“Dia benar-benar tidak kenapa-napa?”
“Seperti yang saya katakan tadi. Dia hanya kelelahan dan sepertinya belum makan apa pun. Selebihnya kondisinya baik-baik saja.”
“Baik, Dok. Terima kasih.”
Samar-samar Briana mendengar suara pria sedang bicara saat kesadarannya mulai kembali. Dia mendengar suara langkah kaki menjauh, tapi belum bisa membuka mata dengan sempurna untuk mengetahui siapa yang tadi bicara.
Briana merasakan tubuhnya tak dingin lagi, pakaiannya pun tak basah. Dia merasa hangat, saat membuka mata melihat selimut tebal membungkus tubuhnya.
Briana mencoba menajamkan penglihatan yang masih agak kabur, hingga menyadari jika berada di tempat yang tak dikenalnya.
“Di mana aku?”
Briana memegangi kepala yang terasa pusing, dia benar-benar tak tahu ada di mana, hingga mendengar suara pria.
“Kamu sudah bangun?”
Briana menoleh ke sumber suara, hingga begitu syok melihat siapa yang dilihatnya.
“Dharu?”
Pria berwajah manis itu tersenyum, lantas duduk di kursi yang ada di samping ranjang sambil menyilangkan kaki.
“Kenapa kamu berkeliaran malam hari di tengah hujan?” tanya pria bernama Andharu itu.
Briana terdiam menatap mantan kekasihnya saat kuliah itu. Mendadak dia merasa malu, apalagi jika pria itu tahu kalau dirinya baru saja diceraikan suaminya.
Briana menggelengkan kepala tak menjawab pertanyaan pria itu.
Dharu menatap Briana yang tampak sedih. Dia menghela napas kasar, lantas berkata, “Dokter bilang lambungmu kosong, ditambah kehujanan hingga akhirnya kamu pingsan.”
Briana terdiam mendengar ucapan Dharu, hingga kembali bertanya, “Di mana aku?”
“Apartemenku,” jawab Dharu sambil berdiri.
Briana tentu saja terkejut mendengar jawaban pria itu. Dia menatap ke mana Dharu pergi, ternyata mengambil sesuatu di meja yang ada di kamar itu.
“Aku sudah menyiapkan ini sejak tadi.”
Briana melihat Dharu membawa nampan berisi makanan dan minuman.
“Kamu bisa bangun?” tanya pria itu.
Briana mencoba bangun. Dia pun baru menyadari jika pakaiannya sudah diganti, hanya kemeja kebesaran yang bisa ditebak milik siapa itu.
Briana duduk sambil menutupi kakinya menggunakan selimut karena sepertinya dia tak memakai dalaman sama sekali.
“Siapa yang mengganti pakaianku?” tanya Briana agak cemas.
“Dokter perempuan tadi, aku memintanya mengganti pakaianmu. Kamu jangan cemas.”
Dharu melihat kecemasan di mata Briana, sebab itu langsung menjelaskan. Dia memberikan teh untuk Briana agar bisa sedikit menghangatkan tubuh.
“Terima kasih,” ucap Briana lantas menyesap perlahan teh pemberian Dharu.
“Tunggu! Di mana pakaianku? Aku menyimpan simcardku di sana.”
Briana tiba-tiba ingat kartu yang disimpan di saku celananya.
“Oh itu.” Dharu menarik laci, lantas mengeluarkan kantong plastik berisi simcard kecil itu, lantas memberikan ke Briana.
Briana terlihat bernapas lega, tanpa kartu itu dia tak bisa menghubungi sahabatnya.
“Terima kasih.” Briana sangat bersyukur Dharu menyimpan benda itu untuknya.
“Hanya simcard tanpa ponsel. Sebenarnya apa yang terjadi, Briana?” tanya Dharu.
Briana masih diam tak mau menjawab, kini malah menundukkan kepala.
“Tidak apa kalau tak mau bercerita sekarang. Makanlah dulu lalu istirahat,” ucap Dharu memberikan piring berisi makanan ke Briana.
Briana melihat Dharu yang kecewa, tapi banyak pertimbangan yang membuatnya tak bisa bercerita ke pria itu.
Dia melihat Dharu keluar dari kamar, setelah pria itu pergi tiba-tiba saja Briana menangis sambil memandang piring yang ada di pangkuannya. Entah apa yang ditangisinya, perceraian yang akan dijalani atau sikap baik pria yang menolongnya itu.
Briana pun mencoba makan. Perutnya memang kosong hingga membuatnya lemas dan pingsan.
Dia tak menyangka jika akan bertemu mantan kekasihnya lagi itu. Briana agaknya malu karena meski setelah bertahun-tahun lamanya tak berkomunikasi, pria itu masih sangat baik dalam memperlakukannya.
“Apa ini karma untukku?” Briana bergumam sambil mengunyah makanan. Dia terus memasukkan makanan ke mulut meski rasa enggan menyergah dada.
Di luar kamar. Dharu terlihat menghubungi seseorang.
“Bantu aku mencari tahu apa yang terjadi. Sedetail mungkin jangan ada yang terlewat!” perintah Dharu ke seseorang dari seberang panggilan.
“Untuk apa kamu mencari tahu lagi? Dia sudah menikah.”
Dharu mendengarkan suara komplain dari seberang panggilan.
“Tinggal cari tahu saja. Aku yakin ada sesuatu yang buruk terjadi kepadanya dan kamu tahu aku tidak bisa membiarkan itu.”
Dhira dan Sean pergi ke IGD rumah sakit mereka berada sekarang. Renata di sana karena mengantar Briana yang mau melahirkan.“Ma.” Dhira langsung memanggil sang mama.“Kenapa kamu cepat sekali ke sini?” tanya Renata keheranan.“Karena aku baru periksa, jadi waktu Mama telepon, aku ada di sini,” jawab Dhira.“Periksa? Kamu sakit?” tanya Renata dengan kepanikan berlipat karena ucapan Dhira.Dhira melebarkan senyum, lantas menunjukkan hasil USG. “Tidak sakit, tapi sedang hamil. Ini, cucu kedua Mama dan Papa.”Dhira memberitahu dengan bangga, sampai membuat Renata sangat syok dan senang.“Ya Tuhan, mama tak percaya. Mama senang sekali mendengar kabar ini.” Renata langsung memeluk karena sangat bahagia.Dhira juga bahagia karena bisa menyenangkan hati sang mama.Saat keduanya saling berpelukan, tiba-tiba terdengar suara bayi yang membuat mereka terkejut.“Sudah lahir? Cepat sekali?” Dhira terkejut, apalagi melihat perawat keluar masuk ruang penanganan.Briana sudah melahirkan di ruang IGD se
“Dhira, kamu di mana?”Sean keluar dari ruang ganti mencari keberadaan Dhira yang tak menyahut padahal dia sudah memanggilnya sejak tadi. Dhira keluar dari kamar mandi, tentu saja hal itu membuat Sean keheranan.“Kenapa masuk kamar mandi lagi?” tanya Sean karena Dhira sudah mandi sejak tadi.Dhira menutup mulutnya seolah merasakan sesuatu yang ingin keluar, tapi dia tetap berjalan menghampiri Sean.Usia pernikahan mereka sudah berjalan tiga bulan. Sean sudah menerima Dhira sepenuhnya, hingga hubungan rumah tangga mereka berjalan dengan sangat baik.“Kamu baik-baik saja?” tanya Sean karena Dhira agak pucat.“Entah, sejak tadi rasanya pusing dan mual,” jawab Dhira.Sean langsung menyentuh kening Dhira, tapi tak merasa panas.“Apa sangat pusing?” tanya Sean memastikan.Dhira sibuk mengikat dasi Sean saat mendengar pertanyaan itu.“Iya lumayan, tadi seperti berputar lalu aku mual,” jawab Dhira kemudian menatap Sean dengan wajah memelas.“Kita ke rumah sakit untuk memastikan kamu sakit apa
Riana memang bertindak kejam, tapi semua itu semata-mata dilakukan untuk melindungi Sean dari hal-hal yang tak diinginkan.Milia diam mendengar ucapan Riana. Dia hanya menunduk sambil meremas jemari karena tak bisa berbuat apa-apa.Ibu Milia juga diam karena takut, lalu memberanikan diri menatap Riana.“Kalau kami pergi dari kota ini, bagaimana dengan usaha pakaian kami? Masa mau ditinggal begitu saja? Misal mau dijual juga tidak bisa cepat laku,” ujar ibu Milia yang takut jika masih di kota itu akan dipersulit Riana.Milia terkejut mendengar ucapan sang ibu, apa itu artinya ibunya mau pindah karena ancaman Riana.“Aku akan membelinya, kalau perlu rumah sekalian akan aku beli dua kali lipat dari harga aslinya, asal kalian pergi dari kehidupan putraku!” Riana tak segan memuluskan keinginan ibu Milia asal pergi dari kota itu.Ibu Milia membayangkan uang sangat banyak yang akan diterimanya jika dijual ke Riana. Dia yang mata duitan langsung setuju begitu saja.“Baik, saya setuju menjualny
Saat sore hari, Sean pulang dan menemui Riana yang sedang bersantai di ruang keluarga.“Sudah pulang? Kamu sudah mengosongkan jadwal agar minggu depan tidak ada kendala, kan? Ingat, pernikahanmu itu minggu depan,” ucap Riana langsung mengingatkan, jangan sampai Sean lupa dan masih membuat jadwal kegiatan di perusahaan.“Mama tenang saja, Vino sudah mengatur semuanya,” balas Sean.Riana mengangguk-angguk senang karena sekarang Sean mudah diatur.“Ma, aku mau menceritakan sesuatu, tapi aku harap Mama tidak berpikiran buruk atau panik dulu,” ucap Sean ingin memberitahu soal Milia.Sean hanya ingin sang mama tahu saja, agar kelak jika terjadi sesuatu atau Milia membuat ulah, sang mama tak benar-benar syok karena sudah tahu dan mendengar sendiri darinya.Riana menoleh Sean saat mendengar apa yang dikatakan oleh putranya itu. Dia menurunkan satu kaki yang sejak tadi disilangkan, dahinya berkerut halus karena penasaran.“Memangnya kamu mau menceritakan apa?” tanya Riana dengan pikiran negati
Dhira langsung bicara tegas agar Milia sadar diri. Dia tak akan kasihan meski Milia sedang hamil, dia sadar kalau wanita seperti Milia, tidak akan puas jika hanya dikasih hati. Begitu mendapat kebaikan, wanita itu akan melunjak tak tahu diri.Milia terdiam mendengar ucapan Dhira, hingga Dhira kembali bicara.“Kamu pikir dengan datang menemui Sean, kamu bisa memintanya bertanggung jawab atas janin yang bukan miliknya? Kamu mungkin tak tahu, Sean sudah tahu segalanya tentang kebusukanmu.” Dhira terus bicara untuk menyadarkan Milia.Milia sangat terkejut mendengar ucapan Dhira, hingga Dhira kembali bicara.“Bahkan tahu kalau kamu selama ini sering tidur dengan pria lain. Sungguh aku ingin tertawa, baru kali ini melihat wanita tak tahu diri sepertimu, sudah selingkuh dan tidur dengan pria lain, tapi minta pertanggungjawaban ke pria yang kamu buang.” Dhira menjejali telinga Milia dengan fakta bahkan tak peduli itu bisa mempengaruhi pikiran dan janin Milia.
Sean mulai nyaman bersama Dhira. Sikap Dhira yang apa adanya saat bicara, membuat Sean merasa tenang.Sean keluar dari lift sambil menatap ponsel, dia mencoba menghubungi Dhira karena ingin mengajak makan siang, tapi Dhira tak menjawab panggilan darinya.“Ke mana dia?” Sean bertanya-tanya karena Dhira mengabaikan panggilan darinya.Sean berpikir apa mungkin Dhira sedang rapat atau bertemu klien, membuatnya memilih mengirim pesan kalau akan datang ke perusahaan Dhira.Saat Sean baru saja keluar dari lobi, Sean terkejut karena ada yang mencegah langkahnya.“Sean.” Milia muncul di sana dengan mata bengkak dan wajah penuh linangan air mata.“Apa lagi yang kamu inginkan?” tanya Sean mulai malas, apalagi dia sudah tahu semua kebusukan Milia.“Sean, kumohon maafkan aku. Saat ini aku tidak tahu harus bagaimana, aku membutuhkanmu,” ucap Milia sambil menggenggam telapak tangan Sean.Sean me