“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”
“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.
Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.
“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.
“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.
Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Sasmita ingin jujur mengungkapkan semua keluhan dan rasa sesak di dadanya. Bukankah selama ini Ibu dan Bapaknya selalu mengajarkan kejujuran? Jujur mungkin akan menyakitkan, tetapi itu lebih baik bagimu. Begitulah Bapaknya selalu bilang. Seperti yang telah mereka lakukan pada Sasmita, kedua orang tua itu jujur bahwa mereka sudah tidak sanggup lagi menyekolahkannya meskipun hal itu mematahkan semangat buah hati mereka.
Sasmita menangis dalam diam. Tidak terasa air matanya sudah menganak sungai. Sekali-kali ia mengusap cairan bening di pipinya dengan punggung tangan. Air mata itu tak juga berhenti malah terus mengalir hingga Samita terisak-isak.
Sasmita ingin sekali marah kepada Tuhan, tetapi ia ingat akan nasehat guru ngajinya di desa bahwa ngersula itu berdosa. Gadis cantik itu pun diam-diam mempunyai rencana besar. Suatu hari ia akan ke kota bekerja apa saja asalkan bisa mendapatkan uang yang banyak agar hidupnya tidak lagi menderita. Rencananya itu mungkin akan mengubah hidupnya. Pikiran sederhananya membawa ia dalam khayalan yang absur.
Malam semakin merangkak bulan pun terlihat mengecil. Angin kencang menggoyang-goyangkan ranting dan daun pohon jambu yang tumbuh di depan rumah Sasmita. Ia mulai menggigil kedinginan lalu melangkah menuju bilik sederhananya yang berdinding gedek (anyaman bilah-bilah bambu). Ia merebahkan tubuh kurusnya di atas dipan kayu sederhana tanpa ukiran dan kasur yang mulai menipis.
Air mata Sasmita telah mengering dan rasa kantuk mulai menyerangnya. Embusan angin menembus lubang-lubang kecil pada gedek membuat Sasmita merapatkan selimutnya. Tidak butuh waktu lama gadis cantik itu pun terlelap.
***
Samirah terbangun saat fajar. Seperti biasanya wanita yang terlihat lebih tua dari usianya itu mulai menyalakan kompor berbahan minyak tanah lalu menanak nasi, merebus jagung, dan menyiapkan bumbu-bumbu. Karena merasa keteteran Samirah Memanggil Sasmita dari tempatnya duduk saat ini.
“Sasmita bangunlah! Bantu Ibu menyiapkan barang-barang yang mau dibawa ke warung. ” Suara Samirah terdengar nyaring dari pawon, tetapi Sasmita tidak juga keluar dari biliknya. Gadis belia itu masih tertidur lelap karena semalam menangis hingga larut.
Karena tidak sabar Samirah pun bergegas ke bilik Sasmita. Melihat anak sulungnya masih tertidur pulas dia menjadi kesal. Samirah menarik selimut yang menutupi tubuh Sasmita dan mengguncang-guncang tubuhnya. Beberapa menit kemudian gadis itu pun terbangun.
“Ada apa, Bu?” tanya Sasmita sambil mengerjap.
“Kok, tanya ada apa? Ini sudah Subuh lekaslah bangun! Setelah salat, bantu Ibu di dapur!”
Sasmita menguap beberapa kali. Ia mengumpulkan kesadaran sambil mengusap kedua matanya. Ia pun bergegas bangun lalu melangkah menuju pakiwan yang letaknya di belakang rumah dan bersebelahan dengan sumur. Sebelum masuk ia menimba air terlebih dahulu dan mengisi genuk yang berada di dalam pakiwan. Hal itu memang sudah ia lakukan setiap hari sejak kelas enam sekolah dasar.
Setelah menjalankan ibadah Subuh Sasmita berinisiatif membangunkan kedua adiknya lalu menuju pawon untuk membantu Emaknya. Kali ini Sasmita tidak hanya memotong sayuran dan membuatkan kopi untuk bapaknya, tetapi juga membantu menyiapkan aneka gorengan yang akan dijual di warung. Satu jam kemudian semua pekerjaan sudah selesai.
Saat istri dan anaknya sibuk bekerja di belakang, Sokran pun sibuk menyiapkan peralatan pertanian. Hari ini dia mendapat pekerjaan memanen jagung di sawah Pak Lurah. Setelah siap dia menuju teras dan duduk di dipan dari bambu ditemani secangkir kopi pahit dan sepiring jagung rebus. Sekali-kali lelaki paruh baya itu menyeruput pelan kopi yang masih mengepulkan asap. Kopi buatan Sasmita.
Setelah sarapan Sokran berangkat ke sawah, Haris dan Sita berangkat ke sekolah. Sementara Sasmita dan Samirah masih sibuk memasukkan aneka gorengan ke dalam wadah. Ibu dan anak sulung itu berangkat ke warung setelah semua siap.
***
Sasmita merasa gugup melayani para pelanggan di hari pertama membantu ibunya di warung. Ia tidak sengaja menumpahkan kopi pesanan pelanggan. Samirah pun memarahinya di hadapan semua orang. Sasmita malu dan dongkol. Setelah membereskan kekacauan ia pun pergi ke kebun jagung yang lokasinya tepat di belakang dan tak jauh dari warung. Gadis belia itu kembali terisak meratapi nasibnya.
Sasmita duduk di bawah pohon Angsana yang sedang berbunga. Pohon itu tumbuh di sebelah kiri jalan yang berbatasan dengan kebun jagung. Setelah beberapa saat air matanya pun berhenti mengalir. Wangi bunga Angsana yang terbawa angin terhirup hidungnya membuat pikirannya sedikit tenang. Namun, ia tak berhenti mengeluh.
“Seandainya aku tidak dilahirkan dari Ibu dan Bapak yang miskin mungkin nasibku tidak akan seburuk ini,” ucapnya lirih. Ia sadar bahwa yang diucapkannya itu salah, tetapi ia tak peduli lagi. Terlintas dalam pikirannya sekali lagi bahwa Tuhan tidak adil. Saat Sasmita sibuk dengan pemikirannya tiba-tiba suara bariton Samirah mengejutkannya.
“Sasmita, kamu di mana? Disuruh bantu-bantu, kok, malah pergi.” Samirah berteriak dari belakang warung.
“Iya, Bu, sebentar.” Sasmita beranjak dari tempatnya duduk. Gadis berkulit kuning langsat itu bergegas kembali ke warung.
“Gelas-gelas itu tolong dicuci. Ibu mau ke pasar dulu belanja. Nanti kalau ada orang beli layani dengan baik. Jangan ditumpahkan lagi kopinya! Ibu bisa rugi.”
“Baik, Bu. Jangan lama-lama, ya, Bu! Aku takut.”
“Kamu ini, kok, aneh-aneh saja. Memangnya kamu takut apa? Ya sudah, Ibu berangkat dulu keburu siang.”
Samirah agak terburu-buru meninggalkan warung. Dia lupa kalau hari ini juragan Karyo—pemilik tanah yang ia dirikan bangunan warung akan datang. Tuan tanah berusia empat puluh tahun itu akan meminta uang sewa.
***
Sasmita mulai mengerjakan perintah ibunya. Semua gelas dan peralatan yang kotor ia cuci bersih lalu menatanya di atas meja kayu. Setelah pekerjaannya selesai gadis berambut sebahu itu duduk di dingklik kayu. Tidak lama kemudian seorang pelanggan datang. Laki-laki tinggi dengan perut tambun, berkulit cokelat, dan berkumis tebal. Laki-laki itu duduk di dhampar lalu menaikkan satu kakinya.
“Buatkan kopi satu!” Samirah mana?”
“Ibu ke pasar, Wak.” Sasmita menjawab pertanyaan laki-laki itu sambil menyiapkan kopi pesanannya.
“Oh, jadi kamu anaknya Samirah?” tanya laki-laki itu sambil mencomot pisang goreng di atas piring yang ada di hadapannya. Matanya tak berhenti menatap tubuh bongsor Sasmita.
“Iya, Wak.”
Laki-laki berkumis tebal itu manggut-mangut. Ia tersenyum menyeringai sambil mengunyah pisang goreng.
***
Ngersula= mengeluhGedek= anyaman bilah-bilah bambuPakiwan= bilik mandiGenuk= wadah air dari tanah liat (gerabah)Pawon= dapur Dingklek kayu= Bangku pendek untuk dudukDhampar= Bangku panjang dari kayu Amben= Dipan‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.
Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah. Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang.Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia.‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’Arya mengirim pesan
“Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.”“MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya.Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga. Meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa. Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu.Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya. Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa be
Sasmita berjalan terpincang-pincang. Air matanya terus mengalir sepanjang ia berjalan. Tidak hanya menahan perih akibat luka di tubuhnya, tetapi juga kesal dengan pemuda yang hampir menabraknya.“Dasar tidak punya perasaan dan etika. Ada orang jatuh tidak ditolong, malah dimaki-maki. Dia kira, jalan ini punya nenek moyangnya” gerutu Sasmita. Hatinya sakit mengingat pemuda tersebut. Andai Sasmita tahu, pemuda itu yang akan dijodohkan dengannya.Sasmita hampir tiba di warung ibunya setelah berjalan selama sepuluh menit. Warung berdinding anyaman bambu itu sudah terlihat jelas oleh Sasmita. Gadis itu ragu untuk kembali melangkah. Ia berhenti sejenak saat melihat laki-laki berkumis tebal keluar dari warung.“Juragan Karyo?” pekik Sasmita, lalu buru-buru ia menutup mulutnya. Tubuh Sasmita bergetar. Ia bergidik ngeri saat membayangkan akan menjadi istri seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Sasmita segera berlari dan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di pinggir jalan