Share

Gadis Belia

Penulis: Ulif Yoana
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-19 11:18:17

Lima tahun yang lalu

Matahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari. 

Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.

“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”

“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.

“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terlambat.”

“Mas Ramli mau antar aku sampai sekolah?”

“Tentu saja, Anak cantik.”

Wajah Sasmita seketika menghangat. Pipinya tampak merona. Ia begitu bahagia. Sejak pertama kali bertemu Ramli di rumah sahabatnya ia merasa terhipnotis. Ramli pemuda dengan tubuh tegap berkulit hitam manis. Laki-laki baik dan penuh perhatian. Masa-masa puber sedang menguasi Sasmita. Ia sedang merasakan cinta monyet yang menggelora dalam dadanya. Senyum manis Ramli telah tercetak dalam otaknya.

“Kok melamun, Mit? Buruan naik!”

Sasmita senyum-senyum menahan malu. Ia segera naik ke motor Ramli. Ia berpegangan pada jok motor karena tidak berani berpegangan pada pemuda itu. Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai tujuan. Sasmita turun dari boncengan dan mengucapkan terima kasih pada Ramli. Pemuda tampan itupun berpamitan pada Sasmita untuk melanjutkan perjalanan. Wajah gadis belia itu tampak berbunga-bunga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

***

Hari ini sangat spesial buat Sasmita. Selain bertemu Ramli hari ini kelulusan akan diumumkan. Halaman sekolah sudah ramai saat Sasmita tiba. Para siswa pun terus berdatangan karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Sasmita bergegas dan mempercepat langkah menuju kelasnya. 

Sasmita bukanlah siswa yang populer. Ia hanya gadis lugu dengan penampilan sederhana. Nilai akademiknya pun tidak menonjol. Gadis berwajah tirus itu bergeming di bangku sambil berpangku tangan. Suara ribut dan candaan teman-temannya sama sekali tidak memengaruhinya. Dada Sasmita berdegup kencang mengingat Ramli. Ia juga merasa gugup menunggu pengumuman tiba. Ia takut jika tidak lulus. 

“Mit, dari tadi kuperhatikan, kok, kamu senyum-senyum sendiri? Kadang juga tegang gitu. Apa ada masalah?” tanya Rani teman sebangku sekaligus sahabat Sasmita. Rani adalah adik sepupu Ramli.

“Aku deg-degan, Ran, kalau enggak lulus gimana? Nilai-nilaiku pasti enggak sebagus nilaimu.”

“Kok, kamu mikir gitu, Mit? Yakin, deh, pasti lulus. Nanti kita daftar sama-sama di SMA Negeri.” Rani menyemangati sahabatnya itu.

Sasmita tersenyum kecut. Ia tidak yakin bisa di terima di SMA Negeri. Bisa sekolah di SMA swasta saja sudah membuatnya senang. Entah mengapa SMA Negeri di desanya jauh lebih mahal dari pada SMA swasta? Hal itulah yang membuatnya tidak percaya diri.

Sasmita baru saja ingin menceritakan kejadian yang dialaminya pada Rani, tetapi urung dilakukan karena guru wali kelasnya datang membawa pengumuman. Satu persatu nama siswa disebut termasuk nama Sasmita. Semua penghuni kelas bersorak karena dinyatakan lulus. Euforia kelulusan terlihat di halaman sekolah. Para siswa mengungkapkan kebahagiaan mereka dengan berbagai cara.

Matahari tepat di ubun-ubun saat para siswa diizinkan pulang. Sasmita tidak sabar ingin segera sampai rumah untuk menyampaikan kabar gembira. Panggilan Rani dan beberapa temannya pun ia abaikan. Gadis cantik itu pamit duluan dengan melembaikan tangan.

Sasmita mempercepat langkah. Terik matahari tidak menggoyahkan semangatnya. Dahi dan tubuhnya mulai basah oleh keringat. Setiba di rumah ia segera  menghambur ke dalam. Namun, raut wajahnya berubah saat sambutan ibu dan bapaknya tidak seperti yang ia harapkan. Hatinya perih bagai diiris sembilu.

“Maafkan Bapak dan Ibu, Nak, kami sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahmu. Mulai besok kamu bantu-bantu ibumu saja di warung atau kalau kamu mau bisa mencari pekerjaan di kota,” kata bapaknya.

Sasmita hanya bisa menunduk sambil berlinang air mata. Tubuhnya melorot dan terduduk di lantai tanah. Gadis itu tak kuasa menahan kesedihan. Pupus sudah semua harapan dan impiannya. Ia ingin protes kepada Tuhan, kenapa ia tidak bisa seperti teman-temannya yang bisa terus sekolah? Kenapa ia dilahirkan dari keluarga kurang mampu?

Dalam hati Sasmita berjanji pada diri sendiri. Suatu hari nanti nasibnya harus berubah. Ia tidak mau lagi hidup dalam kemiskinan. Hidup dalam penderitaan. Ia tidak tau bagaimana caranya? Ia juga belum paham bagaimana kehidupan yang sebenarnya. Ia hanya ingin kelak hidupnya enak dan tidak kekurangan.

Pekerjaan Sokran—bapak Sasmita—sebagai buruh tani pada saat musim tanam dan panen padi atau jagung, sedangkan Samirah—ibu Sasmita—membuka warung kopi sederhana dengan keuntungan tak seberapa. Penghasilan mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Malam ini Sasmita sendirian di teras rumahnya.  Ia duduk di amben yang terbuat dari bambu. Gadis cantik itu masih bersedih, tetapi tanpa air mata yang menetes dipipinya. Wajahnya terlihat bermuram durja. Ia mendongak menatap langit yang cerah seperti hamparan kubah, tanpa awan dan kabut yang menghalanginginya.

Bulan berbentuk perahu tampak menggantung di langit. Bintang-bintang pun bersinar menghiasi atap alam semesta. Embusan angin menggoyangkan anak rambut Sasmita yang sedang asyik dengan pikirannya. Malam ini tidak ada yang bisa menghibur kegalauan hati gadis berusia lima belas tahun itu. Air mata yang tertumpah pun akan sia-sia karena itu tidak akan merubah keadaan.

Keindahan malam yang terhampar membuat hati Sasmita sedikit terhibur.  Bagaimanapun juga ia tidak mau membunuh impian dan harapannya. Dalam hati ia berkata ‘Tuhan, bisakah suatu hari nanti aku hidup bahagia? Bisakan nasibku berubah? Aku lelah menjadi orang miskin dan menderita.’

Selama ini Sasmita tidak pernah merasa bahagia. Kebahagiaan yang ia maksud adalah tentang kemewahan dunia bukan tentang kebersamaan keluarganya. Sejak kecil ia harus rela berbagi, rela makan seadanya, dan rela hidup serba kekurangan. Pikiran sempitnya selalu memberontak, tetapi ia hanya bisa pasrah.

Senyum Sasmita sering kali padam saat apa yang ia inginkan tidak terpenuhi meskipun itu hanya hal sederhana seperti makan ayam krispi seperti iklan di televisi. Terkadang ia berhenti berharap, tetapi semangatnya kembali membuncah saat ia  ingin merubah kehidupannya. Sasmita ingin seperti anak-anak lain yang hidup di keluarga berkecukupan.

“Kamu lagi mikir apa, Nak? Kamu masih sedih? Besok pagi tolong bantu ibu jaga warung, ya, Nak, biasanya musim menanam jagung begini warung lumayan ramai.” Ucapan Samirah mengejutkan Sasmita yang sedang asyik dengan pikirannya. Ia spontan menoleh ke sumber suara. Entah sejak kapan wanita berusia tiga puluh enam tahun itu berdiri di samping amben tempat Sasmita duduk.

“Enggak mikir apa-apa, Bu, aku cuma melihat keindahan langit.” Sasmita mencoba tersenyum menyembunyikan kesedihannya.

Samirah bukannya tidak tahu akan kegundahan hati Sasmita—anak sulungnya. Namun keadaan perekonomian keluarga membuatnya menutup mata. Keputusan yang dia ambil dengan suami adalah jalan satu-satunya saat ini. Pikiran kunonya mengatakan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, nanti juga tempatnya di pawon (dapur).

Selain Sasmita, Samirah dan  Sokran mempunyai dua anak lagi. Anak kedua—laki-laki bernama Haris akan masuk SMP. Anak ketiga— perempuan—bernama Sita masih kelas lima sekolah dasar. Kedua adiknya juga membutuhkan biaya sekolah. Kali ini Sasmita harus rela berkorban. Bagi Samirah bisa lulus sekolah menengah pertama itu sudah bagus. Dulu ibu beranak tiga itu hanya lulusan sekolah dasar.

“Kamu yang sabar, ya, Nak, maafkan Ibu dan Bapak.” Samirah duduk di sebelah Sasmita. Dia menyentuh pundak anak gadisnya. Ini kedua kalinya kata maaf meluncur dari bibir Samirah. Dia yakin Sasmita akan menerima semua ini dengan ikhlas.

“Iya, Bu, aku mengerti keadaan Ibu dan Bapak. Besok aku bantu apa di warung?” Gadis belia itu terpaksa berbohong dan menyembunyikan kekecewaannya. Bagaimanapun juga ia menyayangi kedua orang tuanya. Ia ingin menyenangkan hati mereka.

“Bantu apa saja yang penting kamu mau bantuin Ibu.” Wajah Samirah berbinar mendengar ucapan anak sulungnya. Wanita yang kecantikannya memudar tanpa perawatan itu sangat senang karena Sasmita akhirnya mau menerima keadaan keluarga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan Istri yang Tak Diinginkan   Atas Nama Cinta

    ‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang

  • Pembalasan Istri yang Tak Diinginkan   Ungkapan Cinta

    “Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun

  • Pembalasan Istri yang Tak Diinginkan   Bertemu Kembali

    Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.

  • Pembalasan Istri yang Tak Diinginkan   Kaburnya Dahlia

    Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah. Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang.Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia.‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’Arya mengirim pesan

  • Pembalasan Istri yang Tak Diinginkan   Kisah Arya dan Dahlia

    “Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.”“MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya.Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga. Meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa. Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu.Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya. Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa be

  • Pembalasan Istri yang Tak Diinginkan   Kejutan

    Sasmita berjalan terpincang-pincang. Air matanya terus mengalir sepanjang ia berjalan. Tidak hanya menahan perih akibat luka di tubuhnya, tetapi juga kesal dengan pemuda yang hampir menabraknya.“Dasar tidak punya perasaan dan etika. Ada orang jatuh tidak ditolong, malah dimaki-maki. Dia kira, jalan ini punya nenek moyangnya” gerutu Sasmita. Hatinya sakit mengingat pemuda tersebut. Andai Sasmita tahu, pemuda itu yang akan dijodohkan dengannya.Sasmita hampir tiba di warung ibunya setelah berjalan selama sepuluh menit. Warung berdinding anyaman bambu itu sudah terlihat jelas oleh Sasmita. Gadis itu ragu untuk kembali melangkah. Ia berhenti sejenak saat melihat laki-laki berkumis tebal keluar dari warung.“Juragan Karyo?” pekik Sasmita, lalu buru-buru ia menutup mulutnya. Tubuh Sasmita bergetar. Ia bergidik ngeri saat membayangkan akan menjadi istri seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Sasmita segera berlari dan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di pinggir jalan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status