Share

BAB 2

Tangannya terangkat dan perlahan mengelus perut yang sudah tidak ada isinya itu. Hatinya bagaikan teriris-iris. Luka yang semula menganga, kini semakin menganga.

"Aku memang adalah ibu yang tidak becus!" air matanya perlahan mulai menetes dan membasahi wajah pucatnya.

Bagaimana tidak, ia bahkan tidak mengetahui kalau dirinya tengah mengandung. Dia tidak menyadarinya karena beberapa waktu belakangan ini, dirinya sibuk mengurusi Kayla.

"Suster, berapa usianya?"

"Janin ibu berusia 6 Minggu!" Aira yang mendengarnya hanya tertunduk sedih. Namun, ia segera teringat akan kondisi Kayla saat ini.

"Suster, sudah berapa lama aku berada disini?"

"Ibu sudah terbaring seharian dan sekarang sudah masuk hari baru!"terang suster itu.

Aira yang mendengarnya, tersentak dan kaget. Ia ingin segera turun dari tempat tidur, dan menuju ruang ICU untuk menjenguk purti kecilnya, harapan satu-satunya untuk tetap bertahan hidup.

"Sus, tolong cabut infusnya. Aku baik-baik saja!"ujar Aira.

"Baiklah, tapi Ibu harus minum obat yang sudah diresepkan secara teratur!" ujar sang perawat itu sambil melepaskan jarum infus dari tangan Aira. Airapun segera mengangguk mengiyakan.

Aira segera bergegas pergi tanpa mempedulikan rasa sakitnya dan juga peringatan dari perawat yang sedang bersamanya saat ini.

Namun,"Putri ibu sudah dioperasi!" Seru sang suster yang membuat Aira menghentikan langkahnya. Seperti ada pelangi yang tiba-tiba melintas di hatinya. Ia merasa jauh lebih baik setelah mendengar berita itu." Benarkah, Sus? Tapi bayarannya...." Aira kembali terdiam.

"Sudah lunas Bu, jadi ibu tidak perlu memikirkan itu lagi." ujar Suster cantik itu, sembari tersenyum manis ke arah Aira.

"Tapi siapa yang melunasinya suster?"Aira mengernyit heran, sebab iya yakin tidak mungkin Ivan pelakunya.

"Orang tua dari anak yang tadi Bu'Aira selamatkan dari terjatuh di tangga!" Terang Suster sembari menatap wajah bingung, namun bahagia Aira.

"Kalua boleh tahu, siapa nama orang tuanya yahh, Sus? Biar aku bisa berterimakasih." Tukas Aira.

"Gak tahu tuh, Bu. Oh ya, terus ini ada titipan buat ibu, aku taruh di sini yahh!?" Ujar sang suster cantik itu sembari meraih tas selempangan milik Aira, untuk meletakkan amplop berwarna coklat, entah apa isinya.

"Ohh iya, makasih Sus!" ujar Aira dan berlalu pergi.

Di sepanjang koridor menuju ruang ICU, Aira terus berfikir, siapa gerangan yang sudah melunasi biaya operasi Kayla putrinya." Ahh... Siapapun kamu, makasih yahh, semoga anakmu tetap sehat, Tuhan berkati kamu dengan berkat-berkat yang melimpah. Amin!" Aira mengulas senyum bahagia.

Dengan langkah bahagia ia menuju ke ruangan anaknya. "Ohh, Bu'Aira... Silahkan masuk, Kayla sudah menanti ibu didalam sana." Sapa seorang dokter muda yang berpapasan dengan aira di koridor itu.

"Baiklah Dok, makasih yahh!" Ucap Aira sumringah.

Sejenak ia melupakan tentang janin yang tidak bisa ia jaga dengan baik, sehingga ia harus kehilangannya. Kini ia fokus pada putri cantiknya yang sedang tersenyum manis, mengetahui kedatangannya.

"Mami... ila kangen, mami dali mana ajah sih, lama banget tau!" ucap putri cantiknya.

Air matanya berguguran, ia bahagia mendengar anaknya tidak menangis lagi menahan rasa sakit seperti hari-hari kemarin.

"Maafin mami sayang, ila kangen sama mami yahh? Baiklah, biar mami peluk gadis cantik ini." Ucap Aira sembari menghampiri putrinya yang sedang duduk di atas pembaringannya. Dengan dikelilingi alat-alat medis, khas ruang ICU.

"Kakak geser dikit, biar mami bisa duduk!" Ucapan Aira keluar dengan airmata yang tidak dapat di bendung lagi.

"Ila sudah mau punya adek ya mam?" Ucap gadis kecil itu, dengan wajah dan mata berbinar binar. Menggambarkan betapa bahagianya dia, mendengar dirinya dipanggil kakak, yang artinya dia akan segera memiliki adik, pikirnya.

Aira tertegun sebentar kala menatap wajah kecil mungil yang sedang bahagia menanti jawaban darinya.

"Tadinya... tapi sekarang Tuhan sudah ambil kembali adeknya, kata Tuhan, biar mami bisa fokus ngurusin kakak. Nanti, Tuhan gantikan dengan adek baru." Terang Aira dengan airmata yang mengalir bak sungai yang menuruni wajahnya.

Memiliki putri yang cantik dan pintar seperti Kayla membuatnya merasa nyaman menumpahkan isi hatinya, karena dia yakin putri kecilnya ini akan sangat memahami apa yang dia katakan.

Dan benar saja,"jangan sedih mam, ila tahu mami sedih, tapi mami yang selalu bilang kan, semua yang Tuhan buat itu baik. Kita gak boleh belsyukul saat senang ajah, tapi saat susahpun halus belsyukul. Jadi mami jangan belsedih yahh, mami kan masih punya ila." Ucap gadis kecil itu dengan bahasa anak-anaknya yang selalu terdengar menggemaskan di rungu Aira, namun berbeda dengan hari ini. Kata-kata itu terdengar sangat menyakitkan hati.

"Sudah, mami stop nangisnya! Mami halus janji, mami gak akan menangis lagi! ila pengen mami terus telsenyum, kalena ila suka mami waktu telsenyum, mami cantik sekali." Kayla terus berusaha menghibur Aira yang sedang hancur hatinya. Anak dengan pemikiran yang melampaui usianya. Kini Aira menyadari, bahwa selama ini Kayla lah, kekuatannya dan semangat hidupnya.

Ia bertekad, tidak akan menangis, demi senyuman diwajah putrinya. Ia kemudian memaksakan senyumnya." Maafin mami sayang, mami janji gak akan nangis lagi. Ila cepetan sembuh dong, biar kita bisa jalan-jalan lagi. Hanya berdua. Gimana, ila suka gak?" Tanya Aira sembari mengelus pucuk kepala gadis kecilnya itu.

"Ila suka mam! Mami ingat janjinya yahh, mami halus selalu telsenyum untuk ila!"

"Mami janji Sayang!" ujar Aira sembari terus mengelus pucuk kepala anak gadisnya penuh sayang.

"Mami ila ngantuk, ila sedikit capek! Tolong peluk ila, yang kuat mam, ila ingin melasakan dipeluk mami elat-elat." Pinta gadis kecil itu, dengan binar mata cantiknya yang membuat Aira merasa gemas.

"Ohhh tentu saja, mami akan peluk ila erat-erat. Seperti ini yahh!?" Ujar Aira yang semakin mengeratkan pelukannya, sembari mendaratkan kecupan-kecupan hangat di puncak kepala Kayla.

"Iya mam, makasih ya. I love you mami!" Ujar gadis kecil itu, lalu memejamkan mata. "I love you too Sayang!" Balas Aira.

Aira yang terus memeluk gadis kecilnya itu, kini lebih bersemangat dan tersenyum bahagia, sembari menyenandungkan lagu 'Que Sera sera' lagu kesukaan Kayla.

Detik dan menitpun berlalu, sudah sejak sejam yang lalu aira memeluk gadis kecilnya itu. Tubuh yang tadinya hangat, mulai terasa semakin dingin.

"Ehh, kok? Ila, sayang! Kamu kedinginan yahh, kok badan kamu dingin sayang? Mami tutup pake selimut yahh!"ucapan panik Aira.

Aira berinisiatif untuk membangunkan anaknya, namun setelah menggoyangkan Tubuh mungilnya perlahan, dia baru menyadari bahwa anaknya ini sudah tidak bernyawa, namun ia berusaha menepis pikiran itu.

"Dok, Dokter! Tolong periksa anak saya Dokter, ini kenapa badannya dingin kek gini, Dok?!" Teriak Aira yang semakin panik.

Mendengar hal itu, para Dokter dan Perawat yang ada disitu, segera berlarian ke arah mereka dan meminta Aira untuk memberi ruang agar mereka dapat memeriksanya.

Setelah beberapa menit mereka melakukan pemeriksaan,"maaf Bu'Aira, Kayla sudah pergi sejak sejam yang lalu!" tutur sang dokter pelan pada Aira yang terlihat sedang berada dalam kekalutan.

Aira menarik nafas yang terasa begitu sesak, "bagaimana bisa Dok, anak saya tadi baik-baik saja. Lagian, bukannya Kayla sudah di operasi yah?!" Ujar Aira sedikit meninggikan suara, untuk menutupi rasa takutnya.

"Oh iya Bu, karena ibu kemarin juga ngalamin musibah, jadi kami belum sempat bilang, kalau operasi Kayla kemarin gagal. Karena kondisinya yang sudah sangat parah, dan maafkan kami tidak memberitahu anda karena ini permintaan putri anda Bu'Aira!" Dalam satu tarikan nafas, Dokter itu mengatakan hal yang membuat Aira terperangah tak berdaya.

Ucapan sang Dokter, seperti pedang bermata dua yang menghujam jantungnya. Betapa tidak, barusan ia tersenyum bahkan tertawa dengan Kayla. Namun sekarang, Segala sesuatu terjadi begitu cepat.

Bak kilatan petir yang cepat, namun sangat menyakitkan ketika terkena kilatan cahaya itu.

Air matanya seperti enggan untuk menetes. Aira menatap wajah mungil yang beberapa saat lalu tersenyum lebar padanya, kini terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Ia menatapnya lekat-lekat, sembari kilasan kenangan sejak mengandung hingga melahirkan Kayla serta momen-momen kebersamaan mereka mulai terlintas satu persatu di kepalanya.

"Nak, tega kamu sama mami!! Mami baru kehilangan adekmu, kamu harusnya disini nemenin mami sayang!" Lirih Aira dengan suara bergetar dan tangan yang menahan dadanya yang terasa begitu sesak.

"Ila kembali!! mami gak sanggup sayang, tolong jangan tinggalkan mami. Kayla!" Suara Aira bahkan seperti tercekat, tidak mampu keluar.

Tubuh lemah itu tidak mampu menahan rasa sakit yang begitu menghimpit dirinya, hingga bahkan bernafas pun terasa begitu sulit.

Aira hanya tertegun, menatap wajah mungil putrinya dengan hati yang jelas menolak kenyataan ini.

Suaminya, putrinya, bahkan janin yang belum ia sadari keberadaannya, telah dengan kejam meninggalkannya tanpa belas kasihan.

"Apa salahku Tuhan? Mengapa Kau ambil semangat hidupku?, satu-satunya cahaya yang menerangi jalanku." Ucap Aira dengan airmata yang mulai menetes namun bersamaan dengan itu, tubuhnya ambruk dan segalanya menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status