Share

Bab 5 - Sakit

"A-anakku? Bukankah dulu saat aku pergi Dian belum hamil Pa-Ma?” Ryan mengulangi pertanyaannya. Bukan karena ia tidak mempercayai istrinya itu, hanya saja dia masih merasa syok dengan apa yang ada di hadapannya sekarang.

“Ya, apa yang kamu dengar itu benar Nak. Dia adalah anakmu dan Dian,” jawab Nova, Ibu Ryan.

"Jadi, dulu setelah kamu menghilang, Dian baru mengetahui jika dirinya sedang berbadan dua. Saat itu tiba-tiba saja dirinya drop. Begitu diperiksa, dokter mengatakan kalau dirinya sedang mengandung delapan minggu," tambahnya dengan mata menerawang jauh ke depan.

"Pantas saja dia sangat mirip dengan Dian. Tapi, dia sama sekali tidak mirip denganku. Apakah dia benar-benar anakku?" gumam Ryan sambil mengirimkan energi Qi secara diam-diam ke dalam tubuh gadis kecil yang kini sedang bermain boneka sendirian di balik sofa. Hal ini ia lakukan untuk memeriksa hubungan darah di antara keduanya.

Saat Energi Qi seukuran sehelai rambut masuk ke dalam aliran darah gadis kecil itu, Ryan merasakan adanya getaran, yang artinya, gadis kecil tersebut memiliki hubungan darah dengan dirinya.

Hanya saja, gumaman keraguan Ryan tadi tidak sengaja terdengar oleh orang tua Ryan.

"Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu, Ryan? Anak itu adalah darah dagingmu! Dian tidak pernah sekalipun berkhianat padamu! Bahkan dia dengan tegas menolak saat ibunya meminta Dian untuk menikah dengan orang lain!" ucap ibunya Ryan dengan penuh emosional.

Kemarahan Nova sangatlah wajar. Siapapun orangnya, jika mendengar ucapan Ryan yang seperti itu, pasti akan mengira Ryan tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri.

Jika wanita bernama Dian itu ada di sini dan mendengarnya, ia pasti menangis dan pipinya yang mulus pasti dibasahi dengan air mata yang mengalir dengan deras. Ia pasti tak habis pikir sama sekali dengan ucapan suaminya itu, meskipun sudah berlalu lima tahun tanpa bertemu, tetapi Dian adalah istri yang setia.

Selama lima tahun ini, Dian masih tetap percaya jika Ryan masih hidup. Dian selalu memegang teguh kepercayaan itu selama ia belum menemukan jasad Ryan.

"Bu Dea memang menjodohkan Dian dengan pengusaha sukses yang namanya Albert, tapi Dian menolaknya mentah-mentah," jawab ibunya Ryan dengan lembut.

Meskipun Dea adalah ibu dari Dian, tetapi dia bukanlah ibu yang baik. Semua yang ada dipikirannya hanyalah uang. Dia rela melakukan apa saja demi uang, bahkan mungkin jika harus menjual anak atau harga dirinya sekalipun.

"Tapi bagaimana bisa ibu mertua sampai mau menjodohkan Dian dengan Albert? Jika Dian saat itu sedang mengandung selama delapan minggu, itu artinya aku baru menghilang dua bulan bukan? Tapi kenapa dia sudah mau menjodohkan Albert dengan Dian?" tanya Ryan penuh selidik.

"Kata Dian, ibunya berpikir kalau kamu pasti sudah mati. Maka dari itu dia mau menjodohkan Dian dengan Albert," jawab ibunya Ryan.

Mendengar cerita ibunya ini, satu persatu kepingan puzzle mulai menyatu dalam pikiran Ryan. 'Jadi begitu …'

'Semuanya mulai masuk akal. Dalang di balik orang yang menculik dan membuangku ke dalam sungai adalah ibu mertuaku dan juga pria bernama Albert itu!'

Menurut Ryan, sikap Dea sangatlah janggal. Dea begitu yakin bahwa dirinya sudah mati, yang artinya, dia tahu jika Ryan diculik.

Karena normalnya, orang akan mengira Ryan hilang karena kabur dan bukan mati. Apalagi dengan kondisi cacat Ryan saat itu, seharusnya Dea dan Dian akan melaporkannya ke Polisi.

Dari sini saja sudah jelas ada sesuatu yang salah. Dan itu menunjukkan kalau Dea telah ikut andil dalam penculikannya.

Saat Ryan sedang berpikir, Ayah Ryan juga ikut berkomentar. "Setelah Dian menolaknya, dia mengurung dirinya di kamar sampai beberapa hari. Akhirnya, kesehatannya sempat drop, dan dari situlah diketahui bahwa Dian telah mengandung."

Imam juga tahu karena waktu dulu Dian bercerita, dirinya juga ada di sana.

"Jadi begitu. Lalu apa lagi yang aku tidak tahu selama aku pergi?" tanya Ryan ekspresi penasaran. Ia ingin sekali segera mengisi informasi tentang segala hal yang terjadi selama dirinya terbaring koma dan jiwanya pergi ke dunia Heaven Sword.

"Setelah mengetahui bahwa Dian mengandung, Ibunya memaksa Dian untuk menggugurkan kandungannya. Bu Dea beralasan bahwa buat apa memelihara anak orang yang sudah mati. Akan tetapi, Dian tetap bersikukuh mempertahankan buah cinta kalian," jawab Ayahnya Ryan.

"Bu Dea terus berkilah kalau Dian bersedia menikah dengan Albert, pasti kehidupan mereka akan jauh lebih baik. Akan tetapi, Dian tetap saja tidak mau. Dia tetap ingin setia sama kamu." Ibunya Ryan menjawab lagi.

"Jadi sampai saat ini Dian masih tetap menungguku?"

"Iya, Dian dengan setia selalu menunggumu dan percaya bahwa kamu masih hidup. Bahkan dia sampai membuat perjanjian dengan ibunya, di mana dia bersedia menikah dengan Albert jika dalam lima tahun ini kamu tidak kembali. Hal ini juga merupakan cara Dian melindungi anak kalian, Alena. Untuk itu, Dian memutuskan pergi dari rumahnya dan tinggal di sini bersama Alena" jawab Ayah Ryan.

Mendengar semua ini, hati Ryan menjadi hangat. Ia tak menyangka Dian sebegitu setianya hingga mau menanggung penderitaan berat seperti ini.

'Dan sepertinya, nama anakku ini adalah Alena. Nama yang sangat cocok sekali dengan kecantikan dan keimutan anakku ini.' Gumam Ryan dalam hati sambil tersenyum pada Alena yang bermain boneka.

"Lalu sekarang Dian ada di mana?"

Mendengar pertanyaan Ryan, Imam dan Nova terdiam sesaat. Ekspresi ragu, takut, dan juga penyesalan, tercetak di wajah keduanya.

Suasana ini membuat perasaan Ryan tidak enak. "Pa, Ma … apa yang sebenarnya terjadi? Apakah terjadi sesuatu pada Dian?"

Dengan kepala tertunduk, Imam mulai bercerita. "Beberapa hari yang lalu, sekelompok orang berpakaian serba hitam datang dan membawanya pergi Dian secara paksa."

"Apa?!" Tanpa sengaja, luapan emosi Ryan ini menyebabkan tekanan dari Tingkat Kultivasinya merembes keluar. Hal ini membuat suasana berat menyelimuti rumah.

"Ughh …" Imam, Nova, dan bahkan juga Alena, tiba-tiba saja mengalami sesak nafas yang hebat.

Menyadari kesalahannya, Ryan langsung menarik kembali kekuatannya. Seketika itu, orang-orang yang ada di sekitarnya kembali dapat bernafas normal.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku tadi tiba-tiba sesak?" gumam Imam.

"Iya Pa, aku juga merasa begitu," sambung Nova.

Ryan pun hanya diam. Namun, jauh dilubuk harinya, ia sangat merasa bersalah.

Hanya saja, kekhawatirannya terhadap keadaan istri tercintanya membuat Ryan terus mendesak kedua orang tuanya untuk melanjutkan ceritanya.

Menurut cerita Imam dan Nova, empat hari yang lalu, tiga orang berbaju serba hitam datang dengan sebuah mobil sedan BMW hitam.

Mereka datang menjemput Dian atas perintah dari Dea. Dian jelas menolak mentah-mentah mereka. Akan tetapi, mereka tidak menyerah dan langsung menarik paksa Dian ke dalam mobil.

Imam mencoba menghentikan kelompok berbaju hitam itu. Akan tetapi, fisik Imam yang renta tidak sanggup menghadapi mereka. Alhasil, kelompok berbaju hitam itu berhasil membawa pergi Dian.

Untung saja, Imam tidak mengalami luka yang serius. Ia hanya mengalami beberapa luka lebam di tubuhnya akibat pukulan dan tendangan dari salah satu orang berbaju hitam tersebut.

Mendengar kisah itu, darah Ryan benar-benar memuncak. Akan tetapi, saat Ryan kembali akan lepas kendali, tiba-tiba saja terdengar suara lembut dan imut di telinga Ryan.

"Nek, ibu pergi ke mana ya? Kok Ibu belum pulang juga." rengek Alena dengan air mata yang mulai menitik di pipi mulusnya.

Pembicaraan Ryan dan orang tuanya, membuat Alena yang sejak tadi bermain boneka sendirian jadi teringat kembali dengan ibunya.

Akibatnya, gadis kecil berusia 4 tahun tersebut langsung merengek dan bergegas memeluk sang nenek.

Ini adalah hal yang wajar. Anak seusianya memang masih sangat membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Dengan menghilangnya Dian, ditambah Alena yang tidak pernah mengenal Ayahnya sejak lahir, membuat dirinya kesepian. Bahkan ia sangat membenci Ayahnya karena telah lama menghilang.

Melihat Alena menangis sambil memeluknya, Nova terus berusaha menenangkan sang cucu. "Jangan menangis, ya, Sayang."

Namun ketika Alena sedang menangis sesenggukan, ia beberapa kali tampak terbatuk-batuk. Bahkan pada batuknya yang terakhir, Alena mengeluarkan dahak penuh darah yang cukup kental.

Sontak saja Ryan terkejut melihat hal itu. "Ma-Pa, ada apa ini? Apa yang terjadi dengan Alena?"

Ryan segara mendekati Alena dan melihat darah yang ada di telapak tangannya.

"Sejak kapan Alena jadi seperti ini?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status