Share

Chapter 5 Ada Apa?

Rita membaringkan tubuh lelahnya begitu saja di atas ranjang, bahkan kedua kakinya masih tergantung di tepi ranjang. Ia tidak menyangka pertemuan dengan Arka hari ini walau cukup hangat ternyata menyedot banyak energinya. Beban di pundaknya seolah menguap dan itu membuat fisiknya merasakan kelelahan yang sangat. Rita tahu pasti bahwa selama ini ia sudah berusaha sangat keras untuk mengisi waktu dengan bekerja.

Hanya ini hiburan untuknya, sampai ia baru menyadari berjauhan dari suaminya dalam waktu yang lama terasa biasa saja. Rita membuka matanya lebar-lebar dan terduduk dengan cepatnya. Jantungnya berdetak kencang saat memikirkan sang suami tetapi tak merasakan getar kerinduan itu. Berbeda saat sosok tinggi nan gagah itu yang berjalan menjauh.

“Gila. Kenapa harus dia sih?” omel Rita kesal dengan apa yang terjadi hari ini dan juga perasaannya.

Rita lantas membersihkan diri dan dengan memakai jubah mandi segera menggapai ponselnya yang terlihat bergetar. Ia pun menyunggingkan senyum, berharap jika suaminya yang akan menanyakan keadaannya tetapi apa yang Rita nantikan tidak terjadi. Arka yang menghubunginya saat ini. Pria itu mengirimkan pesan untuk Rita.

Arka: [Aku tahu kamu belum tidur. Jangan begadang, besok waktu yang padat untuk menyiapkan pekerjaanmu di sini.]

Rita: [Saya diberitahu oleh Pak Anton jika boleh mempertimbangkan terlebih dahulu. Saya harus membicarakan hal ini dulu dengan suami saya.]

Sungguh perasaan Rita menjadi jengkel saat ini. Arka terlihat sangat percaya diri, bahwa apa yang dirinya inginkan akan tercapai. Apakah Arka lupa jika dirinya sudah menikah?

Arka: [Aku sangat yakin jika nanti kamu pasti akan langsung ke sini.]

Rita curiga dengan pernyataan Arka. Ia menjadi bimbang untuk membalas, namun jika didiamkan rasanya ia sungguh seperti pegawai yang tidak tahu malu.

Rita: [Apapun itu, izinkan saya untuk menanyakan dulu dengan suami saya, ya Pak? Saya tidak bisa memutuskan sendiri. Tolong beri saya waktu.]

Arka: [Baiklah, aku juga tidak ingin memaksamu. Aku ingin kamu merasa nyaman untuk bekerja di sini.]

Pesan terakhir dari Arka tentu saja membuat suasana Rita semakin membaik. Ia pun membalas dengan ucapan terima kasih dan selamat malam.

Sementara itu di kediaman keluarga Chandara. Arka setelah berbalas pesan dengan Rita langsung menghubungi seseorang.

“Bagaimana perkembangan. Pria brengsek itu sudah kembali?”

“Sudah. Dia marah dan terlihat dingin saat tidak mendapati Rita di rumah.”

“Bukankah Rita selalu izin jika melakukan perjalanan dinas?”

“Biasanya begitu, entahlah. Padahal dia pulang juga tidak sendiri kali ini.”

“Lantas untuk apa dia marah? Aneh sekali orang itu. Apa dia sengaja untuk ingin segera menyakiti hati Rita? Aku sangat yakin, saat dulu Rita mengalami keguguran pasti juga karena andil mertuanya yang jahat itu.”

“Kalau melihat situasi saat ini, semua itu mungkin saja terjadi. Perlakuan terhadap Rita memang berbeda.”

“Tenang saja. Dia tidak akan bertahan lama di sana. Nanti saat dia kembali dan memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Antarkan dia ke tempat yang sudah aku siapkan.”

“Baik Tuan. Saya akan lakukan semuanya. Kami juga ikut pindah bukan?”

“Tentu. Keluargamu harus menjaganya.”

“Terima kasih, Tuan.”

Dua hari kemudian Rita dengan semangat berkemas untuk kembali ke kantor cabang. Anton sendiri sudah berada di lobby menunggunya. Teleponnya berdering saat Rita sudah berada di dalam lift menuju lantai dasar.

“Sebaiknya kamu segera meminta cerai dari Apri.”

“Ma, jangan mulai deh. Rita baru akan pulang loh. Padat banget kerjaan dua hari ini,” keluhnya.

Rita bisa mendengar dengan jelas desahan napas mamanya. “Rita, sungguh Mama tidak ingin kamu kembali. Bagaimana kalau kamu ke rumah Mama saja?”

Rita mulai merasakan ada sesuatu yang tidak mengenakkan dari nada suara mamanya. “Apa yang sedang Mama pikirkan? Apa ada terjadi sesuatu atau Mama masih bersikeras untuk aku pindah dari kampung?”

“Pada akhirnya kamu pasti akan pergi dari sana. Anak Mama tidak bodoh. Mama yakin kamu akan mengambil keputusan yang tepat.”

“Ada apa sih Ma?” desak Rita, “seperti teka-teki saja?!”

“Nanti juga pada akhirnya kamu akan tahu.”

Daya menutup mulutnya dengan sebelah tangan begitu menutup secara sepihak sambungan teleponnya dengan Rita. Sungguh ia tidak sanggup mengutarakan apa yang terjadi kepada sang putri. Namun disisi lain ia juga ingin melindungi anaknya dari apa yang akan menghadangnya. Daya jelas tahu diri dan tak ingin terlalu ikut campur kehidupan pernikahan Rita. Percakapan terakhir dua hari yang lalu saja sudah membuat perasaannya tidak enak.

“Maafkan Mama. Andai Mama tidak pernah menikah kembali tentu hal ini tak akan mungkin terjadi,” gumam Daya ke arah foto Rita yang tergantung cantik di tembok dekat televisi.

Sementara itu, Rita yang suasana hatinya kembali buruk setelah perbincangan dengan sang mama yang terasa menggantung, memaksakan senyumnya saat bertemu dengan Anton.

“Tumben kusut?” tanya Anton.

“Capek Pak.”

“Nanti kalau kamu sudah memutuskan untuk pindah ke sini. Pasti tidak akan terasa capek lagi. Kamu akan merasakan langkahmu semakin ringan.”

Rita hanya mengerutkan dahinya tanpa menyahuti. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan Daya dan Anton. Kedua orang ini penuh teka-teki dan ambigu. Rita sendiri rasanya sudah cukup lelah untuk menebak-nebak apa yang tersirat dari perkataan dua orang ini. Ia hanya ingin segera pulang, rasa lelahnya semakin menjadi karena Apriyanto tidak juga menghubunginya dan pesan serta telepon yang ia lakukan tidak diangkat oleh suaminya tersebut.

Rita masuk ke mobil yang sudah tersedia dan begitu ia duduk, ponselnya berdering dan nampak nama Arka yang tertulis di sana. Rita menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Bukan orang yang ia tunggu malah menghubunginya saat ini.

“Siang Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rita dengan sopan bagaimanapun saat ini adalah hari kerja dan posisi Arka jelas adalah pimpinannya.

“Tentu, bantu aku dengan jangan bersedih.”

“Eh … maksudnya bagaimana?” Satu lagi orang yang berbicara penuh misteri dan Rita masih dengan pendiriannya yang sebelumnya tidak mau repot untuk menebak-nebak.

“Aku ingin kamu selalu bahagia.”

Keheningan cukup terasa diantara jeda telepon itu. Lidah Rita terasa kelu, pikirannya mengembara dan mengingat-ingat kapan ia terakhir kali merasakan kebahagiaan. Rasanya sudah lama sekali sejak sebelum, saat itu terjadi. Tanpa sadar Rita mengusap perutnya perlahan.

Sudah bertahun-tahun tetapi rasanya nyeri yang sungguh menyiksa itu seperti terjadi kemarin. Rita rasanya tidak akan pernah sembuh dari luka itu. Kehilangan buah hati bukan perkara mudah untuk dilupakan. Sungguh Rita sudah mencoba tetapi tak pernah berhasil dengan baik.

Mengenyahkan pikiran dari rasa yang menyiksa tersebut, kembali Rita menghubungi suaminya dan kali ini ponselnya tidak aktif. Lantas Rita mencari salah satu sosial media sang suami dan mengirimkan pesan.

Rita: [Mas, kabari aku jika sudah pulang. Aku pulang sekarang. Jangan marah ya Sayang. Aku kangen.]

Sampai sepuluh menit berikutnya tidak ada balasan dari Apriyanto. Kembali Rita mengirimkan pesan.

Rita: [Mas, jangan seperti anak kecil. Ambekan. Beritahu aku jika kamu baik-baik saja. Itu saja cukup, Mas.]

Tak disangka oleh Rita, Apriyanto dengan cepat membalas.

Apriyanto: [Tidak perlu khawatir dengan kebahagiaanku. Aku sudah sangat bahagia saat ini. ]

Seharusnya, Rita merasakan kebahagiaan dengan pesan balasan itu. Namun nyatanya tidak demikian. Hati kecilnya merasakan ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Ia pun yakin mamanya pasti tahu sesuatu dan sudah memutuskan untuk tidak mau memberitahunya. Rita rasanya seperti anak ayam yang terlepas dari induknya saat ini. Aneh bukan? Ia sudah menikah selama sepuluh tahun dengan Apriyanto tetapi saat ini ia merasa lebih kesepian dan tidak tahu apa-apa dari sebelumnya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Tbc

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status