“Ini masih pagi buta. Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Ganggu tau nggak?” keluh Anais dengan suara serak, seraya menjauhkan ponsel itu dari yang menelponnya.
Anais menganggap hari masih gelap, padahal matahari sudah hampir berada di atas kepala. Namun, kata-kata kasar yang ia tangkap oleh indra pendengarannya menyadarkannya bahwa hari gelap yang ia pikirkan ternyata salah. Umpatan-umpatan itu juga menandakannya bahwa Garvi sudah menerima surat gugatan yang ia kirimkan untuknya. Anais membuka matanya cepat, menoleh ke arah benda kecil yang duduk manis di atas nakas.
Waktu menunjukan pukul 08.25, waktu yang cukup siang untuk memulai hari. Tanpa ingin mendengar keluhan apapun dari Garvi, Anais segera menutup telponnya secara sepihak. Kemudian turun dari peraduan dan menuju kamar mandi. Dapat ditebak apa yang terjadi di ujung sambungan. Pria itu masti semakin menggila.
“Ini baru langkah pertama, Garvi. Sebelum kamu menggugat cerai, aku melakukannya lebih dulu. Dan aku janji, aku nggak akan kalah darimu,” gumam Anais seraya menatap pantulan wajahnya pada cermin wastafel.
***
“Argh!!” pekik Garvi seraya melempar ponselnya sembarang.
Ia mengusap kasar wajahnya, mengeratkan giginya. Kedua tangannya mengepal dan memukul angin, kemudian mengerang kembali.
Ia tidak menyangka jika Anais anak mengajukan gugatan perceraian terlebih dulu. Ia bahkan menyewa seorang pengacara dan mengajukan beberapa tuntutan. Salah satunya adalah harta gono-gini.
“Apa yang ada di pikiran Anais sebenarnya? Apa benar ia sudah berubah?” gumam Garvi.
“Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu nggak berangkat ke kantor?” Suara barito milik Louis menggema di ambang pintu. Hingga pria paruh baya itu masuk dan menghampiri putranya.
Garvi tersentak dengan kedatangan ayahnya. Ia merasa gugup saat pria itu mendekat ke arahnya.
Netra Louis menangkap lembaran kertas yang berserakan di atas ranjang. Karena merasa penasaran, ia meraih kertas-kertas itu dan membacanya. Garvi merasa gelisah karena tak sempat menahan ayahnya untuk tidak mengambil surat yang dikirim oleh Anais untuknya.
Louis mengerutkan keningnya setelah membaca apa yang tertulis di dalamnya. Kemudian ia menatap tajam ke arah Garvi dan bertanya, “Apa maksudnya?”
“I- itu, Anais mengajukan gugatan dan menuntut harta gono-gini. Surat itu datang kemarin dan baru sempat aku buka,” jawab Garvi terbata.
Louis menyipitkan mata menatap Garvi. Melihat ekspresi yang ditunjukan oleh ayahnya, ia tahu kalau sesuatu akan terjadi. Mengingat bagaimana temperamen sang ayah.
“Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk cepat mengurusnya? Lalu kenapa ada tuntutan seperti ini?”
Garvi menggelengkan kepalanya lemah sembari tertunduk. Ia juga menautkan jari-jari tangannya karena merasa gelisah saat ayahnya mengerang menahan emosi.
“Wanita ini bahkan menuntut jumlah uang yang banyak,” gumam Louis kemudian.
“200 juta dollar bukan jumlah uang yang sedikit. Memangnya ia pikir sudah berkontribusi pada kita? Seenaknya saja minta uang. Ck! Apa ia pikir uang bisa didapatkan dengan mudah?” ucap Louis berkacak pinggang.
Ia adalah orang yang paling kesal saat mengetahui menantunya menuntut hartanya begitu banyak. Padahal ia sudah mewanti-wanti pada putranya untuk tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk menantunya. Lalu, apa sekarang? Louis menganggap jika menantunya ingin membuatnya bangkrut.
Louis menatap tajam penuh kemarahan ke arah Garvi. Kenapa putranya tidak segera melakukan apa yang ia perintahkan. Ia sangat lamban. Bukannya segera mengurus berkas perceraian, ia justru asik mengurus hatinya yang sedang kasmaran.
Tatapan Louis membuat putra sulung yang berusia 30an itu bergetar ketakutan. Seakan disorot dengan sebuah sinar laser dan bersiap untuk dibidik.
“Aku tidak mau tahu. Pokoknya jangan sampai wanita itu mendapatkan harta milik Anderson, bahkan sepeser!” seru Louis pada Garvi yang masih tertunduk.
Garvi mengangguk cepat. Secepat debaran jantungnya saat ini. Dalam hati, ia merutuki kebodohannya. Andaikan ia segera menyimpan berkas-berkas itu, pasti ayahnya tidak akan tahu. Dan ia tidak akan berada di situasi seperti sekarang. Dan ia yakin, suasana hati ayahnya akan buruk seharian ini. Bisa jadi, sampai besok suasana hatinya belum berubah.
Louis melempar kertas-kertas itu sembarang sebelum keluar dari kamar Garvi. Tak lupa mengingatkan putranya untuk segera mengurus masalah Anais.
“Mengurus wanita seperti itu saja nggak becus,” gumam Louis saat meninggalkan kamar Garvi.
Garvi mengerang, kemudian menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang dan kembali mengusap kasar wajahnya. Memikirkan cara untuk menghadapi tuntutan dari Anais. Serba salah menjadi dirinya.
***
“Hm, sangat lezat. Sudah lama aku tidak makan kue ini. Rasanya tetap sama,” gumam Anais seraya menikmati suapan pertama dari sponge cake rasa black forest kesukaannya.
Anais datang mengunjungi toko kue langganannya sejak remaja. Dan semenjak menikah, ia sudah tidak bisa lagi menikmati kelezatan kue kesukaannya. Entah kenapa hari ini ia sangat ingin menikmati sepotong kue manis dan segelas jus.
Anais menyeret bola matanya memindai sekitar. Suasana yang ramai dan terdengar percakapan ringan dari pengunjung, membuat Anais tersenyum. Ia merasa bersyukur dengan kejadian beberapa waktu lalu, yang menyadarkannya dari kebodohan. Membuka wajah dari pria yang selama ini ia kagumi. Ah! Keluar dari neraka yang berbentuk rumah itu rasanya patut disyukuri.
Hingga atensi Anais kembali pada kue berwarna coklat pekat dengan hiasan krim dan buah ceri itu, seseorang yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menyambar gelas minumnya dan menyiramkan pada wajahnya seraya berteriak,”Dasar, wanita tidak tahu diuntung!”
Anais mengusap pipinya yang terasa panas seraya menatap Sarah penuh amarah. “Orang lain yang buat kamu marah, kenapa aku yang jadi pelampiasan?” protes Anais pada Sarah.Emosi Sarah semakin meledak. Ia berkilah jika Anais lah penyebab semua ini terjadi. Itu sebabnya Anais pantas mendapat sebuah tamparan. “Hey! Kamu. Jangan kurang ajar sama Sarah. Sarah ini aset perusahaan kita. Kamu mau dapat masalah karena berurusan dengan bintang terkenal seperti Nona Sarah ini?” Broto memberikan pembelaan pada Sarah.Calista menangkap tubuh Anais yang sempat terhuyung ke belakang karena Broto mendorongnya dengan sangat keras.“Anak baru udah cari masalah,” bisik salah satu staf yang datang bersama Broto.“Ya maklum lah, ia kan wanitanya Pak Lukman, HRD kita,” timpal karyawan lain.“Pantas saja. Mana bisa seorang ibu rumah tangga bisa masuk dengan mudah. Ternyata pakai orang dalam?”Telinga Anais terasa panas saat makian dan cibiran itu terlontar dari karyawan Perusahaannya sendiri. Ia hanya bisa
“Tu—tunggu. Maksudnya apa?” Ada rasa penasaran yang bercampur sedikit rasa kesal dalam pertanyaan Sarah. Bagaimana tidak, artis besar macam dirinya ditolak secara tidak terhormat oleh seorang pemimpin perusahaan.Orang-orang yang berada di ruangan itu saling bertukar pandangan, tidak mengerti dengan jalan pikiran pimpinannya.Anton, yang menjabat sebagai wakil Direktur Adhyaksa properti mendekat pada Jati serta berusaha menenangkan perasaan Sarah yang tersentil egonya. “Tuan Jati, saya kira ada kesalah pahaman disini. Perusahaan sudah membuat kesepakatan dan sudah menandatangani kontrak. Nona Sarah—”Jati mengangkat tangannya, memberi tanda pada Anton untuk tidak melanjutkan ucapannya. Kemudian maju satu langkah lebih dekat pada Sarah yang sedikit kesal.“Dia sendiri yang mengatakan tidak mau melanjutkan proyek ini,” tuduh Jati.Sarah menganga tak percaya dengan ucapan Jati. Ia disini adalah sebagai korban, kenapa justru berubah menjadi tersangka? Sarah berkilah jika dirinya hanya min
“Nyebelin banget sih! Siapa juga yang berlebihan?” gerutu Anais.Ucapan Jati saat berada di lift masih terngiang di pikirannya. Dan karena hal itu, membuat pipi Anais tiba-tiba memerah tersipu. Perhatian Jati yang selama ini ia abaikan, nyatanya pria itu tidak bosan dan masih terus berusaha meluluhkan hati Anais yang beku.Semula terjadi saat Anais mengetahui jika dirinya akan dijodohkan dengan Jati oleh kakeknya. Anais menolak, karena ia menganggap Jati hanya sebagai Paman dan juga kakak laki-laki baginya. Sejak saat itu, Anais menganggap jika Jati sengaja menjadi bagian dari Adhyaksa untuk mendapatkan harta milik keluarga Anais.Seberapa keras Jati mengelak, Anais tetap percaya dengan apa yang ia pikirkan. Lebih tepatnya, Anais menolak untuk percaya.“Anais!”Seruan dari seseorang membuat si pemilik nama tergagap. Lamunan tentang Jati menjadi buyar seketika. Mila, kepala timnya sudah berulang kali meneriakkan namanya.“Kamu ini kerja apa ngelamun?” cibir Mila tidak suka.Anais hanya
Bab.15“Sialan!” hardik Garvi tak percaya.Garvi melempar map asal membuat kertas yang di dalamnya berhamburan keluar. Kemudian ia mengendurkan dasinya agar oksigen lebih leluasa masuk ke dalam saluran pernapasannya.Garvi memukul angin untuk melampiaskan kekesalannya. Kemudian menyugar rambutnya kasar lalu meletakkan tangannya pada pinggang. Hingga atensinya teralihkan saat pintu ruangan kantornya dibuka oleh ayahnya.“Apa-apaan ini, Garvi? Kenapa banyak kertas berserakan?” tanya Louis dengan mata menelisik.“Itu dokumen yang dikirim pengacara Anais, Pah,” jawab Garvi seraya menahan emosi.Louis mengerutkan keningnya, kemudian memungut salah satu kertas yang berada di bawah kakinya lalu membacanya.Garvi menjelaskan jika Anais, melalui surat yang dikirimnya itu mengatakan akan membongkar perselingkuhan Garvi dengan Sarah jika Garvi tidak memberikan apa yang Anais minta di pengadilan.“Dasar jalang sialan!” umpat Louis seraya melempar kertas yang ada di tangannya.Louis ikut tertular
“Dengan diam saja waktu dihina seperti itu?” Jati kembali mencibir pola pikir Anais. “Dengar Anais, kamu bisa dengan mudah menghancurkan mereka berkeping-keping tanpa harus bersusah payah. Kenapa kamu malah pilih jalan yang sulit dan menyusahkanmu?”Anais menarik oksigen banyak-banyak, kemudian menghembuskan secara perlahan. Menetralkan perasaan yang sedang berkecamuk di dalam dadanya.“Sudah aku bilang aku punya rencana! Kamu nggak usah ikut campur atau mengguruiku! Ini urusanku sendiri Jati!” tegas Anais pada sang Paman angkatnya.Kesal dengan Jati yang tidak mau mengerti perasaannya, Anais bangkit dari tempatnya duduk. Lalu meraih tas tangan yang dibawanya meninggalkan mobil Jati.“Mau kemana?” tahan Jati seraya mencengkeram lengan Anais agar menghentikan langkahnya.Anais menatap tajam penuh amarah pada Jati. Kemudian dengan ketus menjawab, “ Bukan urusanmu!”Anais menolak tawaran Jati untuk mengantarnya. Yang dilakukan Jati hanya mengusap wajahnya penuh sesal dan membuang napas k
Bab.13“A—apa? Aku? Cemburu?” tanya Anais dengan netra membola. “Tolong jangan bercanda, Paman. Yang benar saja!”Anais mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Matanya bergerak liar dan berusaha menenangkan hati yang tiba-tiba saja berdebar tak karuan.Sedangkan Paman Jordan, menarik sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, mendapati wanita yang sudah ia anggap seperti keponakan sendiri salah tingkah.‘Ayolah Anais. Jangan bodoh! Jati adalah anak angkat Kakek, yang artinya ia adalah pamanku. Nggak seharusnya aku merasa cemburu kalau ia mendekati wanita lain,’ batin Anais.Meski Anais berusaha menampik perasaan itu, Paman Jordan dapat melihat ke dalam hati Anais perasaannya yang sesungguhnya pada Jati. Ia hanya bisa berharap yang terbaik untuk keduanya.***Siang ini, Anais ada janji temu dengan pengacara yang akan mendampinginya untuk perceraiannya dengan Garvi. Mereka sepakat akan bertemu di depan gedung pengadilan. Ia berdiri seraya menunggu pengacaranya yang katanya sebentar