Share

Luapan Rindu

“Mau ke mana Arya? Tidak makan dulu?” tanya Istri juragan Karyo.

 

“Keluar sebentar,” jawab Arya singkat.

 

“Tapi, Ar ....”

 

Tanpa melihat wajah ibunya, Arya pergi begitu saja. Ia bahkan tidak peduli dengan wanita yang telah melahirkannya. Pemuda itu mengeluarkan dan mengendarai motornya dengan tergesa.

 

Istri juragan Karyo menghela napas berat sambil mengelus dada. Ia tergemap dengan tingkah laku Arya yang selalu saja membuatnya harus menambah kesabaran. Dosa apa yang ia lakukan sehingga anaknya berperilaku tidak sopan padanya. Batinnya menangis tanpa menyadari kekeliruannya sebagai orang tua.

 

Sering kali manusia lupa akan kekhilafannya, lalu mengeluh, memprotes, dan mempertanyakan kepada Tuhan apa saja salah dan dosanya. Sungguh menggelikan.

 

***

 

Dahlia sudah menunggu di jalan ujung desa saat Arya datang. Gadis cantik yang sedang ranum-ranumnya itu tersenyum bahagia. Tidak bertemu kekasihnya sepekan serasa berbulan-bulan. Arya menarik tangan Dahlia dan mengajak gadis itu ke kerimbunan pohon agar tidak terlihat orang yang mungkin lewat jalan itu. Kedua anak manusia itu pun menuntaskan rindu. Arya tersenyum penuh kemenangan.

 

Dahlia melepaskan diri dari pelukan Arya setelah beberapa menit. Gadis itu merasa jengah. Biasanya ia menolak jika Arya memeluknya karena masih mengingat norma kesopanan dan juga status ayahnya di mata masyarakat, tetapi kali ini gadis itu seperti tak peduli. Air matanya tiba-tiba mengalir membasahi pipi. Rasa cintanya terhadap Arya menumbangkan pertahanannya.

 

Entah apa yang membuat Dahlia jatuh cinta kepada Arya. Seorang pemuda bengal dan arogan karena kekayaan orang tuanya. Begitu banyak pemuda yang menaksirnya, tetapi pilihannya justru kepada Arya. Rasa cintanya tumbuh, saat Arya menolongnya dari godaan-godaan pemuda iseng dari kampung sebelah.

 

“Kenapa menangis, Lia? Apa ada yang menyakitimu?” Arya memicingkan mata. Ia menangkap ada sesuatu yang tak beres dari mimik wajah Dahlia.

 

Dahlia hanya menggeleng. Air matanya makin deras mengalir. Arya mengajaknya duduk di bawah pohon trembesi yang cukup rindang. Ia kembali memeluk gadis itu dan menepuk-nepuk bahunya hingga Dahlia tak lagi terisak.

 

“Keluargaku meminta agar aku memutuskanmu, Mas Arya.”

 

“Aku tau. Keluargamu tidak ada yang menyukaiku, lalu apa rencanamu?

 

“Bapak menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Orang kota,” jelas Dahlia dengan suara datar.

 

“Kamu mau?” Pertanyaan Arya sedikit ditekan, lalu ia tersenyum meremehkan. “Keluargamu pikir, aku tidak bisa membahagiakanmu? Aku anak tunggal, bapakku kaya, warisanku banyak. Tidakkah itu cukup?”

 

“Orang tuaku tidak seperti yang kamu pikirkan, Mas.”

 

“Lalu apa?” Arya berdiri dari duduknya. Dadanya terasa sesak.

 

“Mas Arya tau jawabannya. Orang tuaku tidak suka dengan kebiasaanmu, Mas”

 

“Ha ha ha ha. Orang tuamu munafik. Memangnya kenapa dengan kebiasaanku?” Arya tersinggung. Ia paling tidak suka jika harga dirinya diusik.

 

“Mas ...!” sentak Dahlia. Meskipun cintanya sangat besar terhadap Arya, tetapi gadis itu tetap tak terima jika orang tuanya dikatakan buruk oleh Arya.

 

“Kamu ingin kita ketemuan hanya untuk mengajak bertengkar?”

 

“Tidak, Mas. Aku hanya ingin solusimu?”

 

“Solusi apalagi? Kakak-kakakmu itu sudah mengancamku agar aku menjauhimu dengan alasan kamu harus fokus kuliah dulu, lalu tiba-tiba kamu bilang akan dijodohkan. Omong kosong apalagi ini?”

 

“Kata bapak, aku tetap boleh melanjutkan kuliah setelah menikah, Mas,” jawab Dahlia datar. Gadis itu pun merasa dilema. Ia mencintai Arya, tetapi juga tak kuasa menolak perjodohan yang telah disepakati keluarganya.

 

“Terus apa maksudmu mengajakku bertemu di tempat ini? Mau pamer calon suami?” bentak Arya. Wajah pemuda itu merah padam menahan amarah. Detak jantungnya berdetak cepat. Ia berbalik membelakangi Dahlia yang terpaku.

 

“Bukan begitu, Mas Arya.” Wajah Dahlia pias. Matanya berkaca-kaca. Ia takut juga melihat mimik wajah Arya yang menakutkan karena emosi. Selama dua tahun mereka pacaran saat di bangku SMA, baru kali ini ia melihat amarah Arya. Spontan gadis itu memeluk Arya dari arah belakang. “Jangan marah, Mas,” pintanya.

 

Emosi Arya mereda. Ia menggenggam kedua tangan Dahlia yang melingkar di perutnya. Arya berbalik sambil menatap Dahlia lekat-lekat. Satu tangannya kini berpindah ke dagu Dahlia. Pemuda itu mendekatkan wajahnya pada wajah kekasihnya. Dahlia terkejut. Detak jantungnya serasa berlompatan. Gadis itu tersipu malu dan menundukkan pandangannya.

 

“Hari ini kita tidak usah bertengkar lagi. Tidak usah membahas masalah yang tadi. Aku merindukanmu, jadi ....”

 

“Tapi, Mas ....”

 

“Ssssst ....” Arya meletakkan jari telunjuknya pada bibir Dahlia. Melarang gadis itu untuk berbicara.

 

Kini mereka saling menatap. Dengan tatapan itu, mereka saling berbicara dari hati ke hati. Dahlia tersenyum. Arya membalas senyuman, lebih tepatnya menyeringai. Dahlia tidak menyadarinya. Arya menghirup wangi tubuh kekasihnya. Detak jantung Kedua anak manusia itu saling berpacu. Kedua insan itu pada akhirnya ter butakan oleh hawa nafsu yang terbalut dalam ucapan cinta.

 

Arya tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan sigap, satu tangannya melingkar di pinggang Dahlia dan merapatkan tubuh gadis itu pada tubuhnya. Dahlia mati kutu. Ia mencoba melepaskan pegangan Arya, tetapi Arya tidak membiarkannya. Kini debaran hati keduanya seakan-akan melebur menjadi satu. Napas Arya memburu. Dahlia tak kuasa menolak pesona Arya. Gadis itu terpejam beberapa waktu. Saat itulah bibir mereka bertemu. Ini pertama kalinya bagi Arya dan Dahlia.

 

Dahliah hampir tidak bisa bernapas. Ia menepuk-nepuk dada Arya, mencoba melepaskan diri. “Mas Arya, sudah. Aku harus pulang sebelum ketahuan orang tua dan kakakku,” ucap Dahlia terengah-engah. Dalam hati ia menikmati momen kebersamaannya dengan Arya barusan, tetapi hati kecilnya masih dilingkupi rasa takut. Takut kebablasan.

 

Ada gurat kekecewaan di hati Arya. Ia ingin memiliki Dahlia, hati juga tubuhnya. Ia tidak rela jika gadis yang dicintainya itu menjadi milik orang lain. Ia masih enggan melepas tubuh Dahlia dan makin mendekapnya erat hingga Dahlia tak bisa bergerak. Ada sedikit niat culas di dalam hatinya. Namun kali ini, ia gagal. Untuk hari ini mungkin cukup itu saja. Bibir hangatnya tidak akan pernah dilupakan Dahlia. Ia yakin itu.

 

Dengan berat hati Arya melepaskan Dahlia, tetapi sebelumnya ia berbisik pada kekasihnya, “Kapan kita ketemu lagi? Mungkin saat itu aku sudah menemukan solusi.”

 

Dahlia menatap Arya intens. Ia tersenyum bahagia. “Perjuangkan aku, Mas. Buktikan Mas Arya serius dan bisa berubah. Jangan lagi nongkrong dengan anak-anak yang suka nongkrong di pinggir jalan besar itu,” pinta Dahlia.

 

Arya tersenyum kecut. Ia tidak serta Merta menyanggupi permintaan Dahlia. “Aku antar pulang sekarang?”

 

“Mas Arya mau cari masalah? Aku pulang sendiri aja, Mas. Nanti sampai rumah, aku telepon.”

 

Dahlia celingukan ke kiri dan ke kanan sebelum keluar dari balik pohon. Ia tidak ingin ada seorang pun yang melihat pertemuannya dengan Arya. Lebih-lebih kejadian barusan yang membuatnya menikmati sensasi aneh. Jalanan tampak sepi. Setelah dirasa aman, Dahlia melangkah ke arah jalan. Ia melambai pada Arya yang masih di tempat semula.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status