Kumi berdiri tegang, matanya berani menantang Arka. “Apa lagi yang kamu inginkan dariku Arka? Aku tidak ada waktu untuk melayanimu.” “Aku serius, aku mau mengajakmu keluar,” kata Arka percaya diri. Ia hendak meraih tangan Kumi tapi wanita itu mengibaskannya. “Please Kumi, luangkan waktumu. Aku ingin mencicipi tubuhmu lagi,” katanya blak-blakan. Senyum Kumi menyeringai. Tangannya gatal ingin menampar pipi lelaki itu. “Untuk apa? Masa lalu kita sudah kubuang. Maaf, aku banyak kerjaan. Tolong jangan ganggu aku!” Kumi meninggalkannya sendirian di ruang meeting. Arka tak menduga Kumi akan menolaknya! Dan ini membuat hatinya terluka. Selama ini ia selalu mendapatkan apa yang ia mau. “Sombong!” gumamnya kesal. “Sial! Kenapa kuceraikan dia,” kata Arka menumpahkan kekecewaannya. Perubahan Kumi membuat adrenalinnya berpacu lebih cepat. Wanita itu semakin cantik dan keibuan setelah melahirkan. Ada rasa penyesalan yang menyergap dirinya. Setan-setan dalam
Arka menyeringai. “Apa kamu gunakan anakmu untuk mencari perhatian Shaka, heh! Ingat Kumi. Dia anakku. Aku tak rela kamu memanfaatkan bayi itu untuk mencari perhatian laki-laki!” gertaknya. “Untuk apa kamu menggoda Kumi lagi? Bukankah kamu sudah mencampakkan dia?” ucap Shaka keras dan setengah menghardir Arka. Jantung Kumi hendak meletus mendengar suara pria itu dari dalam pos satpam. Kapan dia masuk? Arka lalu melepaskan tangan Kumi. Ia mendengus kesal, melihat bosnya berjalan ke arahnya. “Saya mau mengajak Kumi makan malam Pak dan lebih mengenal bayinya? Apakah itu tidak boleh?” ujarnya dengan suara dingin. “Kamu lucu sekali Arka. Kamu baru saja menikah kenapa sekarang mau mengusik kehidupan Kumi dan bayinya. Apakah kamu tidak takut dengan Rhea?” kata Shaka mencemooh. “Pulanglah, sebelum aku marah.” Gigi Arka gemeretuk. Andaikan saja Shaka bukan bosnya, dia mau mengajaknya duel. Dia tidak membantah dan patuh pada perintah Shaka. Ia
Kumi panik! Badannya gemetaran. “Mbok Yem… Mbok Yem, cepat ke mari!” jeritnya histeris Untuk beberapa detik, Kumi berdiri terpaku menatap tubuh Shaka yang tergeletak di lantai dengan darah segar dari keluar dari kepalanya. Ia masih bingung apa yang harus ia lakukan. Mbok yem dan dua pembantu di rumah Shaka lari tergopoh-gopoh ke Kumi. “Mbok Yem, lihat itu, Shaka…!” Tangan Kumi menunjuk Shaka. “Aduhh! Apa yang harus kita lakukan Bu,’ kata Mbok Yem. Ia sangat khawatir. “Mbok Irah kamu jaga Nenek. Sulis, kamu jaga Abang.” Kumi menenangkan diri. “Mbok, panggil dokter ke sini. Saya mau memeriksa Shaka.” Ia lalu menghampiri Shaka dan memeriksa keadaannya. Wanita itu bernapas lega melihat pemuda itu masih bernapas. “Mbok Yem, cepat ambilkan kotak P3K dan es batu!” Kemudian Kumi memeriksa kepala Shaka. Sepertinya lelaki itu jatuh dan kepalanya membentur sudut meja. Selanjutnya dengan pengetahuannya Kumi
Kumi dan Shaka kaget. Perlahan keceriaan di wajah Kumi berangsur menghilang ketika melihat Rhea berdiri di depan pintu kamar Shaka. Rhea lalu berjalan anggun dengan high heels warna nude berujung runcing. Kumi tidak mengerti sama sekali kenapa Rhea kerap datang ke rumah Shaka? Apakah Rhea hanya sekedar berkunjung sebagai kawan Shaka atau hanya ingin menyakitinya saja? Ia mengatupkan kedua mulutnya rapat. “Mentang-mentang Nenek percaya kepadamu lantas kamu seenaknya saja berulah semaumu?” Rhea tersenyum sinis. “Aku lebih mengenal Shaka daripada kamu!! Ingat kamu ini haanya pembantunya Shaka dan Nenek!” Jelas sekali ia menghina Kumi dan merasa posisinya lebih tinggi daripada Kumi. Shaka marah Rhea menghina Kumi. “Ngapain kamu masuk ke kamar orang! Kumi itu kekasihku dan aku yang memintanya di sini. Sedangkan status kamu di sini apa?!! Pergi sana!” usirnya. Suara Shaka menggelegegar, mengagetkan Kumi dan Rhea. Lelaki itu sangat marah Rhea melanggar
Salah satu tangan Rhea kemudian menjambak dan mencengkeram rambut Kumi dengan beringas lalu membawanya ke pantry. Rio melihatnya. “Stop! Jangan berkelahi di sini!” Lelaki itu itu berusaha melerai keduanya. Tapi ia tidak bisa. Kemudian dia berlari ke pos satpam. “Aduh sakit tahu! Lepaskan!” jerit Kumi tertahan. Kuku Rhea yang panjang menyakiti kulit kepalanya. Rhea tidak mengindahkan permintaan Kumi, malah tangannya semakin menarik rambut perempuan itu. Kumi semakin kesakitan. Kulit kepalanya serasa terkelupas dari batok kepala. Maka dengan cepat ia memutar badan dan menendangkan kakinya ke tubuh Rhea. “Aduh!” kata Rhea tertahan, dia langsung terjatuh, high heels yang dipakainya membuat kakinya terkilir. Kumi tidak membantu perempuan itu berdiri. Dengan berani Kumi menatap mata Rhea. “Itu bayiku, memangnya kenapa?” Kesabaran Kumi mulai menipis melihat sikap arogan Rhea yang selalu menyudutkannya. Ia merebut foto Kaluna yang dipegang oleh Rhea.
Ada pembantu pura-pura berbakti Padahal aslinya ular berbisa Menggunakan bayi untuk menarik perhatian Padahal mau morotin Shaka membacanya dan menjadi gerah. “Brengsek, dia kira aku takut dengannya.” “Tidak usah diladeni, biarkan saja,” kata Kumi. “Kumi benar. Biarkan saja Rhea ngoceh. Aku screenshoot saja storynya, siapa tahu berguna nanti,” timpal Rio. “Apa kamu tidak mau memberitahu Arka soal Rhea?” tanya Rio sembari mengisi piringnya. Shaka membuang pandangannya. Ia kesal sekali mengingat kedua mahluk yang membuat hidupnya mendadak rusuh. “Nanti aku pikirkan, lebih baik sekarang kita makan. Kasihan Kumi dari tadi ngelihatin makanan terus,” godanya, ia melemparkan senyum manis ke Kumi. Kumi menjadi gelagapan. “Eh, kue bawangku mana?” Ia menengadahkan tangannya ke Rio, sebagai ganti kegugupannya. “Udah habis,” tawa Rio pecah. “Hosh, kalian ini kayak ana
Kumi tak memperhatikan ucapan ibunya, dia mendorong kereta Kaluna dengan pikiran yang bergelayut di benaknya. Kaluna semakin besar, beban di pundaknya sebagai seorang Ibu jelas tak mudah ke depannya. “Nduk, apa kamu dengerin Ibu?” tanya Ibu gusar dengan sikap Kumi. “Iya.” Ibu tak percaya. “Coba apa yang Ibu katakana tadi?” “Soal Kaluna kan?” Ibu tersenyum. “Nah ini. Ibu mulai tadi nyerocos, tapi kamu tidak menghiraukan. Begini, Shaka bicara sama Ibu, dia ingin melamarmu. Apa kamu mau?” Kumi meringis. “Maaf Bu, Kumi sedang banyak pikiran, dan belum kepikiran untuk memikirkan pernikahan,” jawab Kumi. “Shaka itu mencintaimu, Nduk. Apa lagi yang kamu pikirkan,” Ibu terlihat gemas dengan jawaban anaknya. “Sudahlah, kita omongin nanti di rumah.” Mereka tiba di warung Mba Surti dan langsung memesan 4 bungkus lontong sayur. “Wah Kaluna sudah tumbuh besar, cantik lagi!” kata Surt
Yuni melengos. “Lah, boleh dong saya curiga. Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pagi-pagi ada lelaki yang bawa mobil baru ke rumah Jeng Putri. Ini mencurigakan sekali. Kumi kan janda, kerjanya juga gak jelas, mana bisa beli mobil,” katanya ketus. “Bu, lebih baik kita pulang saja,” ajak Kumi. Ia paling males beradu argument dengan Yuni. “Sampeyan awas ya, kalau menfitnah anak saya lagi!” ancam Ibu sambil berlalu. Mulut Yuni monyong. “Yee, suka-suka saya dong, kok situ yang sewot. Kalau memang gak bener, gak bakalan marah, iya kan anak-anak?” “Nah, ini anak saya datang Pak,” kata Ayah dengan senyum lebar menyambut Kumi. “Selamat pagi, saya Kumi, ada yang bisa saya bantu Pak?” sapa Kumi sambil memperkenalkan diri. Ayah berdiri dan gantian menggendong Kaluna. Ia masuk ke dalam rumah bersama Ibu. “Saya Hendro, dan ini Lukman. Pak Shaka meminta kami untuk mengantarkan mobil Jazz untuk Ibu Kumi.” Hendro memberikan kunci dan surat-su