LOGIN"Sebentar!" Interupsi Andira menghentikan langkah Arsa yang akan menaiki tangga.
Andira melangkah mendekati Arsa. "Kenapa aku mencium aroma parfum seorang wanita di jasmu?"
"A-apa?!"
Arsa melebarkan matanya mendengar pertanyaan yang dilemparkan oleh Andira. Pria itu terlihat, sedang mengingat aroma parfum siapa yang dipertanyakan oleh Andira. Andira tersenyum miring melirik ekspresi wajah Arsa.
Parfum itu pasti milik wanita simpanannya. Andira menelanjangi Arsa dengan tatapan tajam. Arsa terlihat ketakutan dengan tatapan Andira.
"Ehh, ... Sa-sayang! Aku---"
"Parfum siapa itu?" potong Andira, "kamu tidak berganti selera memakai parfum wanita 'kan?"
"Sayang! Kamu ini mikirin apa sih?" Arsa tersenyum kikuk merasakan degup jantungnya berdetak cepat.
"Aroma parfum wanita di tubuh kamu itu, bukan parfumku. Kamu coba parfum milik siapa?" Andira bertanya sambil memicingkan mata.
"Begini, Sayang ...." Arsa terlihat menghela napas mencoba berpikir untuk mencari alasan dan merangkai kata agar Andira percaya.
"Tadi saat jam makan siang, aku masuk lift. Dan di dalam lift itu berdesakan. Ketika lift hampir menyentuh lantai dasar, rantainya mungkin putus dan lift mengalami anjlok dan kemacetan terjadi. Sehingga ada sekitar 1 jam aku terjebak di sana."
Andira tersenyum miris mendengar jawaban dari suaminya. Apakah Arsa sepintar itu mengarang cerita? Apakah memang benar, ada insiden lift terjatuh di perusahaan milik pria itu? Ia rasa, waktu pergi ke sana kondisinya baik-baik saja tanpa ada masalah.
Nanti diam-diam Andira akan menyelidiki hal itu. Untuk sekarang, ia lebih memilih percaya saja. Tapi Andira masih belum puas untuk menguji kejujuran yang dimiliki oleh suaminya.
"Apakah ada masalah serius?"
Arsa menggeleng. "Tidak ada."
"Yakin tidak ada?" Andira menaikkan sebelah alisnya.
"Aku baik-baik saja, Sayang. Nyatanya aku bisa pulang dan bertemu dengan kamu 'kan?" Arsa menampilkan senyum manis.
Arsa mendekati Andira, memeluk istrinya dan melayangkan kecupan bertubi-tubi di wajah Andira. Andira mencoba mendorong dada Arsa. Namun, Arsa semakin mengeratkan pelukannya.
Andira menahan geram dalam hatinya. Bibir pria itu telah menyentuh milik wanita lain. Rasanya begitu mual ketika Andira mengingatnya. Tetapi untuk menghormati Arsa, ia sekuat tenaga untuk menahan semua itu.
Andira merasakan gemuruh memenuhi dadanya. Ia ingin sekali menangis jika mengingat kejadian yang ia lihat tadi sebelum pulang ke rumah. Siapa seorang istri yang tidak marah melihat suaminya ternyata ada main dengan wanita lain? Bahkan, yang lebih menyakiti suaminya kini telah berubah lebih sering berbohong.
"Tadi siang waktu aku mau jemput klien, aku lihat kamu turun dari lobby hotel bersama seorang wanita," celetuk Andira mencoba melihat reaksi Arsa.
Arsa kembali melebarkan matanya dan tersenyum kaku. Lagi-lagi Andira mencoba menguji pria itu. Degup jantung Arsa terdengar oleh Andira begitu kencang karena takut akan sesuatu hal yang tidak diinginkan.
"Kamu lihat aku dengan seorang wanita?" Arsa menatap istrinya dengan gugup. "Kamu lihat kami sedang melakukan apa?"
Andira tersenyum miring. Sang suami di hadapannya terlihat jelas gugup dan ketakutan. Tetapi Arsa dari yang Andira lihat, berusaha menutupi semua itu dengan senyum di bibirnya.
"Aku lihat kalian sedang berjalan dan mengobrol hal penting. Aku hanya melihat sekilas."
Karena tadi ia melihat bahwa sang suami berbohong, memilih untuk berbohong juga tak ada salahnya untuk berpura-pura tak mengetahui. Setelah dirinya mengucapkan hal bahwa tak mengetahui apapun, Arsa terlihat menghembuskan napas lega. Andira juga tidak ingin berprasangka lebih jauh. Bagaimanapun caranya ia akan menyelidiki siapa tahu ada yang tidak beres dari semua itu.
"Siapa wanita itu? Aku kayak ... kenal ya? Apa dia rekan bisnismu?" berondong Andira.
"Iya, Sayang. Dia kolega bisnisku," jawab Arsa.
Andira tersenyum mengangguk. Meskipun pria itu menjawab dengan tenang, tapi sorot matanya tak bisa semudah itu membohongi Andira.
"Sayang aku mandi dulu, ya," kata Arsa.
Andira mengangkat wajahnya. Ia merasa sepertinya Arsa sedang berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Tapi Andira memilih untuk membiarkan Arsa beranjak pergi darinya.
"Oke. Sudah aku siapkan air hangatnya. Nanti aku siapkan baju ganti." Andira tersenyum menatap Arsa.
"Terima kasih, Sayang. Kamu memang wanita terbaik." Arsa kemudian beranjak dari hadapan Andira, dan masuk ke kamar mandi.
Andira dalam hati berdecih sinis. Jika ia wanita terbaik di mata pria itu, seharusnya memang tak pantas untuk melukai. Andira berpikir harus mencari tahu siapa wanita itu secepatnya. Tak akan tenang hatinya bila tak segera menemukan jawaban dari semua kejanggalan yang ada.
Andira mengambil ponsel miliknya. Ia mengirimkan pesan kepada asistennya, mengirimkan sebuah foto wanita yang bersama dengan Arsa, dan memerintahkan untuk menyelidiki siapa sosok itu. Sebagai seorang pengacara wanita handal, Andira selalu mendapatkan informasi dengan cepat lewat orang-orang kepercayaan yang bekerja di firma hukum miliknya.
Arsa pulang ke rumah sebentar, dan berpamitan kepadanya untuk keluar kota. Alasannya adalah pekerjaan. Andira pun tidak percaya. Mungkin akan ada sesuatu spesial yang akan dirayakan oleh perusahaan bersama wanita simpanan tersebut.
Di saat Arsa melakukan aktivitas mandi, Andira melirik ponsel sang suami yang tergeletak di atas nakas. Ia berpikir untuk mencari tahu sesuatu dari ponsel tersebut. Mungkin, dari sana ia bisa mulai mencari tahu semuanya.
"Kira-kira ... siapa nomor wanita itu, ya," gumam Andira.
Andira tersenyum saat ponsel sang suami tidak dipasang sandi atau pin. Jarinya bergerak cepat menggulir layar mencari tahu siapa saja orang yang berbalas pesan dengan pria itu. Andira melihat sang suami berbalas pesan dengan rekan bisnisnya. Dan tidak ada kecurigaan apapun di sana.
Tidak ada pesan yang menunjukkan bahwa Arsa bermesraan dengan wanita lain lewat chat. Dan Andira tentu saja tidak ingin percaya. Ia menemukan riwayat pesan dari kontak nomor miliknya dan diberi nama 'ibu anakku' oleh Arsa
"Apa dia menghapus pesannya setelah itu?" gumam Andira.
Andira kemudian berselancar memasuk galeri ponsel milik Arsa. Tidak ada foto-foto wanita lain selain foto dirinya bersama kedua anaknya. Namun, ada bagian riwayat foto yang dihapus. Dan di sana ada seorang wanita berambut panjang menggunakan pakaian minim.
Andira syok dan menutup mulutnya. Ternyata wanita itu menggoda Arsa menggunakan pakaian transparan yang memperhatikan bentuk tubuh. Dirinya saja tidak pernah berperilaku demikian.
Andira mencoba melihat dengan jelas wajah wanita itu. Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh wanita tersebut, dengan berpose menantang telentang di atas sofa dengan satu kaki di tekuk memperlihatkan Cd-nya. Tak hanya itu, lidahnya di julurkan seolah menggoda ingin disentuh.
Andira mengepalkan tangannya dengan dada bergemuruh panas. Foto itu dikirim tepat satu minggu lalu. Saat Arsa dan Andira tengah merayakan hari ulang tahun anak kedua mereka.
Waktu itu, Andira tak sengaja memperhatikan wajah Arsa yang seperti menahan sesuatu. Andira menanyakan kepada Arsa, dan pria itu mengatakan baik-baik saja. Setelah tengah malam, dan anak-anak mereka sudah tidur semua, Arsa meminta haknya sebagai suami pada Andira. Kini ia paham bahwa waktu itu, Arsa tengah melampiaskan nafsunya yang telah di sulut oleh wanita itu.
Tapi ... tunggu dulu! Apakah mereka berdua sudah melakukan hubungan hingga sejauh itu? Jika tidak, mengapa wanita ingin mengirimkan foto tak pantas kepada pria yang sudah memiliki istri? Hati Andira berdesir marah dengan pikiran yang muncul di otaknya.
Dengan bibir bergetar, Andira mengambil foto seksi wanita itu untuk ia kirim ke ponselnya. Ia ingin menyimpan foto laknat yang berjumlah lebih dari satu itu. Foto dengan pose berbeda-beda namun menantang. Kemungkinan besar, foto ini akan ia gunakan sebagai senjata nantinya.
Setelah selesai mengirim foto dari ponsel Arsa ke ponselnya, Andira memilih menghapus riwayat pesan terakhir antara dirinya dan sang suami. Arsa tak boleh tahu bahwa ia mengetahui apa yang ada di ponsel pria itu. Ketika ia belum menyelesaikan menghapus riwayat pesan, pintu kamar mandi terbuka. Andira terkejut melihat Arsa yang keluar memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi.
"Sayang ... handuk ku mana?"
"Kamu yakin akan berangkat sendirian?" tanya Demian pada wanita disampingnya."Tentu saja aku sudah menantikan hari ini untuk bertemu dengan anak-anakku. Aku sudah sangat merindukan mereka," jawabnya.Hari ini adalah jadwal Andira akan berangkat ke Korea Selatan, untuk menemui kedua anaknya. Ia juga sudah memberikan kabar kepada Zeya dan Darrel akan kedatangannya. Mereka bahkan saling berjanji akan bertemu di suatu tempat. Tentunya secara sembunyi-sembunyi. Sebentar lagi Andira akan melakukan boarding pass dan ditemani oleh Demian beserta Cindy. Demian mengantarkan wanita itu sampai ke bandara dan untuk melepas keberangkatannya. Andira sebenarnya menolak. Tetapi Demian yang memaksa ingin ikut mengantarkan. Andira berangkat ke Korea, ingin bertemu dengan kedua anaknya. Rasa rindu yang dipendam oleh wanita itu, tidak bisa dibendung lagi. Ia tidak sabar untuk datang memeluk mereka. Zeya juga sangat antusias dan sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Andira. Tentu saja Andira merasa ba
"Mana pesanan saya yang kamu janjikan?" tanya Arsa kepada seorang pria berjaket jeans abu."Ini, Bos." Pria berjaket jeans abu itu menyerahkan koper besar kepada Arsa.Arsa membuka koper itu. Didalamnya berisi cairan kristal bening yang berharga setara dengan emas. Ia memeriksa bungkusan plastik sebesar batu bata itu. Setiap satu wadah plastik berbobot 1 kg. Arsa tersenyum-senang mendapatkan barang tersebut. Karena sesuai dengan apa yang ia inginkan. "Bagaimana, Bos?" Arsa mengacungkan jempol memuji. "Memuaskan. Kamu memang hebat."Arsa kemudian menyerahkan koper besar yang ia bawa kepada pria itu. "Ini uangnya." Pria itu tersenyum menyeringai ketika membuka koper berisi uang lembaran berwarna merah dari Arsa. Ia tersenyum senang. Sudah beberapa kali ia bertransaksi dengan Arsa. Dan Arsa adalah salah satu pelanggannya yang begitu menyenangkan. Ia tidak pernah kecewa dengan Arsa. Begitu pula sebaliknya Arsa juga tidak pernah kecewa padanya. "Terima kasih, Pak Arsa. Senang sekal
"Apa dia tidak bisa melihat selamanya?" tanya Jenna dengan sendu sambil menatap wajah bayinya."Kata dokter dia buta permanen. Dia tidak mungkin bisa melihat selama seumur hidupnya," jawab Sherina dengan lesu Jenna sudah sadar, dan kini sedang menggendong putra pertamanya dengan raut wajah sedih. Ia mengusap pipi mungil bayi itu dengan lembut. Sebagai seorang ibu yang baru saja dikaruniai seorang putra, tentu rasa hatinya seperti disayat karena melihat anaknya mengalami kekurangan saat lahir. Seharusnya pertama kali lahir, ia bisa melihat dunia walaupun sedikit buram. Tapi selamanya bayi itu tak akan pernah bisa melihat dunia. Bahkan wajah kedua orang tuanya pun, ia tidak akan pernah melihat. "Apa aku salah makan saat masih mengandungnya hingga dia menjadi seperti ini?" Jenna berpikir apa salahnya saat mengandung. "Mana Mama tahu? Kamu sendiri bagaimana cara menjaga kandungan mu?"Sherina tidak pernah memantau putrinya yang sedang hamil semenjak Jenna sudah dinikahi oleh Arsa sec
"Apakah kamu, mau membantu saya memberikan suntikan dana kepada perusahaan saya?" tanya Firman dengan penuh harap kepada Arsa.Firman menatap menantunya dengan penuh rasa cemas dan khawatir. Ia tak yakin jika seandainya pria itu yang telah menjadi suami putrinya, akan mau membantunya. Tetapi ia bingung akan meminta bantuan dari siapa. Ada masalah dalam koneksinya teman-temannya. Mereka tidak menjawab dan sebagian tak ingin membantunya. Entah karena perbuatan siapa. Padahal selama ini, jika Firman mengalami masalah sedikit saja mereka pasti tanpa diminta akan turun tangan membantu. "Berapa dana yang Anda butuhkan?" Arsa penasaran dengan jumlah yang dibutuhkan. "40 miliar," jawab Firman.Arsa menganggukkan kepalanya. Pria itu kemudian meneguk kembali kopi yang tinggal setengah hingga tandas. Ayah Zeya dan Darrel itu berpikir keras mengenai dana sebesar yang disebutkan oleh Firman. Itu bukan dana kecil."Nanti akan saya berikan suntikan dananya," Kata Arsa.Firman terlihat berbinar se
Andira menempelkan ponselnya di telinga dengan jantung yang berdegup kencang. Ia berharap bahwa panggilannya dapat diangkat oleh seseorang di seberang sana. Nomor telepon yang ia hubungi, adalah hasil pencarian Cindy yang diberikan kepadanya. Dan ketika ia mendapatkan nomor telepon tersebut, ia tak ingin membuang waktu untuk segera menghubunginya.Cukup lama Andira mengharapkan sambungan telepon bisa diangkat. Hingga detik berikutnya, Andira dapat merasakan teleponnya diangkat di sana. Deru nafas seseorang dapat Andira rasakan."Akhirnya diangkat," gumam Andira menyerupai bisikan.Andira tak ingin bersuara. Ia ingin memastikan suara seseorang disana bisa keluar terlebih dahulu. Dan ia ingin tahu apakah yang ia telepon benar-benar itu orangnya. Karena jika orang lain, Andira lebih memilih untuk menutupnya."Halo... ini siapa?" Terdengar suara seorang gadis kecil disana. Andira melebarkan matanya ketika mendengar suara yang ia rindukan. Itu adalah suara putrinya. Seperti yang ia hara
"Jadi ibu dijatuhi tamak oleh suami ibu?" tanya Cindy pada Andira yang duduk dihadapannya dengan raut wajah sedih. Andira mengangguk lesu. "Benar, Cindy." Setelah pergi dari rumah Ibu mertuanya, Andira pergi ke kantor firma hukum miliknya dan menemui Cindy. Ia menumpahkan semua keluh kesahnya yang membuat dirinya begitu sedih terkait rumah tangganya. Tak memiliki siapapun yang menjadi keluarga, Andira membutuhkan sandaran saat ini. Cindy sudah bekerja dengan Andira sejak ia masih belum lulus kuliah. Iiya juga tahu betul bagaimana kehidupan rumah tangga Andira bersama suaminya. Kini mengetahui kondisi rumah tangga sang bos, membuat ia benar-benar sedih sekaligus marah. "Dan ... penyebabnya karena perempuan itu bukan?" tebak Cindy . "Iya. Entah apa yang menjadi keteguhan hati mereka untuk menyingkirkan aku dari keluarga Danantya," jawab Andira dengan perasaan bingung. Cindy menghela napas. "Menurut saya, mungkin bisa jadi kalau pelakor itu menghasut suami dan ibu mertua Anda."







