Share

Rencana Samirah

 

Hari ini, warung lumayan ramai. Pelanggan silih berganti masuk untuk sekedar memesan secangkir kopi dan beberapa biji pisang goreng. Namun ramainya pelanggan, tak membuat Sasmita semringah. Ia bahkan membiarkan ibunya yang kewalahan melayani pelanggan. Kali ini Samirah memaklumi keadaan Sasmita. Ia tidak berteriak-teriak seperti biasanya jika Sasmita lelet dan malas-malasan.

 

Hari ini Sasmita tak bersemangat. Seperti hari sebelumnya, gadis cantik itu tetap membantu ibunya berjualan di warung. Namun, Ia lebih banyak duduk di kursi kayu sambil melamun di depan pintu belakang warung yang menghadap kebun jagung.

 

Para pelanggan satu persatu meninggalkan warung setelah membayar minuman, gorengan, dan camilan yang mereka makan. Minuman dan makanan telah tandas.

 

“Mita, jangan melamun saja! Bantu ibu membereskan cangkir-cangkir kotor di meja.”

 

Sasmita masih membisu. Tanpa diperintah dua kali, ia segera beranjak, lalu memunguti cangkir-cangkir dan segera mencucinya.

 

“Ibu tau kamu bersedih Mita. Setelah dipikir-pikir, mungkin ini sudah jalan hidup kita. Ini takdirnya Gusti Allah.”

 

Samirah membuang napas berat. Sebenarnya hatinya tidak rela. Ia pun tidak tega menyerahkan Sasmita pada juragan Karyo. Namun, sejauh mana ia bisa menolak. Juragan Karyo itu orang yang punya kuasa. Dengan uangnya, siapa pun bisa menuruti perintahnya.

 

Sasmita melirik Samirah sekilas. Hatinya begitu sakit mendengar ucapan ibunya barusan. Semalam, wanita yang melahirkannya itu bilang tidak akan menjualnya, tetapi sekarang ia bicara mengenai takdir. Apakah ibunya itu sudah mulai menyerah? Ia merasa hidup ini tidak adil. Mengapa ia yang harus dikorbankan? Mengapa ia yang harus menderita? Mengapa ia yang harus membawa beban seberat ini? Pertanyaan-pertanyaan serasa memenuhi otaknya. Dadanya sesak seperti terimpit batu besar.

 

Tak kuasa menahan lara, air mata Sasmita kembali mengali deras hingga terisak-isak. Ia gadis yang masih ranum. Kelopaknya yang indah baru saja bermekaran. Haruskah ia layu sebelum berkembang? Hatinya teramat pedih memikirkan kenyataan di depan matanya.

 

Melihat kesedihan putri sulungnya, hati Samirah pun terasa teriris. Selama hidupnya, ia telah bergelung dalam keterbatasan dan kekurangan, tetapi tak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat Sasmita yang malang.

 

Samirah memeluk putrinya dari belakang. Ia mengelus-elus rambut Sasmita dengan penuh kasih sayang. Berbagai pertimbangan telah melintas di kepalanya. Keputusan apa yang ia harus ambil.

 

“Ibu memberi nama Sasmita padamu. Nama itu ibu dapat dari guru ibu. Kata beliau, Sasmita  memiliki arti selaras, ramah, dan santun. Seperti harapan ibu, kamu tumbuh seperti itu meskipun kami mendidikmu dengan sangat keras dan serba terbatas. Kamu selalu nerimo, nurut, dan patuh.”

 

Sasmita masih diam seribu bahasa. Namun isakannya masih terdengar sesekali. Pikiran lugunya mulai mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari bibir ibunya. Ia dipaksa dewasa sebelum waktunya.

 

“Ibu ini bukan orang terpelajar. Ibu hanya lulusan sekolah dasar. Ibu juga tidak punya harta untuk diberikan pada anak-anak ibu, tetapi ibu selalu berharap hidupmu sejahtera dan bahagia.” Air mata Samirah mengalir. Sungguh ini adalah hal yang berat baginya.

 

“Maksud Ibu, apa?” Sasmita memberanikan diri bertanya.

 

“Mengenai juragan Karyo, semalam ibu dan bapak telah berunding. Jika memang keinginan juragan Karyo tidak bisa ditolak, kami akan mengajukan syarat.”

 

“Syarat?” Sasmita tercekat. Ia makin tidak mengerti dengan ucapan ibunya.

 

“Usiamu masih 16 tahun, masih terlalu dini untuk menikah. Ibu memang bukan orang pintar, tetapi ibu tau aturan negara tentang pernikahan.”

 

“Jadi, Ibu dan Bapak akan menolak lamaran juragan Karyo?” Seketika wajah Sasmita berbinar. Secercah harapan seakan-akan muncul di hadapannya.

 

“Menolak secara halus, Mita. Setidaknya hingga umurmu 18 atau 19.”

 

“Maksud Ibu? Aku jadi bingung.” Sasmita mengernyit. Kegembiraannya sedikit meredup.

 

“Kita tidak tau apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan, Mita. Dengan meminta tambahan waktu, berarti kita mengulur waktu pernikahan itu.”

 

Sasmita tersenyum. Ia mulai paham dengan perkataan ibunya. Sasmita membalikkan badan. Ia memeluk ibunya dengan erat. “Terima kasih, Ibu,” ucapnya kemudian.

 

“Jangan bersedih lagi! Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Mulai sekarang kamu harus makin rajin. Jika tahun ini ibu belum bisa menyekolahkanmu barangkali tahun depan bisa.”

 

“Baik, Bu.” Sasmita mengangguk dengan mantap. Kesedihan yang menggelayut manja di wajahnya seketika sirna.

 

“Tapi, jika takdir Tuhan berkata lain, ibu harap kamu sudah siap menerima,” ucap Samirah datar. Ada sedikit keraguan dalam kalimatnya.

 

“Ibu, kenapa Ibu berkata seperti itu?”

 

“Ibu hanya ingin kamu siap menerima kenyataan, Mita. Berdoa saja semoga rencana ibu berjalan lancar. Juragan Karyo mau menerima syarat yang nanti ibu ajukan.”

 

Sasmita bergeming. Baru saja matanya berbinar, kini kembali redup. Masalah ini tidak sesederhana apa yang ada di pikirannya. Suasana menjadi hening. Sasmita dan ibunya sama-sama bergumul dengan pikirannya masing-masing, hingga suara ketukan pintu dan ucapan salam membuyarkan angan-angan mereka.

 

“Assalamualaikum.”

 

“Waalaikumsalam.” Sasmita dan Samirah bersamaan menoleh ke arah sumber suara.

 

“Rani ...? Ada apa datang ke sini?” sapa Sasmita dengan heran.

 

“Anu, Mit ....” Rani tidak melanjutkan kata-katanya. Ia celingukan dan bingung mau ngomong apa.

 

“Ada perlu apa, Nak Rani?” tanya Samirah. Ia paham betul mengapa Rani menjeda ucapannya. Namanya juga anak baru gede. Suka ada rahasia di antara remaja yang mungkin tidak boleh diketahui orang tuanya. Mungkin juga Rani sungkan berkata-kata saat ada dirinya di antara Rani dan Sasmita.

 

“Anu Bulik, saya boleh mengajak Sasmita keluar sebentar?”

 

“Ke mana?”tanya Sasmita

 

“Keluar ke mana, Nak Rani? Sasmita lagi membantu bulik di warung.” Samirah ikut menimpali.

 

“Sebentar saja, Bulik. Sasmita mau kuajak makan bakso di kios Bakso Mapan untuk merayakan kelulusan kami. Maksudnya, mau aku traktir gitu.” Rani berdalih. Ia harus berhasil mengajak Sasmita keluar.

 

Samirah mengernyit beberapa detik. Ia menatap wajah Rani intens. Selama ini, Samirah mengenal Rani sebagai anak yang baik. Ia yakin, Rani tidak akan mengajak Sasmita pada hal-hal buruk.

 

“Ya sudah, bulik izinkan, tetapi jangan lama-lama, ya! Sebentar lagi waktunya orang-orang istirahat siang, biasanya warung Bulik ramai.”

 

“Baik, Bulik. Janji, deh. Nanti setelah makan bakso, Sasmita tak kembalikan ke sini.” Rani memasang dua jari sambil tertawa senang.

 

Setelah berpamitan dan mencium tangan Samirah, Sasmita dan Rani keluar warung. Mereka berjalan menuju kios bakso terkenal yang ada di desa mereka.

 

“Mit, kenapa matamu sembap? Kamu habis nangis ya?” Rani heran melihat wajah Sasmita yang kusut dengan mata sedikit bengkak.

 

“Ceritanya panjang, Ran. Nanti kapan-kapan aku ceritakan.” Sasmita menghela napas. Ia ingin berbagi kisah pilu pada sahabatnya itu, tetapi saat ini waktunya belum tepat.

 

sebenarnya ke warung bakso itu alasanku saja biar bisa ngajak kamu keluar.” Rani berkata jujur saat mereka masih berjalan melewati jalanan desa yang berkapur.

 

“Hah? Jadi, kamu enggak jadi traktir aku, makan bakso?”

 

“Makan baksonya jadi, Mit. Cuma, bukan itu alasan utamanya,” jelas Rani. “Kamu, kok, jadi matre, sih?”

 

“Siapa yang matre? ‘Kan, kamu sendiri tadi yang bilang mau traktir.”

 

“Sebenarnya, aku ngajak kamu keluar karena disuruh seseorang, Mit. Ada yang ingin bertemu kamu.”

 

“Siapa? Kenapa nyuruh kamu?” Sasmita bertanya-tanya. Ia masih belum bisa menebak siapa orang yang ingin bertemu dengannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status