Klik!
Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.
“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.
Sesak rasanya. Sakit luar biasa.
Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.
“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.
“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.
“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.
Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?
Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangiku, tapi dulu waktu kebersamaan kami memang sangat sedikit lantaran Ibu yang harus bekerja keras demi menghidupiku. Alhasil, aku selalu dioper ke sana ke mari saat Ibu pergi bekerja.
Sekarang sudah dewasa, kupikir dengan menikah hidupku akan jauh lebih baik. Nyatanya? Masalah yang dulunya hanya dua tiga kilo, sekarang sudah beranak pinak menjadi ratusan ton!
Sepanjang perjalanan menuju showroom tempat aku bekerja dulu, aku hanya diam termenung melihat jalanan lewat jendela mobil. Setelah dari showroom nanti, aku mau ke mana? Menumpang di rumah suami barunya ibuku? Rasanya sangat berat.
“Sampai, Mbak,” kata sopir taksi tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“E-eh, cepet juga,” sahutku gelagapan.
“Mbaknya ngelamun terus, jadinya nggak berasa udah sampe, hehehe.” Untung si pak sopir ini orangnya baik dan ramah. Kalau tidak, mungkin kesal juga dapat penumpang yang sepanjang perjalanan wajahnya kecut kaya sayur lodeh kemarin.
Segera kurogoh isi tasku. Di sana ada berlembar-lembar uang yang penampilannya begitu lusuh. Uang itu adalah sisa-sisa uang belanja yang diberi Denis beberapa bulan belakangan. Berhasil kukumpulkan diam-diam untuk jaga-jaga bila ada situasi darurat. Dan benar saja, situasi darurat itu pun akhirnya datang juga.
“Tiga puluh lima ribu ya, Pak. Maafin, uangnya pecahan kecil semua, Pak,” kataku sembari menyodorkan lembar-lembar uang yang didominasi oleh pecahan dua ribuan lusuh tersebut.
“Nggak apa-apa, Mbak. Malah seneng dapat uang kecil-kecil begini. Untuk kembalian penumpang. Makasih ya, Mbak,” ujar pak sopir yang memiliki kulit sawo matang dan geligi kekuningan tersebut.
“Sama-sama, Bapak.”
Aku pun turun dari mobil dan mengeluarkan koperku di bagasi belakang. Agak kaget saat sebuah suara mengejutkanku dari arah belakang tubuh.
“Risma! Kok, cepet ke sininya?”
“Eh, Mas Ivan!”
Setengah mati aku kaget saat mendapati sosok berkemeja lengan panjang warna biru plus dasi warna dongker itu telah berdiri tepat di depanku. Jarak kami mungkin hanya sejengkal saja saking dekatnya. Semerbak aroma parfum Mas Ivan yang maskulin dan cool itu langsung terhidu.
“Bawa koper segala? Kamu diusir sama suamimu?” Suara Mas Ivan terdengar seperti orang syok.
“Ng-a-anu, Mas,” gagapku bingung.
Mas Ivan langsung menyambar handle koper milikku. Mukanya tampak tak baik-baik saja. Kemerahan, seperti orang menahan marah. Entahlah, semoga saja penilaianku salah.
“Ayo, masuk.”
Aku mengangguk. Sesak di dada semakin menyeruak.
“Kamu kenapa? Masalah seberat apa sampai kamu diusir begini?” Mas Ivan tiba-tiba merangkulku dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih menggeret koper.
Saat itulah pecah tangisku. Ya ampun, kenapa Mas Ivan harus bertanya aku kenapa, sih? Aku paling nggak bisa diginiin! Tangisanku pasti langsung luruh!
“Hari ini kamu istirahat aja dulu di kostan. Besok baru mulai masuk kerjanya. Tenangkan pikiranmu. Pokoknya, kamu nggak boleh nangis atau sedih-sedih lagi. Oke?” Mas Ivan menatapku lekat. Aku spontan menggigit bibir bawah. Kebaikan yang Mas Ivan suguhkan, sungguh tak sanggup aku membalasnya kelak. Ya Allah, di satu sisi aku memang butuh sekali dengan bantuannya. Namun, di satu sisi lain, aku sangat enggan buat berutang budi pada atasanku tersebut. “Mas, aku beneran nggak enak sama Mas Ivan. Aku terlalu ngerepotin,” lirihku sesak. “Udah. Nggak usa dipikirin, Ris. Anggap aja ini pertolongan dari Allah lewat perantara aku. Nggak perlu nggak enakan sama aku.” Senyum tipis di bibir Mas Ivan yang merah ranum itu membuatku semakin tak enak hati saja. Kuhela napas dalam-dalam. Bismillah, pikirku. Semoga saja, Mas Ivan tulus ikhlas menolongku. “Makasih banyak ya, Mas. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Mas Ivan. Aku ngg
“Minum dulu teh angetnya.” Setelah masuk ke ruangan kerja Mas Ivan, aku disuruh duduk olehnya plus disuguhkan secangkir teh hangat. Tentu bukan Mas Ivan yang membuatkan teh manis tersebut, melainkan Tuti—office girl yang kebetulan dulunya masuk kerja seangkatan denganku. Bedanya si Tuti betah bekerja di sini meski telah menikah plus punya anak dan aku malah buru-buru resign setelah dipersunting Denis. Kuseruput teh hangat buatan Tuti. Aroma melati dan rasa khasnya yang manis-sepat itu lumayan membuatku rileks. “Gimana? Udah tenang sekarang?” Mas Ivan mengukir senyumannya. Jujur saja, aku grogi ditatap begitu oleh Mas Ivan. Biar bagaimanapun juga, dia itu mantan atasanku lho! Dulu jangankan duduk berduaan di ruangannya begini, buat dekat-dekat saja rasanya sungkan sekali. “U-udah, Mas,” gagapku seraya menaruh cangkir ke atas tatakannya. “Jadi, kamu ribut ama Denis? Masalahnya apa? Kok, sampai bawa koper
Klik!Segera kupadamkan sambungan telepon. Lama-lama bisa darah tinggi aku jika terus menerus meladeni omongannya si Denis.“Astaghfirullah!” gumamku seraya menepuk dada sendiri.Sesak rasanya. Sakit luar biasa.Dulu, semasa pacaran, Denis adalah pria yang baik. Tipikal pria perhatian yang selalu meluangkan waktunya buatku. Mungkin benar kata pepatah, ya. Setelah dimiliki, sesuatu akan menjadi biasa saja bagi pemiliknya.“Mbak, kenapa? Lagi ada masalah, ya?” Sopir taksi di sebelahku bertanya.“I-iya, Pak. Maaf ya, Pak, jadi berisik,” sahutku sungkan.“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Sabar ya, Mbak. Hidup emang penuh ujian,” ujar si sopir yang mengenakan kemeja batik berwarna cokelat dan celana bahan hitam tersebut.Aku hanya bisa tersenyum getir. Hidup emang penuh ujian. Tapi, perasaan, kenapa hidupku terus yang diuji? Kenapa bukan hidupnya orang lain aja?Jadi anak yatim sedari kecil, terus tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah. Punya ibu kandung yang memang sangat menyayangi
“Dih, enak aja ini orang! Dasar tua bangka nggak tau diri!” balasku sambil menarik tangannya yang berusaha buat merebut gagang koperku. Brak! Akhirnya Ibu terjungkal ke belakang. Dia berteriak mengaduh, padahal jatuhnya tadi tidaklah terlalu kuat. Dasar lebay! Sungguh ratu drama! “Durhaka kamu, Ris! Semoga hidupmu nggak berkah! Semoga aja kamu mandul seumur hidupmu!” pekiknya sambil meraung-raung. “Semoga doa itu balik ke anak perempuanmu! Amin!” seruku sambil tersenyum culas. Cepat kugeret koperku. Aku melenggang kangkung bak seorang pramugari yang akan berangkat ke luar negeri. Goodbye gubug derita! Aku nggak bakalan mau menginjakkan kakiku ke sini lagi! Kupesan taksi online untuk membawaku pergi. Aku sudah tak punya kendaraan lagi semenjak menikah dengan si sompret Denis. Motor yang dulunya kubeli dengan hasil gaji dan bonusanku yang sangat lumaya saat bekerja di showroom sudah dijual
“Berani kamu ya, gebrak-gebrak pintu gitu di depan Ibu! Kamu sadar nggak sih, kalau di sini kamu cuma numpang!” Jeritan Ibu membahana. Jelas saja. Dia berang karena tanganku tadi meninju pintu kamar mandi yang terbuat dari bahan plastik fiber hingga satu engselnya terlepas. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Enak saja ibu mertuaku mempelototiku bagai anak kecil begitu. “Sampe lepas pintunya, lho! Kamu ini waras nggak sih, Ris!” bentak Ibu lagi dengan nada yang semakin meninggi. Sayangnya, dia hanya berani berteriak. Wajahnya sendiri pias dengan cucuran keringat di pelipis. Langkahnya pun kuliat mundur. Kenapa dia? Takut? “Waras atau tidaknya aku, itu bukan urusan Ibu!” desisku sambil berjalan meninggalkan beliau. “Ingat, Ris! Denis bisa aja ngejadiin kamu janda kapan pun yang dia mau! Siap-siap aja kamu!” Ibu mertuaku berteriak hingga suaranya terdengar serak. Jadi janda, katanya? Lho, emangny
Tanpa mau memedulikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk, aku malah melenggang kangkung ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Kulirik sekilas saja meja makan yang penuh dengan piring dan mangkuk kotor. Tak ada yang mau mengemasinya, pun ibu mertuaku yang sudah bangkotan itu. “Lihat aja nanti. Kalau aku udah nggak ada di rumah, baru kalian nyesel!” desisku sambil menutup pintu kamar mandi. Tak memakan banyak waktu, lekas kuselesaikan ritual mandiku. Segar juga mandi pagi begini rupanya. Maklum, selama menikah dengan Mas Denis, aku selalu mandi di atas jam dua belas siang. Bagaimana mau mandi awal? Pagi-pagi buta saja aku sudah harus masak dengan menu lengkap. Lepas masak, setumpuk cucian kotor akan memanggil-manggil untuk dijamah. Belum lagi jika stok bahan makanan di kulkas habis hingga mengharuskanku capcus ke pasar buat berbelanja. Pusing? Kemarin-kemarin sih, tidak. Ikhlas semuanya kujalani. Meskipun Mas