Bintang langsung salah tingkah. Ia terlihat menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.“Azzalyn, kenapa tiba-tiba kau mau ke rumahku?”“Aku hanya mau menumpang tidur. Apa nggak boleh?”“Boleh...” Bintang tergagap. “Tapi kenapa mendadak?”“Aku nggak punya uang lebih kalau untuk bayar penginapan, mau pulang ke kost aku nggak enak. Lagi pula, aku belum pernah main ke rumahmu kan? Aku ingin mengenalmu lebih jauh.” “Kita udah kenal lama kan? Kenapa, sekarang kau bilang ingin mengenalku lebih jauh?” tanya Bintang semakin tak paham.“Ya beda dong. Selama ini aku mengenalmu hanya sebatas teman. Sekarang aku ingin tahu lebih tentang seluk-beluk calon pacarku. Aku takut di kemudian hari terjadi hal yang nggak masuk akal seperti sebelumnya.” Ujar Azzalyn sambil menahan tawa, melihat Bintang yang baru saja menyemburkan sedikit kopinya saat mendengar ia mengatakan ‘calon pacar’ barusan.Sekarang pemuda itu terlihat memandangnya tanpa kedip, seolah-olah memastikan kalimat yang baru s
“Kenapa... Kau memintaku untuk tetap di sini?” Tanya Bintang dengan suara yang terdengar bergetar karena grogi.“Temani aku Bintang. Aku takut sendiri.”“Tapi....”“Nggak apa Bintang. Kita kan nggak ngapa-ngapain.”Bintang mengangguk. “Kalau gitu kamu tunggu sebentar nggak apa? Aku mau beresin sampah di luar, sekalian mau ambil alas tempat tidur. Aku akan tidur di bawah.”Azzalyn mengangguk. “Makasih ya.”Bintang keluar dan dengan cepat membersihkan sisa-sisa sampah yang ada di ruang tamunya. Setelah itu dia kembali masuk ke kamar tempat di mana Azzalyn berada, hendak meletakkan alas tempat tidur. Namun geraknya terhenti saat pandangannya tertuju pada Azzalyn yang ternyata sudah tertidur.Bintang hanya bisa tersenyum. Ia berpikir Azzalyn pasti sangat lelah dan mengantuk. Dengan hati-hati ia membetulkan selimut Azzalyn. Kemudian ia meletakkan bantal di lantai, di atas alas tempat tidurnya dan langsung merebahkan diri. Ia pun langsung memejamkan mata. Ia harus langsung tidur seba
“Maaf Pak. Saya nggak melakukan apa-apa. Tadi saya diminta untuk mengambil barang di atas, dan setelah saya sampai di sini saya diminta untuk mengembalikan ke atas lagi.” “Trus masalahnya di mana?” tanya Andri agak marah. “Itu adalah masalah buat saya Pak. Saya capek kalau harus bolak-balik, sementara hanya karena untuk mengambil barang, saya harus meninggalkan tugas saya sebagai Doorgirl.” “Itu kan memang sudah tugas dan kewajiban kamu di sini, harus memberi servis terbaik buat tamu kan?” “Maaf, setahu saya Mbak Dwita statusnya sekarang bukan tamu hotel, dia juga staf seperti saya. Meski mungkin jabatannya lebih tinggi, tapi kami di sini sama-sama karyawan yang nggak punya hak untuk memberi perintah. Kecuali kalau yang memberi perintah itu minimal adalah supervisor saya, baru itu saya anggap suatu kewajaran. Tapi kalau yang memerintah adalah karyawan baru yang seenaknya, saya nggak bisa Pak, karena tanggung jawab saya bukan untuk melayani dia.” Jawab Azzalyn dengan berani. Ia tak
“Anak itu, bagaimana bisa jadi nggak punya otak seperti ini?”Riska benar-benar geram mendengar pernyataan Andri. Berulang kali ia menghembuskan napas dengan kasar.“Kenapa Kak Abyl bisa senekat itu sih? Nggak takut apa kalau sampai hal ini didengar sama saingan bisnis perusahaan kita?” ujar Dwita kesal.“Abyl memang sama dengan Papamu. Sama-sama nggak pernah bisa membuang perasaan kalau sedang jatuh cinta. Mereka jadi orang yang benar-benar bodoh.” Kata Riska makin geram.“Aku heran, kenapa sih semua orang menyukai Azzalyn? Papa, Kak Abyl dan Kak Bintang. Mereka semua seolah-olah sedang tergila-gila dengan perempuan miskin dan rendahan itu.”“Dia itu pandai merayu seperti Ibunya yang murahan itu,” Riska berkata dengan nada penuh emosi.Andri yang sejak tadi mendengar percakapan antara ibu dan anak itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, tanda tak mengerti. Ia sungguh tak bisa memahami konflik apa yang sudah terjadi antara mantan Bos dan juga bawahannya itu.“Masih ada lagi yang mau
“Apa maksudmu bilang seperti itu, Riska?”“Tapi benar kan, itu sekarang yang ada dalam pikiran Mas?”“Kalau pun iya, memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku mau menjaga anakku sendiri? Aku udah pernah bilang kalau mulai sekarang aku akan menebus kesalahanku padanya selama ini. Jangan lupa Riska, kau yang telah membuat ia sebatang kara seperti sekarang.“Jangan membawa-bawa masalah itu Mas. Semua ini berawal darimu, jadi jangan berbicara seolah-olah aku adalah orang yang paling bersalah di sini. Kalau ditanya siapa orang yang paling jahat, itu adalah kamu, Mas!” kata Riska dengan napas memburu penuh emosi.“Kenapa kamu bicara seperti itu, Riska? Kamu nggak pernah seperti ini.” Bu Narti tampak tak terima saat mendengar sang menantu menyalahkan putra satu-satunya itu.“Saya udah nggak tahan, Bu. Ibu pernah membayangkan nggak kalau seandainya berada di posisi saya seperti sekarang ini? Selama puluhan tahun hidup dengan suami yang selalu masih dibayang-bayangi sosok mantan istri
“Kenapa aku tak boleh memberinya sedikit pun dari hartaku? Dia anakku juga, Riska.”“Jangan berikan dia apa pun, atau aku akan membuat Mas hancur sehancur-hancurnya. Perusahaan kita bisa berdiri setegak dan sebesar seperti sekarang ini adalah atas kerja kerasku juga. Kalau bukan karena usahaku untuk mencari relasi bisnis terbaik lewat pengaruh orang tuaku, maka perusahaan ini nggak akan seterkenal sekarang. Dan kalau bukan karena aku yang bersusah payah melindungi Mas sejak dulu lewat orang-orang suruhanku, maka mungkin sudah sejak lama Mas mengalami celaka akibat persaingan bisnis yang kejam. Jadi, apa Mas pikir aku akan merelakan begitu saja kalau Mas hendak membagi harta hasil jerih payahku kepada orang yang paling aku benci di dunia ini?”Krisna tak menawab. Harus ia akui kalau Riska memang berperan penting dalam membantunya mengembangkan perusahaan. Meski perusahaan miliknya memang bukanlah sebuah perusahaan yang kecil, tapi dengan tangan dingin Riska yang berada di sampingnya, i
“Kamu nggak bisa ngelakuin itu sendiri?” tanya Azzalyn dingin. “Aku kan cuma minta tolong. Masa’ gitu aja kamu nggak mau?” ujar Dwita sok sedih, membuat Azzalyn merasa mual mendengar nada suaranya. “Iyalah nggak mau. Emangnya aku pembantu kamu? Biarpun aku di sini hanya seorang Doorgirl, tapi bukan berarti bisa diperintah seenaknya. Kamu punya tangan dengan kaki kan? Biasakan untuk kerjakan semua sendiri, jangan selalu ngerepotin orang.” Kata Azzalyn tajam. “Loh kok kamu protes? Bukannya aku sok-sokan memerintah, tapi kan menjaga kebersihan ruangan ini adalah tugas kamu. Aku minta bawakan piring kotor dan buang sampah ke belakang memangnya itu salah?” Dwita mulai meninggikan suaranya. “Heh, anak Mami! Menjaga kebersihan ruangan ini adalah tugas kita bersama, tugas semua orang yang menggunakan ruangan ini. Jadi bukan aku aja yang harus bertanggung jawab kalau ruangan ini kotor. Kalian yang tadi di sini makan rujak, bikin sampah, ya seharusnya kalian yang beresin. Jangan nyuruh aku.
“Azzalyn, kau ada di mana? Apa kau sudah sampai di kost?” tanya Bintang, segera setelah Azzalyn mengangkat panggilan darinya.Saat sampai di hotel Dandellion, Bintang sudah tak lagi melihat ada Azzalyn di sana. Menurut keterangan sekuriti hotel, Azzalyn sudah pulang dengan menaiki ojek langganannya. Kini Bintang berniat akan menyusul Azzalyn, namun ia harus memastikan terlebih dahulu keberadaan gadis itu.Setelah sempat tak menjawab panggilann sebanyak tiga kali, baru pada panggilan keempat Azzalyn mau mengangkat telepon darinya.“Iya, aku baru aja sampai,” jawab Azzalyn dingin.“Apa kau marah?”“Kenapa harus marah? Memangnya ada sesuatu yang membuatku marah?”Mereka sempat terdiam beberapa saat.“Aku udah bilang kalau aku datang untuk menjemputmu. Namun ternyata tadi ada Dwita yang minta diantar pulang. Aku nggak enak untuk menolak.” Bintang menghentikan kalimatnya. Ia ingin mendengar terlebih dahulu respon dari Azzalyn.“Itu terserah padamu Bintang. Aku nggak punya hak untuk melaran