Главная / Urban / Pembalasan Menantu Sampah / Bab 4 - Pulang Ke Rumah Orang Tua

Share

Bab 4 - Pulang Ke Rumah Orang Tua

Aвтор: Rianoir
last update Последнее обновление: 2023-07-04 09:00:12

Tidak ingin membuat orang-orang curiga, Ryan pun segera mengubah wajah dan tubuhnya ke bentuk semula dengan Teknik Seribu Wajah.

Hal ini terpaksa Ryan lakukan agar tidak mengundang kecurigaan orang-orang dan juga dokter. Karena sangat tidak mungkin, tubuh yang awalnya kurus kering, tiba-tiba menjadi kekar berotot seperti seorang atlet olimpiade hanya dalam semalam.

Ryan lalu mulai memejamkan mata dan berfokus mengendalikan energi Qi yang ada dalam tubuhnya. Dengan tingkat kultivasi Qi Condensation Tengah, Ryan memanipulasi Qi untuk menyelimuti seluruh organ dan tulangnya.

Secara ajaib, tubuh Ryan yang berotot itu kembali menyusut seperti sebelumnya, menyisakan tulang dan kulitnya saja, seperti orang yang tak terurus.

"Sempurna!" ucapnya Ryan. Ia kemudian segera kembali berbaring di ranjang rumah sakit sebelum perawat atau pun dokter yang memeriksanya datang.

Benar saja, tidak lama kemudian, suara langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Walau langkah kaki ini masih berjarak 10 meter, Ryan dapat mendengarnya dengan jelas.

Sejak Ryan berhasil mencapai tingkat kultivasi Qi Condensation Tengah, tubuh Ryan seperti terlahir kembali. kelima panca indranya pun juga menjadi bertambah kuat. Bahkan ia juga telah membangkitkan Indra Keenamnya, Mata Batin.

Dengan Mata Batin, Ryan dapat melihat semua yang ada di sekitarnya dalam jarak 10 meter. Tidak ada yang bisa bersembunyi dari Mata Batinnya. Walau dengan mata tertutup pun, Ryan masih dapat melihat semuanya dengan jelas.

Dengan kemampuan ini, Ryan dapat melihat identitas orang yang yang datang menuju kamarnya. orang tersebut adalah Arin, wanita yang telah menyelamatkannya.

“Mas, kamu sudah bangun?” tanya Arin begitu tiba di samping ranjangnya.

“Emmm iya, Arin, barusan aku terbangun karena mendengar suara bising di depan kamar,” jawab Ryan sedikit gugup.

“Bising? Bising gimana?”

“Entah. Aku kurang tahu, atau mungkin hanya pendengaranku saja.”

“Ah, baiklah.” Walaupun bingung, tapi Arin memilih untuk tidak ambil pusing dengan tingkah Ryan. Karena bagaimana pun juga, Ryan baru saja sadar dari komanya. Ucapan melanturnya mungkin saja efek dari obat-obatan yang terus disuntikkan dokter melalui selang infus. 

“Bagaimana keadaanmu Mas? Apa ada bagian tubuhmu yang merasa sakit? Atau ada keluhan lainnya?” tanya Airin mencoba untuk mencari topik pembicaraan lain.

“Kalau keluhan, mungkin sebenarnya ada, tapi nanti lama-kelamaan aku akan terbiasa kok, jadi tidak perlu dipikirkan.”

“Memangnya keluhan apa yang kamu rasakan Mas?”

“Kaki dan tanganku seperti kaku, kebas dan sulit digerakkan.” Tentu saja jawaban tersebut adalah sebuah kebohongan. Tubuhnya telah dibaptis oleh Api Lotus Hijau, jadi sudah tidak ada lagi cedera di tubuhnya. Bahkan sel-sel di tubuh Ryan saat ini setara dengan seorang pria berumur 17 tahun.

“Wajar saja Mas, kamu kan sudah sekitar lima tahunan tidak menggerakkan kaki dan tangan, jadi tentu saja kedua kaki dan tanganmu itu terasa kaku.”

“Tapi bukankah dari awal aku memang lumpuh?”

“Ah, aku kurang tahu Mas, tapi menurut dokter waktu itu memang demikian, tapi kamu harus tetap optimistis untuk mengarungi dunia ini kembali. Kamu juga harus bersyukur karena Tuhan sudah menyelamatkanmu,” ujar Arin selembut mungkin agar lelaki yang berada di hadapannya itu tidak tersinggung.

“Iya. Terima kasih karena kamu sudah menyelamatkanku.”

“Sama-sama Mas.”

~***~

Seminggu sudah Ryan di rawat di rumah sakit, kini keadaannya sudah mulai membaik, bahkan bisa dikatakan lebih baik dari sebelumnya. Karena menurut dokter, kaki dan tangan kanan yang awalnya lumpuh secara ajaib kini bisa digunakan kembali.

Dokter pun terheran-heran dengan keajaiban ini. Selama lima tahun, Dokter Fredi telah mengawasi perkembangan Ryan. Jadi ia tahu betul bagaimana kondisi tubuh Ryan.

Dokter Fredi beberapa kali bertanya pada Ryan, bagaimana bisa dia bisa pulih dari kondisinya. Namun Ryan selalu berpura-pura bodoh dan berdalih bahwa ini adalah keajaiban yang diberikan oleh Tuhan.

Setiap kali mendengar ya, Dokter Fredi selalu menghela nafas panjang.

Setelah memastikan kondisi Ryan benar-benar telah pulih, Dokter Fredi akhirnya mengijinkan Ryan pulang. Tentu saja, hal tersebut membuat Ryan senang tak terkira. 

“Terima masih, Dok, sudah bersedia merawat saya sampai benar-benar pulih,” ucap Ryan sembari merangkul dokter paruh baya itu.

“Sama-sama Pak, semua sudah menjadi kewajiban saya.”

Karena sudah diperbolehkan pulang, Ryan pun memutuskan untuk pulang ke Surabaya di mana orang tuanya berada, tentu saja setelah sebelumnya dia mengucap banyak terima kasih kepada Arin, wanita yang telah menyelamatkannya.

Awalnya Arin menentang keinginan Ryan, mengingat kondisinya yang masih memprihatinkan, sedangkan jarak dari Bandung ke Surabaya terbilang sangat jauh.

Arin sempat menawarkan tempat tinggal kepada Ryan, tetapi tentu saja Ryan menolaknya. Ryan beralasan bahwa ia sangat merindukan kedua orang tuanya di Surabaya. Apalagi, usia kedua orang tua Ryan telah mencapai kepala enam.

Setelah mendengar alasan Ryan, Arin pun mulai luluh. Ia akhirnya membiarkan Ryan untuk pergi dengan syarat dia harus mau menerima ponsel pemberiannya.

“Baiklah Mas, tapi kamu hati-hati ya. Jaga kesehatan juga,” pesan Arin sebelum melepas kepergian Ryan.

“Tentu saja. Kamu juga baik-baik ya di sini. Terima kasih untuk semuanya, aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikanmu.” 

“Iya Mas.”

Setelah berpamitan Ryan pun segera pergi berbekal dua setel baju pemberian Arin, tiket kereta dan uang yang lagi-lagi adalah pemberian dari Arin yang katanya untuk jajan di perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan selama dua belas jam, akhirnya Ryan pun tiba di kota kelahirannya. Tidak membuang waktu lama lagi, dia segera melangkahkan kaki menuju rumah orang tuanya. Kebetulan, jarak antara Stasiun dan rumah Orang Tua Ryan hanya 10 menit berjalan kaki.

Di perjalanan pulang, banyak sekali orang-orang yang menyapanya, lantas menanyakan kabarnya yang hilang sekitar lima tahunan. Dengan sabar, Ryan pun menceritakan perjalanannya, tetapi tentu saja dia tidak menceritakan perjalanannya saat berkultivasi ke Heaven Sword. Karena jika dia menjelaskan itu semua dia bisa dianggap gila oleh orang-orang yang mendengarnya.

Setelah berbincang-bincang dengan para tetangganya, Ryan pun segera pergi ke rumah orang tuanya.

Tiba di depan rumah bergaya minimalis itu, Ryan terdiam sejenak. Matanya menyorot pada tiap sisi bangunan, semuanya masih sama. Setelah terdiam beberapa saat, ia pun mengetuk pintu rumah tersebut.

Beberapa saat kemudian, pintu kayu yang terlihat usang perlahan terbuka.

Dari balik pintu, muncul seorang wanita dengan rambut pendek yang mulai ditumbuhi uban. Tampak keriput memenuhi wajah wanita tersebut. Walau begitu, wanita tua itu tetap tampak anggun di mata Ryan.

Ketika Wanita tua itu melihat orang yang mengetuk pintu rumahnya, ia cukup terkejut. "Ryan?"

"Mama, aku pulang." senyum Ryan dengan hangat. Tanpa sadar, Ryan langsung meraih jemari sang ibu, dan memeluk sosok tersebut penuh haru.

"Ini bukan mimpi kan? kamu benar-benar Ryan anakku?" Ibu Ryan, Nova masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan rasakan.

Sambil terus memeluk Ibunya, Ryan menjawab keraguan Ibunya. "Ini bukan mimpi Ma, ini benaran Ryan Ma ..."

Tak ayal, Nova pun mulai meneteskan air mata.

Mendengar suara isak tangis, Ayah Ryan, Imam ikut keluar. Ia juga terkejut begitu melihat Ryan, yang dikabarkan telah meninggal lima tahun yang lalu, kini berada di depan pintu rumahnya.

“Ini beneran kamu Ryan? Papa gak salah lihat kan?” tanya Imam memastikan.

Ryan pun mengurai pelukan dari tubuh sang ibu, kini ia memeluk Ayahnya yang seolah tak percaya akan kehadirannya.

“Ini Ryan Pak, putra Papa,” ujar Ryan di pelukan bapaknya.

"Syukurlah kalau kamu masih hidup Nak, hiks hiks ..."

Setelah beberapa saat berpelukan, Imam melepas pelukannya. "Sekarang ayo masuk dulu Nak, kamu pasti capek.”

Akhirnya Ryan, Imam, dan Nova pun masuk ke dalam rumah minimalis tersebut dengan rasa haru yang begitu menyelimuti hati.

Di ruang tamu, Ryan kembali menjelaskan apa yang sudah terjadi kepadanya serta kenapa dirinya bisa selamat kepada Ibu dan Ayahnya.

Namun, penjelasannya itu sempat terhenti saat dirinya melihat seorang gadis kecil menghampiri ibunya dengan boneka kucing di tangannya. Gadis kecil itu terlihat manis sekali, apalagi ketika dirinya tersenyum.

Senyumannya itu seolah membuat Ryan tenang. Tanpa sadar, Ryan ikut tersenyum pada gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu.

“Siapa gadis imut itu Ma?” tanya Ryan sembari terus menatap wajah yang rasanya tidak asing baginya.

"Dia anakmu Nak," jelas sang ibu.

“Anakku?!” Ryan begitu terkejut, hingga rasanya jantung Ryan hampir saja melompat dari tempatnya.

'Bagaimana mungkin aku memiliki seorang anak? Tapi jika dilihat-lihat, gadis itu sangat mirip dengan Dian!'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Menantu Sampah   Bab 155 - Epilog

    Dari balik dinding rumah mewah di kawasan elit Surabaya, terdengar isak tangis yang merobek kesunyian. Sebuah wanita bertubuh mungil dengan dada yang menonjol, tampak berusaha meredakan tangisan anak laki-lakinya yang masih berusia belia, kurang dari 8 tahun. Wanita itu, Winnie, dengan lembut mengelus punggung anaknya sambil mengayun-ayunkan tubuhnya."Sayang, shhh... sudah ya, jangan menangis lagi..." Suaranya lembut, berusaha menenangkan hati kecil yang sedang sedih itu."Reno, jangan terlalu lemah, kamu kan laki-laki!" ujar seorang gadis berusia 16 tahun, rambutnya yang panjang terurai hingga pinggang."Alena, cukup … jangan mengganggu adikmu," tegur Ryan, meski sudah berusia 46 tahun, penampilannya masih seperti mahasiswa. Banyak yang salah mengira usianya.Alena memutar matanya, rasa kesal tergambar jelas di wajahnya. "Tapi Ayah, Reno itu menggemaskan. Alena tidak tahan melihat pipi tembemnya begitu saja..." katanya sambil berusaha mencubit lagi pipi adiknya yang masih dalam dekap

  • Pembalasan Menantu Sampah   Bab 154 - Reuni

    Setelah berpisah dengan Zeus, kini hati Ryan penuh dengan kekhawatiran yang mendalam. Ia sangat khawatir dengan Istri dan anaknya, serta teman-teman lainnya. Dengan cepat, ia menggunakan Mode Dewa, mengepakkan keempat pasang sayap api dan es, lalu meluncur ke Jakarta, meninggalkan jejak cahaya aurora yang membelah langit, seperti bintang jatuh yang menembus kegelapan.Dalam sekejap, Ryan sudah berada di area parkir Jakarta Expo. Saat mendarat, debu dan angin berhamburan ke segala arah, menciptakan pemandangan dramatis di tengah malam. Di sekeliling Ryan, tumpukan mayat manusia dan juga makhluk modifikasi tergeletak tak bernyawa, mirip dengan tumpukan sampah yang telah dibuang. Cairan merah, yang kini mulai mengering, meresap ke dalam retakan tanah dan paving, menciptakan gambaran yang mengerikan.Melihat semua itu, Ryan memperlihatkan kegelisahan yang mendalam. Kekhawatirannya terhadap keluarga dan teman-temannya membuat wajahnya menjadi suram. Namun, sebelum Rya sempat merasakan apa

  • Pembalasan Menantu Sampah   Bab 153 - Pilihan

    Dalam pandangan Ryan, tubuh pria tua itu hampir tidak memiliki garis kematian. Hanya dua garis saja yang bisa dilihat, sebuah bukti bahwa pria tua itu hampir mencapai batas keabadian. Seolah-olah, semakin sedikit garis kematian yang dimiliki, semakin jauh mereka dari ambang kematian.Dalam satu hembusan nafas, Ryan telah berada tepat di depan pria tua itu. Dengan keberanian dan kepastian, pedang Aurora di tangannya bergerak, berusaha memotong garis kematian yang berjalan secara diagonal dari punggung kanan pria tua itu hingga pinggang kirinya.Saat ujung pedang Ryan hampir menyentuh garis kematian, sesuatu berkilauan tiba-tiba muncul. Seolah-olah muncul dari ketiadaan, rantai keemasan meluncur keluar, bergerak cepat dan ganas. Mereka melilit pergelangan tangan, betis, dan leher Ryan dengan kekuatan yang membelenggu, menahan gerakannya yang hampir berhasil. Ryan sangat terkejut dengan apa yang dialaminya. Ia berjuang, mencoba untuk bergerak, namun rantai emas yang melilit dirinya sema

  • Pembalasan Menantu Sampah   Bab 152 - Bidak Catur

    Ryan merasakan beratnya hawa kehadiran pria tua itu, membebani udara di sekitarnya. Namun, hal itu tidak menghalangi Ryan untuk mengekspresikan rasa kekecewaanya. "Kenapa … kenapa kau membunuh Albert?!" suaranya bergema, penuh dengan rasa kemarahan."Aku hanya membantumu untuk membunuhnya." Pria tua itu tersenyum, tidak ingin memberitahu Ryan alasan sesungguhnya. "Lagipula, dia sudah kalah darimu. Jadi aku hanya ingin mempercepat kematiannya, demi kegembiraanku dan para penonton lainnya.""Para penonton?" Ryan. mengerutkan dahinya. Ia mengangkat kepalanya dan menatap tajam pria tua itu. "Apa maksudmu?"Pria tua itu menunjuk ke atas langit. Ryan secara tidak sadar ikut mendongak ke atas. Detik berikutnya, mata Ryan melebar. Di atas langit, terdapat sebuah bola mata raksasa samar, mengintip semua yang terjadi di lokasi tersebut."Jadi, semua pertarungan hidup dan mati ini hanya tontonan bagi kalian?!" ucap Ryan dengan nada penuh amarah."Benar, kalian tidak lain hanya hiburan semata di

  • Pembalasan Menantu Sampah   Bab 151 - Akhir Pertarungan

    Ketika serangan keduanya bertabrakan, langit malam itu seketika terang benderang. Kilatan cahaya aurora dan petir menyinari pulau tak berpenghuni di bawah mereka. Gelombang kejut dan angin kencang membelah udara, merusak pepohonan di pulau itu. Gelombang laut naik tinggi, terpengaruh oleh kekuatan serangan mereka.Tabrakan antara kedua serangan ini menghasilkan ledakan yang luar biasa. Suara dentuman yang menggelegar mencapai ke segala penjuru. Energi dari serangan itu menyebar luas, menciptakan riak di laut dan menyapu pohon-pohon di daratan.Kedua serangan tersebut saling melawan, menciptakan tekanan besar di antara keduanya. Mereka sama-sama merasakan kekuatan besar satu sama lain, dan keduanya terus menerus berusaha untuk mendominasi serangan ini. Hingga akhirnya, sebuah ledakan besar tercipta. BOOM!Asap berbentuk kepala jamur membumbung tinggi di langit yang memerah. Suara dentuman keras terdengar hingga jarak ratusan kilometer. Gelombang tsunami setinggi sepuluh meter menengge

  • Pembalasan Menantu Sampah   Bab 150 - Puncak Pertarungan

    Di tengah reruntuhan gedung Jakarta Expo, Ryan dan Albert berdiri saling berpandangan dengan nafas terengah-engah. Dalam jangka waktu satu jam, mereka berdua telah bertarung dengan intens. Namun, sampai sekarang, masih belum ditentukan juga siapa pemenangnya.Ryan sadar, bahwa Albert memiliki pengetahuan mendalam tentang semua kekuatan yang dimilikinya dari pertarungan sebelumnya. Jadi, untuk mengalahkan Albert, ia butuh elemen kejutan yang tidak terduga. Dan sepertinya, Api Surgawi ketiga miliknya–Api Lotus Pengubah Kehidupan, merupakan hal yang cocok dalam mengejutkan lawannya. Tapi, untuk melakukannya, Ryan harus membawa Albert menjauhi kota Jakarta. Jika tidak, serangan pamungkas miliknya bisa saja mengenai Alena dan teman-temannya. Ia tidak mau hal tersebut sampai terjadi.Ryan kemudian berkonsentrasi mengendalikan ketiga Api Surgawi miliknya. Keempat pasang sayap api-es yang sebelumnya telah compang-camping dan agak meredup, kembali pulih seperti semula. Tapi, di belakang keemp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status