"Akhir-akhir ini, setiap aku pulang aku tidak pernah bertemu dengan mereka." Arsa menatap wajah kedua anaknya yang tertidur pulas.
Andira memperhatikan raut wajah sendu yang ditampilkan oleh Arsa. Ia mengetahui bahwa pria itu tengah merindukan kedua anak mereka. Dan tidak bisa bertemu karena kesibukan.
"Mungkin kamu kecewa. Satu hal yang perlu kamu tahu, mereka lebih kecewa daripada kamu," beritahu Andira.
"Apa mereka marah sama aku?" lirih Arsa.
"Tadi saat aku barusan pulang sebelum kamu datang, mereka mengeluh bahwa kamu menjanjikan untuk memiliki waktu bersama mereka. Tapi, kamu tidak menepati janji untuk meluangkan waktu sebentar saja," sahut Andira dengan lembut namun berhasil menikam hati Arsa.
"Seharusnya kalau kamu memang tidak bisa menunaikan janji itu, jangan kamu ucapkan. Lebih baik kamu menyisihkan waktu tanpa menjanjikan apapun. Itu lebih membahagiakan daripada kamu memberikan janji dan harapan yang menyakiti mereka."
Andira benar-benar kecewa. Baginya, sikap Arsa sangat keterlaluan. Ia sendiri tak diperhatikan oleh pria itu masalah. Tapi bagaimana dengan anak-anak mereka?
"Maafkan Papa. Papa berjanji akan sebisa mungkin memiliki waktu untuk kalian," gumam Arsa.
Andira bersedekap dada memperhatikan suaminya yang duduk di tepi ranjang membelai wajah putra dan putri mereka. Jujur, ia pun merasa kecewa sama seperti kedua anaknya. Namun kini ia mengetahui apa alasan Arisa tidak bisa memenuhi janji tersebut.
Andira yakin bahwa adanya Arsa memiliki waktu kurang untuk keluarga. Masalahnya pasti bukan karena pekerjaan. Karena dulu sesibuk apapun, Arsa pasti bisa menyisihkan waktu. Tidak seperti saat ini.
Dan penyebabnya adalah wanita, membuat Andira begitu yakin. Jangankan waktu untuk anak-anak mereka. Untuk waktu sekedar duduk berdua dan berbicara dengannya saja, Arsa hampir tak pernah punya waktu itu. Dan saat ini Arsa juga terlihat biasa saja walaupun tidak memiliki waktu tersebut untuk istrinya. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun.
"Aku mau berangkat sekarang." Arsa bangkit dari duduknya setelah cukup lama berada di kamar anaknya. Tapi terlebih dahulu, ia mengecup kening kedua anaknya secara bergantian.
Andira tak menjawab apapun dan hanya mengangguk. Ia mengekori langkah suaminya yang akan berjalan ke kamar mereka untuk memanggil koper yang telah diisi beberapa pakaian. Arsa rencananya akan pergi selama satu minggu ke luar kota. Dan Andira telah meminta salah satu rekan kerjanya, untuk menyelidiki apa saja yang dilakukan oleh Arsa selama di luar kota.
"Jaga diri kamu dengan baik. Serta, sampaikan salamku sama anak-anak," kata Arsa.
Andira mengangguk. "Berhati-hatilah di perjalanan. Jangan lupa kabari aku kalau kamu sudah sampai."
"Iya, Sayang."
"Selain itu, walaupun sesibuk apapun kamu, tolong hubungi anak-anak. Walaupun kamu tidak bisa memiliki waktu bersama mereka, setidaknya mereka bisa melepas rindu walaupun hanya mendengar suara ayahnya," pinta Andira.
Arsa mengangguk mendengarkan celotehan sang istri. Tak ingin berlama-lama, dia mengecup kening Andira dan bersiap untuk berangkat. Andira berdiri di teras rumah menatap kepergian sang suami. Hingga mobil menghilang dari pandangan, Andira menatap tajam kearah jalanan dan mengepalkan tangannya.
"Aku tahu kamu pasti sudah tidak sabar bertemu dengan kekasih gelap mu," gumamnya.
***
Andira bangun cukup pagi melakukan aktivitas mandi dan memasak sarapan untuk anak-anak. Bersama kedua anaknya, Andira sarapan nasi goreng. Tak lupa ia menyampaikan salam dari ayah pada mereka.
Setelah aktivitas wajibnya selesai, Andira bekerja. Andira mengecek laptop yang ada di ruang kerjanya. Di dalam laptop itu, tergambar sebuah peta dengan titik merah yang ada di satu tempat yang ia kenal.
"Ternyata tidak di luar kota. Tetapi hanya di Jakarta."
Andira tersenyum sinis melihat gambaran peta itu. Titik merah itu, adalah sinyal GPS yang terpasang di mobil Arsa. Arsa hanya pergi ke sebuah tempat dengan jarak tempuh sekitar satu jam menggunakan mobil.
Tadi malam saat Arsa bersiap-siap untuk pergi, Andira menyuruh seseorang untuk memasang GPS pada mobil suaminya. Itu dimaksudkan untuk melacak kemana saja Arsa pergi, dan singgah ke mana. Ia ingin tahu apakah Arsa masih berbohong kepadanya.
Dan ternyata, Arsa kembali membohongi nya. Tadi malam dia sudah berbohong. Sekarang berbohong lagi?
Memang sebuah kebohongan akan ditutupi oleh kebohongan-kebohongan lain. Tapi sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya menutupi bangkai, akan tetap tercium baunya.
Selama ini Andira selalu menaruh kepercayaan kepada Arsa. Ia percaya bahwa sang suami tidak akan pernah mengkhianati nya. Mengingat bagaimana sulitnya mereka berjuang untuk bisa sampai di titik sekarang.
Akhir-akhir ini, ada beberapa temannya mengatakan bahwa ada tanda-tanda awal bahwa Arsa berselingkuh. Tetapi, Andira menutup mata dan telinga. Ia percaya sepenuhnya kepada sang suami.
Andira bukanlah orang yang mudah percaya dengan apa yang ia dengar. Ia selalu percaya dengan apa yang ia lihat, dan menatap dengan pandangan dua sisi. Baru ia bisa menyimpulkan sesuatu itu palsu atau tidak.
Hingga akhirnya Andira menemukan lebih dari tiga kali kejanggalan-kejanggalan dalam diri Arsa. Arsa sering pulang malam, dan tak pernah lagi menyentuh istrinya. Arsa kedapatan beberapa kali terpergok oleh Andira menerima telepon diam-diam.
"Bu Andira!" panggil Cindy---asisten Andira.
Andira menoleh pada pintu ruang kerjanya yang terbuka. "Masuk dan duduklah!"
Cindy masuk melangkah menuju kursi yang ada di seberang meja tempat Andira bekerja. Ditangannya terdapat sebuah map berwarna merah yang akan ia serahkan kepada Andira. Cindy terlihat gelisah menggigit bibir bawahnya.
Melihat ekspresi Cindy yang tidak bersahabat, membuat Andira berpikir negatif. Tapi ia segera menepis pikiran buruk itu. Ia tak boleh berprasangka terlebih dahulu.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu?" tanya Andira penasaran.
"Ini, Bu." Cindy menyerahkan map berwarna merah yang sedari tadi ia pegang.
Andira memegang erat map yang baru saja diserahkan oleh Cindy padanya. Entah mengapa hatinya terasa berdebar. Seolah ada sesuatu hal yang sangat buruk untuk ia ketahui.
Andira menggigit bibir bawahnya. Ia tak pernah merasa seperti ini. Tak pernah ia takut untuk mengetahui rahasia dari sesuatu hal yang ia selidiki. Tetapi, rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.
Dengan perlahan, Andira mulai membuka lembaran pertama untuk ia baca. Hal pertama yang ia ketahui adalah identitas wanita yang selama ini menjadi simpanan Arsa. Matanya tajam menatap baris demi baris keterangan dari wanita itu.
"Dia adalah sekretaris Pak Arsa. Dan wanita itu telah bekerja selama kurang lebih 7 bulan. Semakin lama, mereka akhirnya menjalin hubungan serius. Pak Arsa dan wanita tersebut, berpacaran," ungkap Cindy.
Andira tak menyahut perkataan Cindy. Ia tetap terus membaca lembar demi lembar hasil penyelidikan Cindy. Ada beberapa lembar bukti transfer uang atas nama Arsa yang ditujukan untuk wanita itu.
Napas Andira tertahan ketika membaca baris terakhir keterangan di bagian akhir. Matanya memanas mengetahui hal yang mengguncang dirinya. Wanita itu, ada kaitannya dengan kehidupan Andira di masa lalu.
Cindy yang memperhatikan perubahan raut wajah Andira, merasa khawatir. Bahu Andira terlihat bergetar. Andira kelihatan sangat terguncang.
"Kenapa, Bu? Apakah Ibu mengenal wanita itu?" tanya Cindy penasaran.
"Wanita ini ...."
Mobil Andira diberhentikan tak jauh dari sebuah jalan sempit. Ia menuju ke sebuah rumah yang ia yakini sebagai tempat disembunyikan anak-anaknya oleh Jenna. Ia harus masuk ke sana dan membawa anak-anaknya pulang. Andira menaiki teras rumah dan kini tengah berada di depan sebuah pintu bercat putih. Menghela napas sejenak, Andira kemudian mengangkat tangannya dan mengetuk pintu itu. Tak membutuhkan waktu lama, pintu itu terbuka lebar dan menampilkan seorang wanita berambut panjang dengan senyum manisnya. "Nyonya Andira?" Sapa wanita itu dengan ramah. "Di mana anak saya?" Andira langsung to the points menanyakan keberadaan anaknya. Jenna menaikkan kedua alisnya. "Anda ingin menjemput anak-anak Anda?" "Sebelum bertemu dan menjemput mereka, bukankah lebih baik kita mengobrol dan minum teh bersama?" Jenna menawarkan kepada Andira untuk minum teh. Tapi Andira yang tidak sabar untuk bertemu anak-anaknya memaksa kepada Jenna untuk memberitahu kepadanya dimana keberadaannya. Jenna menun
"Nyonya ... Anak-anak dari tadi siang belum juga pulang dari sekolah." Beri tahu Ana---art di rumah Arsa dan Andira. "A-apa?" Andira terkejut bukan main. "Kenapa tidak mengabari saya dari tadi?" Andira baru pulang ke rumah setelah menjalani aktivitas dikantor firma hukum miliknya. Wanita itu pulang menjelang hari petang. Tapi ia diberikan kabar mengejutkan oleh Art-nya. "Maaf, Nyonya. Tapi saya sudah mencoba menghubungi nyonya ... ponsel Anda tidak aktif," jawab Ana dengan takut. Andira menghela napasnya kasar. Ia lupa bahwa ponselnya kehabisan daya. Wanita itu tanpa mengucapkan sepatah katapun, meninggalkan Ana menuju kamar. Ia memutuskan untuk menghubungi sang suami mengabarkan tentang hilangnya anak-anak mereka. Andira mengambil kabel pengisi daya untuk mengisi ponsel baterai. Ia memilih untuk mengambil ponselnya yang ia miliki satu lagi. Dengan adanya hal yang menimpa anak-anak, ia tidak bisa berlama-lama seperti ini. Ia harus memberitahukan Arsa. Suaminya harus tahu bahw
Hari ini adalah hari kedua setelah kepergian Arsa pamit keluar kota. Andira masih memantau pergerakan suaminya. Pria itu tetap berada di Jakarta dan istirahat di sebuah hotel. Hotel yang ditempati adalah hotel yang berbeda dari tempat ia bermalam dengan Jenna sebelumnya. Tring.Andira menaikkan sebelah alisnya ketika melihat sebuah notifikasi ponsel masuk. Notifikasi itu adalah notifikasi sadapan ponsel Arsa. Dan di sana terdapat hasil percakapan panas antara Arsa dan Jenna.Mengetahui bahwa mereka berdua berbalas pesan, itu menandakan bahwa Arsa tidak sedang berada bersama dengan Jenna. Andira membaca pesan yang isinya adalah perkataan Arsa yang tak ingin menikahi wanita itu. Jenna dalam pandangan Arsa, hanya penghibur pria itu dikala lelah dan bosan. Arsa menekankan pada Jenna agar jangan merendahkan diri untuk bisa tetap menjadi istri seorang pria yang telah menikah. Menjadi simpanan saja, sudah cukup untuk merendahkan diri. Tak perlu terlalu jauh melangkah apalagi ingin menjadi
"Jadi ..., wanita itu ...."Andira terkejut karena mengetahui wanita yang merupakan selingkuhannya masih ada kaitan dengan masa lalu dengan orang tuanya. Tangannya mengepal di bawah meja. Ada emosi dan luka yang menyeruak dari dalam dada."Ibu mengenalnya?" tanya Cindy curiga dengan ekspresi wajah Andira. Andira tersenyum kaku. "Ti-tidak. Hanya ..., saya sendiri paham dengan orang tuanya." "Apa Anda dengan orang tuanya dekat?""Tidak. Hanya sedikit tahu saja. Tapi tidak sampai kenal apalagi dekat," jawab Andira.Andira menghela napasnya. Satu fakta ia temukan lagi tentang wanita itu. Ternyata kekasih gelap suaminya, masih memiliki hubungan masa lalu dengan keluarganya.Andira ingin menangis saat ini juga. Wanita itu teringat akan penderitaan yang ia alami saat masa kecil dulu. Mengapa wanita itu datang ke hidupnya? Apakah ia akan kembali membuat dia sengsara seperti dulu?Demi apapun, Andira akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Ia tak ingin melepaska
"Akhir-akhir ini, setiap aku pulang aku tidak pernah bertemu dengan mereka." Arsa menatap wajah kedua anaknya yang tertidur pulas. Andira memperhatikan raut wajah sendu yang ditampilkan oleh Arsa. Ia mengetahui bahwa pria itu tengah merindukan kedua anak mereka. Dan tidak bisa bertemu karena kesibukan."Mungkin kamu kecewa. Satu hal yang perlu kamu tahu, mereka lebih kecewa daripada kamu," beritahu Andira."Apa mereka marah sama aku?" lirih Arsa."Tadi saat aku barusan pulang sebelum kamu datang, mereka mengeluh bahwa kamu menjanjikan untuk memiliki waktu bersama mereka. Tapi, kamu tidak menepati janji untuk meluangkan waktu sebentar saja," sahut Andira dengan lembut namun berhasil menikam hati Arsa."Seharusnya kalau kamu memang tidak bisa menunaikan janji itu, jangan kamu ucapkan. Lebih baik kamu menyisihkan waktu tanpa menjanjikan apapun. Itu lebih membahagiakan daripada kamu memberikan janji dan harapan yang menyakiti mereka."Andira benar-benar kecewa. Baginya, sikap Arsa sangat
"Sebentar!" Interupsi Andira menghentikan langkah Arsa yang akan menaiki tangga.Andira melangkah mendekati Arsa. "Kenapa aku mencium aroma parfum seorang wanita di jasmu?""A-apa?!"Arsa melebarkan matanya mendengar pertanyaan yang dilemparkan oleh Andira. Pria itu terlihat, sedang mengingat aroma parfum siapa yang dipertanyakan oleh Andira. Andira tersenyum miring melirik ekspresi wajah Arsa.Parfum itu pasti milik wanita simpanannya. Andira menelanjangi Arsa dengan tatapan tajam. Arsa terlihat ketakutan dengan tatapan Andira."Ehh, ... Sa-sayang! Aku---""Parfum siapa itu?" potong Andira, "kamu tidak berganti selera memakai parfum wanita 'kan?""Sayang! Kamu ini mikirin apa sih?" Arsa tersenyum kikuk merasakan degup jantungnya berdetak cepat."Aroma parfum wanita di tubuh kamu itu, bukan parfumku. Kamu coba parfum milik siapa?" Andira bertanya sambil memicingkan mata."Begini, Sayang ...." Arsa terlihat menghela napas mencoba berpikir untuk mencari alasan dan merangkai kata agar An