Share

Chapter 9 Membuatmu Jatuh Cinta

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam. Akhirnya mereka sampai di sebuah Villa bercat putih dari gerbang sampai bangunan utama. Udara segar langsung menyambut paru-paru Rita yang penuh kesesakan. Rasanya sudah sangat lama ia tidak menghirup aroma kesegaran asli seperti ini. Tanpa polusi dan dinginnya angin dini hari tengah menyapa.

Ia mengetatkan jaket yang terpakai dan selimut tebal yang Rita tak tahu dari mana datangnya. Eli sepertinya yang memakaikannya selama dirinya ketiduran dalam mobil tadi. Lampu dalam villa seketika menyala terang dan seorang pria gagah rupawan membukakan pintu dan berdiri di teras.

“Kenalkan ini anak saya, Wahyu,” ujar Eli sementara Yuda sibuk membawa masuk barang bawaan mereka.

“Saya Wahyu, pemilik vila.” Uluran tangan dari Wahyu disambut oleh Rita sesaat.

“Sepertinya Bu Rita memang sudah sangat capek. Mari masuk, saya sudah siapkan wedang jahe sebelum kita semua melanjutkan tidur.”

Rita masih enggan membuka suaranya setelah bersitatap dengan mata sekelam malam dan setajam elang itu. Ada sesuatu yang mengusik dari keberadaan Wahyu, tetapi Rita cukup lelah dan juga meriang untuk mencari atau atau menebak saat ini.

“Di mana kamar untuk Bu Rita. Yu?” tanya Eli.

“Di sana tepat berseberangan dengan kamar Mamak.”

“Wah bagus sekali. Udara dan sinar pagi akan langsung masuk ke kamar,” ucap Eli senang kemudian meninggalkan Wahyu yang masih berdiri di ruang tamu bersama dengan Rita.

Rita mengagumi villa tua itu. Ia takjub, bangunan peninggalan Belanda ini masih sangat terawat dengan baik. “Apakah sering ada tamu di sini?”

“Maaf?” tanya Wahyu yang tidak siap dengan pertanyaan dari Rita. Wanita yang ia pikir sangat irit berbicara kemudian membuka percakapan seperti itu, tentu membuat Wahyu terkejut.

“Maksudku, villa seindah ini. Apakah sering menerima tamu?”

Wahyu terkekeh sebentar sebelum berdehem dan kemudian menjawab, “Ngomong-ngomong ini adalah rumah pribadi. Seperti yang saya katakan sebelumnya. Saya adalah pemilik villa ini.”

Rita lantas mulai memahami dan wajahnya memerah karena malu sedari tadi beranggapan jika tempat ini merupakan villa penginapan. Tidak ada meja resepsionis di sini. Walaupun jelas villa ini sangat luas. Ada koridor dan jendela dan pintu tinggi dengan gorden indah melambai tertiup angin malam. Tak hentinya Rita mengagumi.

“Ayo nikmati dulu wedang jahenya. Semoga rasanya pas di lidah. Saya tidak tahu selera Anda seperti apa. Gula batu bisa Anda tambahkan sendiri.” Wahyu membimbing Rita ke meja makan. Yuda sudah berada di sana dan membantu memundurkan kursi untuk Rita.

“Terima kasih. Kalian baik sekali. Tetapi tidak perlu begini. Aku juga orang kampung biasa kok.”

“Ah … Bu Rita mah merendah aja. Kami baru orang kampung.”

“Sama aja lah Pak Yuda. Saya juga orang kampung. Saya kan berasal dari kampung itu juga.” Rita enggan menyebutkan nama kampung tempat nerakanya berada. Cukup semua akan ia kubur dalam-dalam mulai saat ini. Semoga semesta mengamini, sehingga ia tidak akan pernah menginjakkan kaki di sana lagi.

Setelah percakapan sembari menikmati wedang jahe, Rita menuju kamar yang telah disiapkan untuknya dan tanpa menunggu waktu yang lama ia segera terbuai dalam lelapnya tidur. Empuknya ranjang dan atmosfer yang berbeda seketika membantu mengendurkan otot dan urat sarafnya yang terasa nyeri.

Di kediaman Suhardiman. Apriyanto kembali sekitar pukul empat pagi berjalan gontai dan merebahkan diri di sofa ruang tamu. Rakmi sudah menunggu kedatangan putranya, bagaimanapun sebagai seorang ibu ia merasa khawatir dengan keadaan anaknya yang pergi dalam keadaan marah.

“Lihat kamu pulang sendirian. Mana menantu pembangkang itu?!”

Apriyanto mengangkat satu tangannya sebagai tanda agar sang ibu tidak melanjutkan ucapannya. “Cukup Bu. Aku sangat lelah saat ini. Bisakah tinggalkan aku sendiri dulu?”

“Tidak. Ini rumahku dan aku bebas melakukan apa yang aku mau,” bantahnya dengan keras kepala.

Apriyanto melirik ibunya yang berdiri berkacak pinggang tak jauh darinya lewat sudut matanya dengan malas. Lantas kali ini ia mengangkat kedua tangannya ke udara. “Baiklah, mulai besok aku akan membawa istri dan anakku untuk tinggal di rumah kami, pribadi.”

Rakmi berjalan cepat dan kemudian tanpa disangka langsung melayangkan tamparan pada pipi kiri Apriyanto. “Tega kamu sama Ibu ya? Ini balasanmu? Kamu tidak ingat pesan terakhir bapakmu untuk selalu menemani Ibu di rumah ini?”

“Ingat Bu, sangat ingat. Tapi bapak juga tidak memberikan pesan agar Ibu selalu ikut campur dalam kehidupan rumah tanggaku. Lihat hasilnya, seharusnya aku yang bicara empat mata dengan Rita untuk mengumumkan istri muda dan anakku. Apa yang terjadi, Ibu lebih dulu lancing bicara dengannya dan membuatnya pergi. Ibu puas sekarang.”

Rakmi tampak kalut dan langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi, menyerang Apriyanto. “Anak durhaka kamu, bisa-bisanya mengatai Ibu lancing. Ibu yang sudah mengandung dan melahirkanmu. Hak Ibu untuk mengatur kebahagiaan anaknya.”

Apriyanto berusaha menangkap kedua tangan Rakmi dan setelah berhasil kemudian memeluk ibunya itu erat-erat. “Bu, sadar Bu. Apa Ibu tidak merasa jika selama ini sudah terlalu sering ikut campur? Tolonglah introspeksi diri. Rita tidak bisa setegar Ibu dalam menyikapi perselingkuhan tapi Apri juga tidak mau berpisah dengannya. Tolong mengerti hal ini.”

“Kamu tidak pernah mencintai dia. Dari dulu yang kamu cintai adalah Asmi dan lihat faktanya. Asmi yang berhasil memberikan kamu anak. Pernikahanmu dengan Rita tidak pernah mendapatkan restuku dan Tuhan.”

“Astaga Ibu. Kandungan Rita itu lemah dan Ibu sendiri juga tahu, kami pernah kehilangan anak kami. Tolong jangan sudutkan dia. Selamanya juga Apri tidak akan menceraikan Rita.” Apriyanto lantas melepaskan dekapannya begitu saja dan berjalan cepat menuju kamar tempat dirinya dan Rita tidur.

“Kamu salah masuk kamar!” seru Rakmi.

“Terserah aku mau tidur di mana. Ingat Istriku ada dua saat ini dan seingatku. Ini masih rumahku juga.” Setelah berkata demikian Apriyanto menutup pintu rapat-rapat dan bersandar di baliknya. Kini ia merasakan kekosongan yang mulai meraja. Samar bau parfum Rita masih tercium walau sisa percintaan mereka tadi sudah tidak ada. Salah seorang pembantu ibunya pasti sudah merapikan.

Apriyanto lantas melepas sepatu dan jaket kemudian merangkak naik ke ranjang dan mendekap bantal yang selalu dipakai Rita. “Kembalilah Sayang. Aku hanya ingin seorang anak untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga kita. Aku tidak mencintai Asmi. Hanya kamu yang selalu aku cintai,” gumam Apriyanto seraya menatap foto pernikahannya dengan Rita yang tergantung indah di dinding kamar.

Asmi yang sekiranya hendak melihat keadaan Apriyanto berdiri membeku di ambang pintu yang sempat ia buka sedikit. Air matanya mengalir dan kembali sakit hati ia rasakan mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Apriyanto, suaminya. Asmi baru tersadar, beginilah resiko yang didapatkan oleh seorang pelakor.

“Aku akan membuatmu jatuh cinta, Mas. Aku akan buat kamu melupakan, Rita. Bagaimanapun caranya.”

tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status