Perkataan Mbok Lani yang mendadak membuatku semakin susah untuk berpikir jernih. Ayo, Malaya, berpikir cepat! Ambil keputusan! Bisikku pada diri sendiri. "Mbak Hanum, kamu ikut saya! Jagain Qairen di sana!" titahku akhirnya meminta ia untuk turut serta. Wanita berkucir satu itu mengangguk dan memilih langkah besar mendekati mobilku karena Qairen ada dalam gendongannya. "Duduk di depan aja!" perintahku lagi gemes saat melihat wanita itu sedikit kebingungan antara duduk di depan atau di belakang, padahal ia jelas-jelas tahu kalau jok belakang sudah tak memungkinkan dirinya dan Qairen untuk duduk di sana. "Pak Amon dan kamu, Mas, jaga rumah!" pintaku berpindah pada dua orang pria beda generasi itu. Mereka spontan mengangguk sopan. Begitu semua penumpang sudah siap di tempatnya, aku gegas melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Ya, beginilah jadinya. Semenjak papa meninggal, sopir pribadi di rumah ini mengundurkan diri. Mama tak membutuhkan sopir lain karena ia pun tak lagi suka beper
Om Santo terdiam. Wajahnya tiba-tiba pias. Pria itu tampak tak nyaman dengan pertanyaanku. Gestur tubuhnya menyatakan demikian. Pria yang sudah tak mengenakan jas kerjanya lagi itu memperbaiki posisi. Yang tadinya masih bersandar kini duduk tegak. Sesekali ia menelan ludah. Apa pertanyaanku sebegitu susahnya? "Hahaha. Kamu masih penasaran sama itu, Ay?" Sedikit kaget karena pertanyaanku di balas dengan gelak tawa dan juga pertanyaan balik. Sepertinya, pria dengan tinggi kurang lebih 170 senti itu ingin mencairkan suasana dengan tawa renyahnya, tapi aku sama sekali tak tertarik untuk menanggapi tawa itu.Aku hanya ingin tahu siapa wanita itu. Bisa saja itu istrinya atau ... selingkuhannya seperti cerita-cerita novel yang sering kubaca. Duh, aku benar-benar jadi tersugesti oleh hal-hal demikian. Ya, walaupun sudah setahun ini ia menjadi bagian dari keluarga, aku sama sekali tak mengenal Om Santo lebih jauh. Yang kutahu, ia hanya sebatas teman papa. Sudah pernahkah ia berumah tangga?
"Kenapa, Non?"Mbok Lani dan Mbak Hanum bertanya serempak seraya mengikuti arah pandangku. "Itu, Mbok, itu bukannya—""Uuuu ... Amaaa atoh ni. Amaaa ... atoooh."Pusatku pada sosok di depan terpecah, berganti pada Qairen yang tiba-tiba saja menangis kecil sambil menghentak-hentakkan pantatnya dalam pangkuan. Kulihat ia sebentar untuk memastikan mengapa tiba-tiba bertingkah seperti itu. Gadis kecilku menunjuk ke arah lantai, ia meringis dan masih menghentakkan badan. Ternyata, jajanan yang belum dibuka terlepas dari pegangannya dan jatuh ke bawah. Kuambil bungkusan berwarna kuning terang itu lalu membersihkannya sebentar. Begitu benda itu kuserahkan pada Qairen kemudian melihat lagi ke arah tadi, sosok itu sudah menghilang. Fokusku menyusuri area sekitar, tapi keberadaannya tetap tak terjamah oleh netraku. Ke mana dia? Kenapa cepat sekali menghilangnya? "Non? Non Malaya kenapa? Kok kayak orang Kebingungan gitu? Cari siapa sih, Non?" tanya Mbok Lani. Bahkan, sesekali wanita paruh b
"Kamu ngapain di sini, Ay?" tanyanya mendekati dan ingin menyentuh punggung tanganku. "Bukan urusanmu!" jawabku ketus langsung berbalik badan berniat meninggalkan orang tersebut. Aku gegas mengayunkan langkah kaki ke tempat tujuan. Tapi .... "Ay, tunggu!" Tanganku dicekal oleh manusia yang paling tak ingin kulihat lagi wajahnya dimuka bumi ini. Apa-apaan lagi sih ini orang. "Lepas! Kamu mau apa?" "Kenapa galak banget, sih? Aku cuma mau tanya, kamu sedang apa di sini? Siapa yang sakit? Kamu atau—""Sudah kukatakan ini bukan urusanmu, Sultan! Mau aku yang sakit, atau entah siapa pun itu, kamu nggak perlu tau! Sekarang lepaskan tangan kotormu itu dari tanganku. Kalau tidak ....""Oke-oke. Aku akan lepaskan. See ... aku—"Sebelum lelaki itu melanjutkan perkataannya aku sudah berbalik badan dan meninggalkannya di sana. Urusan mama lebih penting dari pada meladeni seseorang dari masa laluku itu. "Oom ...," panggilku pelan pada Om Santo yang terlihat kuyu. Matanya berair dan merah. Pe
"Non, Non Malaya. Sadar, Non!"Tepukan pelan terasa di pipi. Wangi minyak kayu putih menyapa indra penciuman. Mataku mengerjap beberapa kali karena cahaya silau yang menyerang menghambatnya untuk terbuka. Kepala juga terasa pusing dan berat. "Ssssttt," desisku lemah karena merasakan sakit di kepala yang semakin menjadi. "Alhamdulillah, kamu udah sadar, Ay," ucap seorang lelaki yang suaranya tak begitu asing di telinga. Sudah sadar? Aku berusaha bangkit. Bersusah payah membawa diri untuk dapat terbangun, tetapi kepala tak juga bisa diajak bekerja sama. Dunia rasanya berputar, ragaku terhuyung ke belakang. Namun, belum sempat punggung menyentuh ranjang, sebuah tangan kurasakan menyentuh tubuh belakangku hingga tak sampai terjerembab. "Pelan-pelan, Ay! Jangan dipaksakan! Kamu masih lemah," kata suara lelaki itu lagi. "Non, minum dulu airnya!" tawar suara seorang perempuan yang kukenali itu Mbok Lani karena mataku masih terasa berat untuk terbuka. Suatu benda kurasakan menyentuh bib
Hening sejenak. Tiada yang menginterupsi perkataanku lagi. Mungkinkah mereka membiarkan diri ini bermain sebentar dengan 'Kehaluan' yang mereka pikir kuciptakan sendiri, atau hanya memberikanku waktu untuk berdamai dengan takdir seseorang? Entahlah. Aku tak mau ambil pusing dengan praduga orang-orang terhadapku. Om Santo tampak memejamkan mata. Sesekali ia memijit pelipis hingga ke pangkal hidungnya. Tarikan napas gusar lalu membuangnya kasar terus ia lakukan.Beberapa menit terlewati, tetapi para dewasa tak ada yang membuka suara. Kami berempat hanya diam mengatupkan mulut. Mungkin saja Om Santo, Mbok Lani, dan Mbak Hanum larut dengan alam pikiran mereka masing-masing prihal perkataan dan permintaanku. Ruangan yang dipenuhi aroma obat-obatan ini hanya disusupi oleh celoteh kecil nan riang serta berisik dari dua bungkus jajanan yang ada di tangan Qairen saja, selebihnya tak ada. "Ay ...." Papa tiriku akhirnya kembali bersuara. "Om tau kamu begitu kehilangan orang yang sangat berarti
Tok! Tok! Krieeet ....Tampak seorang perawat wanita memasuki kamar. Di tangannya terdapat nampan dari stainles berisi botol-botol kecil transparan. Raut wajah yang diperlihatkan menyiratkan kekesalan. Tenaga kesehatan berseragam hijau muda dan berhijab itu menyapu seisi kamar dengan tatapannya yang entah, lalu beralih padaku yang masih berada dalam kungkungan Om Santo. Namun, lagi-lagi aku tak ambil pusing akan reaksinya. Fokusku saat ini hanya pada Mas Reno—duduk di sofa bersama Qairen yang anteng dalam pelukannya—bercengkrama santai. Seolah-olah, barusan tak terjadi apa pun di antara kami berdua.Melihat kehangatan di antara ayah dan anak itu, membuat kebencianku pada Mas Reno semakin berurat akar. Cih, munafik! Bukankah dia sendiri yang mengatakan, bila gadis kecil dalam dekapannya itu bukanlah darah dagingnya? Ia juga yang mengatakan jika Qairen merupakan anak dari hasil perselingkuhanku? Lalu, mengapa saat ini ia bersedia menggendong makhluk tanpa dosa yang tak diakui anaknya
"Biar saya sendiri saja, Mbak," ucapku seraya melepas tangan Mbak Hanum yang masih setia melingkar di pinggang. "Non—"Gadis itu menggantung ucap saat telapak tangan kunaikkan ke arahnya. Ia pun terdiam dan berhenti berkata-kata, di mana, aku pun tak lagi memedulikan reaksi kedua wanita beda generasi itu atas tingkah lakuku. Kecamuk yang menyerang mental membuatku mengesampingkan sikap dan sopan santun. Huff. Gegas aku berlalu tanpa sepatah kata. Seumpama raga tak lagi bertulang, kuayun kaki menuju rumah. Sesampainya di ruang keluarga yang telah disulap menjadi ruang berkabung, aku berhenti sebentar. Beberapa jarak dari jenazah mama yang sudah dibaringkan menghadap kiblat, aku mematung. Menatap dalam tubuh kaku beliau yang ditutup kain batik serta dilapisi selendang putih transparan. Beberapa orang menatapku iba. Bisik-bisik yang tak dapat diartikan menemani kebisuanku. "Nak Malaya, kenapa bengong di sini? Ke sana, yuk! Kita yasinan." Aku membuang pandang ke samping saat seseora