, Garvi? Kenapa banyak kertas berserakan?” tanya Louis dengan mata menelisik.“Itu dokumen yang dikirim pengacara Anais, Pah,” jawab Garvi seraya menahan emosi.Louis mengerutkan keningnya, kemudian memungut salah satu kertas yang berada di bawah kakinya lalu membacanya.Garvi menjelaskan jika Anais, melalui surat yang dikirimnya itu mengatakan akan membongkar perselingkuhan Garvi dengan Sarah jika Garvi tidak memberikan apa yang Anais minta di pengadilan.“Dasar jalang sialan!” umpat Louis seraya melempar kertas yang ada di tangannya.Louis ikut tertular
“Dengan diam saja waktu dihina seperti itu?” Jati kembali mencibir pola pikir Anais. “Dengar Anais, kamu bisa dengan mudah menghancurkan mereka berkeping-keping tanpa harus bersusah payah. Kenapa kamu malah pilih jalan yang sulit dan menyusahkanmu?”Anais menarik oksigen banyak-banyak, kemudian menghembuskan secara perlahan. Menetralkan perasaan yang sedang berkecamuk di dalam dadanya.“Sudah aku bilang aku punya rencana! Kamu nggak usah ikut campur atau mengguruiku! Ini urusanku sendiri Jati!” tegas Anais pada sang Paman angkatnya.Kesal dengan Jati yang tidak mau mengerti perasaannya, Anais bangkit dari tempatnya duduk. Lalu meraih tas tangan yang dibawanya meninggalkan mobil Jati.“Mau kemana?” tahan Jati seraya mencengkeram lengan Anais agar menghentikan langkahnya.Anais menatap tajam penuh amarah pada Jati. Kemudian dengan ketus menjawab, “ Bukan urusanmu!”Anais menolak tawaran Jati untuk mengantarnya. Yang dilakukan Jati hanya mengusap wajahnya penuh sesal dan membuang napas k
Bab.13“A—apa? Aku? Cemburu?” tanya Anais dengan netra membola. “Tolong jangan bercanda, Paman. Yang benar saja!”Anais mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Matanya bergerak liar dan berusaha menenangkan hati yang tiba-tiba saja berdebar tak karuan.Sedangkan Paman Jordan, menarik sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, mendapati wanita yang sudah ia anggap seperti keponakan sendiri salah tingkah.‘Ayolah Anais. Jangan bodoh! Jati adalah anak angkat Kakek, yang artinya ia adalah pamanku. Nggak seharusnya aku merasa cemburu kalau ia mendekati wanita lain,’ batin Anais.Meski Anais berusaha menampik perasaan itu, Paman Jordan dapat melihat ke dalam hati Anais perasaannya yang sesungguhnya pada Jati. Ia hanya bisa berharap yang terbaik untuk keduanya.***Siang ini, Anais ada janji temu dengan pengacara yang akan mendampinginya untuk perceraiannya dengan Garvi. Mereka sepakat akan bertemu di depan gedung pengadilan. Ia berdiri seraya menunggu pengacaranya yang katanya sebentar