"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
Plak! Prang! Ragaku terhuyung ke belakang karena tak siap dengan tamparan di pipi, sehingga bokongku sukses mendarat di lantai dapur yang keras. Mangkuk kaca berisi sup daging pun melayang dan jatuh terburai. Isinya berserak bersamaan dengan kepingan pecahan kaca. Bahkan, pecahan dari mangkuk ada yang menyabet kaki. Perih. Aku kaget bukan kepalang mendapat perlakuan secara tiba-tiba dan kasar seperti itu. Apa ini? Kualihkan pandangan pada sosok tersebut. Netra membeliak tak percaya. Mas Reno? Ya, Mas Reno—suamiku. Pria tampan berperawakan tinggi dan tegap itu sedang bertolak pinggang menatapku nyalang."M-mas?! Ada apa? Kenapa pulang-pulang malah nampar Malaya?" tanyaku dengan suara yang bergetar menahan rasa sakit di pipi sekaligus di hati. Bekas tamparan Mas Reno kutekan kuat. Rasanya panas dan sedikit perih. Sejak kapan Mas Reno tiba? Mengapa aku tak mendengar suara deru mesin mobilnya? Apa karena terlalu asyik dengan kesibukan di dapur, sampai-sampai suami pulang pun aku tak m
Kembali aku beringsut mundur dengan tubuh yang masih bergetar demi mendengar caci maki dari mulut seseorang yang paling kucintai di dunia ini. Tega! Crees"Aauuw."Nahas, saat mundur telapak tanganku malah menancap beling kaca. Pecahan itu sukses membuat sobekan besar di sana. Tanpa bisa dicegah lagi darah memuncrat begitu banyak hingga menodai pakaian yang kugunakan. "Maaas ... sakiiit, tolongin," histerisku demi rasa yang kini membelenggu telapak tangan. Perih dan berdenyut mulai merajai. Apalagi aku begitu phobia dengan yang namanya ... darah. "Tolong, Mas!" pintaku lagi dengan tangis yang semakin menjadi jadi. Aku tak bisa bergerak. Tungkai kakiku begitu lemas hanya untuk sekedar berdiri setelah melihat foto tadi dan kini ... malah melihat darah yang bercucuran. Bukannya berniat membantuku, Mas Reno berjalan cepat ke arah meja makan. Ia mengambil gelas yang berisi air di atas meja dan .... ByuurWajah beserta bajuku basah seketika. Pria itu menyiramkan seluruh air yang ada di
Bagai dihantam godam besar ke dada, aku merasa hancur berkeping. Mas Reno mengusirku dari rumah ini? "Tidak, Mas! Malaya nggak mau! Ini semua salah paham. Itu bukan Malaya. Pasti ada seseorang yang menginginkan kehancuran rumah tangga kita! Demi Allah dan Rasul-Nya. Malaya berani bersumpah! Malaya tak pernah mengkhianati cinta kita. Malaya—""Cukup! Kau tak perlu menjelaskan apa pun lagi. Semua bukti sudah jelas di foto-foto itu! Bahkan, aku juga sudah melihat video mesum kamu, Malaya! Aku ma-lu! Sangat malu dan jijik melihatnya!"Lagi. Ragaku bagai tersetrum ribuan volt saat Mas Reno berkata demikian. Tadi foto, sekarang ia bilang video mesum? Bisa gila diri ini jika terus-terusan dicecar dengan dosa yang tak pernah kulakukan sama sekali. "Video? Video apa lagi, bangsat!? Video appa!!! Huhu." Aku bertambah kalap. Tak memedulikan bahasa apa yang keluar dari mulutku. Pun, tak memedulikan lagi bila putriku terganggu dari tidurnya. Sebah di dada yang tak tertahankan lagi membuatku ingi