Share

Pembalasan Sang Bandar
Pembalasan Sang Bandar
Author: Vita Zhao

Bab 1.

Di sebuah ruangan gelap, terdapat beberapa orang berbaju hitam, dan satu orang berseragam kepolisian. Mereka sedang menginterogasi seorang pria dewasa yang terkena kasus pengedaran narkoba. Namun, dari tatapannya menunjukkan bahwa pria itu sama sekali tidak takut dengan ancaman orang-orang berpangkat di hadapannya tersebut.

"Gracio Adyson! Selamat berjumpa kembali dengan kami di markas 'Black Xander.' Setelah sekian purnama, akhirnya akulah yang meringkus mu ke markas keramat ini," ucap seorang Intel bernama Xander Oliver. Bahkan dia tertawa begitu keras hingga menggema dalam ruangan gelap itu.

Tidak ada satu orang pun yang berani menatap Xander, karena pria itu terkenal dengan kekejamannya. Akan tetapi, ada satu orang yang sama sekali tidak merasa takut terhadap Intel tersebut, yaitu Gracio.

"Cih! Ternyata kau masih bodoh seperti dulu, Pak Tua!" Gracio menyeringai tipis dengan tatapan elangnya yang mampu membuat sang lawan ketakutan setengah mati.

"Kurang ajar! Apa kau sudah bosan hidup, huh!" Amarah dalam diri Xander langsung membuncah tatkala diremehkan begitu saja oleh tawanannya. Apa tadi, tua? Enak saja. Bahkan diusianya yang ke 47 tahun, masih banyak wanita-wanita cantik yang mau menjadi kekasihnya. Ralat! Simpanannya.

"Jangan marah, Pak Tua. Nanti yang ada keriput mu bertambah. Bukankah di belakang mu ada cermin besar, silahkan cek betapa banyaknya keriput di wajahmu itu," bukannya takut, Gracio justru semakin mengejek Intel tersebut sehingga Xander meraih pistol di atas meja lalu menekan pelatuknya.

Dor! Dor! Dor!

Semua orang yang ada di sana langsung ketakutan saat mendengar suara tembakan dari arah Xander. Hanya Gracio yang masih tenang di kursinya dengan tatapan lurus ke depan. "Bahkan sekedar menembak pun kau tetap bodoh. Apa perlu aku ajari, Pak Tua?" Lagi-lagi Gracio mencibirnya. "Bagaimana mungkin seorang Intel dengan tingkat kemampuan rendah, mendapatkan tugas untuk menangkap ku. Meruntuhkan harga diriku saja," Gracio berdecak kesal karena bukan seorang pahlawan yang menangkapnya. Justru pria tua yang tidak mempunyai kelebihan apa pun kecuali kesombongannya.

Merasa tak tahan melihat tingkah Xander yang sangat sombong, akhirnya Gracio menarik pistol di balik punggungnya. Dengan cepat, Gracio mengarahkan pistol itu tepat ke bagian burung milik Xander. "Sepertinya ini adalah sasaran yang tepat, Pak Tua." Gracio tersenyum miring sebelum akhirnya menekan pelatuk pistolnya.

Dor!

"Aaaakh!" Xander menutup kedua matanya sambil berteriak histeris karena takut benda pusaka kesayangannya benar-benar akan musnah. Itu artinya, ia tidak akan bisa lagi bermain wanita di luaran sana.

"Hahahahaha! Lihatlah! Mana ada seorang Intel yang takut sama buronan? Bahkan yang ada dalam pikirannya hanya wanita, wanita, dan wanita. Apa pekerjaanmu cuma itu-itu saja," Gracio membalik keadaan, hingga kini Xander berada di bawah kuasanya.

Xander bernafas lega saat melihat burungnya masih sehat sentosa. Tenyata, Gracio tidak benar-benar menembaknya. Pria itu mengubah target sehingga mengenai botol vodka yang terpanjang di dinding ruangan gelap itu.

"Sudah ku katakan bahwa jangan pernah bermain api denganku, jika kamu masih ingin menghirup udara segar. Aku tidak perduli dengan jabatan mu itu, Intel sialan. Berani sekali Intel rendahan sepertimu ingin menangkap ku, bahkan tanpa adanya bukti yang nyata. Bukankah kau sangat bodoh," Gracio memainkan pistol di tangannya dengan mata yang terpejam.

Aura ketampanan seorang Gracio semakin meningkat di saat ia sedang marah. Ia menatap satu persatu wajah orang-orang berbaju hitam di sekelilingnya. Bibirnya terangkat membentuk seringai tipis.

Xander memberikan isyarat kepada para anak buahnya supaya mereka menyerang Gracio sekarang juga.

Pastinya Gracio bukanlah orang yang bodoh. Dia langsung mematahkan tangan para anak buah Xander secara bergantian. Lawannya memang tak sebanding, tapi Gracio sangat mampu mengalahkan mereka semua termasuk juga Xander.

Namun, Gracio masih berbaik hati dengan membiarkan pria tua itu ketakutan akan peringatan yang ia berikan.

Tak ingin membuang waktu lagi, Gracio keluar dari dalam markas Xander, dan pulang ke rumah.

Setibanya di rumah, bukan sambutan hangat yang Gracio dapatkan, melainkan sebuah tamparan keras dari sang istri tercinta.

"Tega banget kamu Mas. Meruntuhkan kepercayaanku yang dibangun sedemikian rupa. Tapi sekarang apa, kamu justru mengecewakan ku dan juga keluarga kita," ucap Violetta--Istri Gracio.

"Dengarkan aku dulu, Sayang. Aku sama sekali nggak melakukan itu. Percayalah kalo aku cuma dijebak," Gracio berusaha meyakinkan sang istri bahwa dirinya tidak bersalah.

"Bohong kamu Mas. Semua bukti mengarah sama kamu. Kedua orang tua kita marah karena dan menyalahkan ku karena aku nggak bisa menjaga kamu, sampai kamu melakukan hal terlarang ini,"

tangis Violetta pecah saat itu juga. Ia terduduk di atas lantai dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan.

"Sayang, aku bersumpah kalo aku memang nggak salah. Aku akan membuktikan semuanya sama kamu dan yang lainnya kalo cuma dijebak," Gracio tidak tahu lagi harus berkata apa, sebab istrinya masih dalam keadaan marah yang tak akan bisa mencerna setiap ucapan yang terlontar dari bibir Gracio.

"Gimana nasib anak kita nanti kalo dia tahu bahwa papanya adalah seorang kriminal," suara Violetta terdengar lirih. Ia benar-benar hancur sekarang.

Kedua tangan Gracio terkepal erat. Mendengar kata anak yang diucapkan oleh sang istri, sungguh membuat hatinya sakit. "Aku mohon tenanglah, Sayang. Berikan aku sedikit waktu untuk mengungkapkan kebenaran itu. Aku janji,"

Terdapat ketulusan pada ucapan Gracio. Ia memeluk tubuh Violetta dengan sangat lembut. Berharap istrinya itu tak lagi menangis. Rasanya dadanya sesak saat melihat air mata terus mengalir dari pelupuk mata Violetta.

"Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Mas? Sepertinya aku nggak akan sanggup menunggu lebih lama lagi," Violetta melerai pelukannya dari sang suami, lalu menjaga jarak darinya.

"Maksud kamu apa, Violetta?" wajah Gracio terlihat tegang dengan rahang yang mengeras. Ia tidak mau berburuk sangka terhadap istrinya itu sebelum mendengar sendiri penjelasannya secara benar.

Violetta tidak menjawab. Ia bangkit dari posisinya dan berlalu meninggalkan Gracio seorang diri di ruang tengah. Violetta hanya bisa menangis tanpa tahu harus melakukan apa. Dia bukan orang berpangkat yang mampu mengalahkan hukum keadilan dan menukarnya dengan uang.

Sekuat tenaga Gracio menahan amarah supaya tidak melampiaskannya kepada sang istri. "Bedeb*h kalian semua!" Gumam Gracio menarik rambutnya frustasi.

Sedangkan di tempat lain, segerombolan pria tengah berpesta akan kemenangan yang mereka dapatkan. Suara gelak tawa terdengar begitu menggema dalam ruangan bernuansa abu-abu.

"Mari kita rayakan kemenangan ini dengan berpesta sepuas-puasnya," ucap seorang pria yang menjabat sebagai SP (Satpol PP). Dia mengangkat gelas yang ada di tangannya, dan ikuti oleh anggotanya yang lain.

"Pesta," semua orang berseru senang dengan pesta itu. Apa lagi mereka mendapatkan bonus yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik berpakaian seksi. Hingga sebuah suara berhasil menghentikan kegiatan mereka di dalam sana.

"Robert Stewart!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status