Share

Bab 2.

"Robert Stewart!" Suara teriakan begitu nyaring hingga mengalihkan fokus semua orang di dalam ruangan itu.

Gracio berlari ke arah Robert, dan memberikan pukulan telak di wajahnya hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah.

"Kurang ajar! Berani sekali cecunguk ini masuk ke markas ku. Cepat serang dia," titah Robert kepada anak buahnya.

"Pengecut! Beraninya keroyokan," Gracio mencibir SP tersebut karena menurutnya dia sama saja dengan Xander, Intel bod*h yang tak punya keahlian apapun.

Gracio dikepung oleh para anak buah Robert yang menyerangnya secara bersamaan, seolah tak memberikan ruang untuk Gracio bernafas. Namun, Gracio sama sekali tidak kewalahan melawan segerombolan pecundang itu.

Tangannya terus bergerak melawan musuh, begitu juga dengan kakinya yang terus menendang lawan dengan sangat kerasa sehingga mereka tumbang satu persatu hanya dengan satu tendangan dan satu bogeman mentah.

Suara kegaduhan terus menggema dalam ruangan sempit itu. Gracio menyerang musuh secara membabi-buta. Ia marah, sangat marah. Gara-gara Robert dan Xander, hubungan rumah tangganya menjadi kacau. Istrinya tak lagi bersimpati kepadanya, dan justru menjaga jarak dengannya.

Karena itulah Gracio pergi dari rumah dan menemui Robert di markasnya. Sekarang ia berhasil mengalahkan para anak buah Robert hanya menggunakan tangan kosong.

"Apa kau sudah siap? Sekarang waktunya kita adu kekuatan otot, bukan bac*t," ucap Gracio menatap tajam ke arah Robert yang kini mulai ketakutan.

"Kau bukan lawanku. Lebih kau pergi, dan siapkan uang kompensasi dari pihak kepolisian jika kau tak ingin mendekam di balik jeruji besi," balas Robert mengingatkan. Ia tidak mau mati begitu saja di tangan seorang Bandar.

"Ralat! Lebih tepatnya dari kamu dan Intel tidak berguna itu. Tidak ada pihak yang berwajib menukar keadilan dengan uang haram seperti yang kalian makan selama ini," Gracio sudah hafal bagian keadaan bergerak sekarang. Semuanya bisa dibeli dengan uang. Bahkan korban pun akan berubah menjadi tersangka jika nominal yang dikeluarkan sangatlah banyak.

Robert tersenyum sinis pada Gracio yang menatap tajam ke arahnya. "Terserah. Yang jelas, namamu tidak akan bersih jika uang itu tidak ada, dan begitu sebaliknya. Lebih cepat lebih baik,"

"Bedeb*h!" Desis Gracio mengepalkan tangan begitu erat. Tak ingin membuang waktu. Ia pun melangkah cepat, dan menghajar SP tersebut hingga menyebabkan gigi depannya patah.

Kedua bola mata Robert membulat sempurna, tatkala giginya berjatuhan akibat pukulan telak yang dilayangkan oleh Gracio terhadapnya.

Tidak ingin harga dirinya runtuh seperti giginya tersebut, Robert mengambil tongkat bisbol di dekat kakinya, kemudian mengayunkannya ke arah Gracio. Serangan Robert meleset. Dia yang tak pandai berkelahi pun tentu saja kewalahan menghadapi Gracio. Sebab, selama ini ia selalu menggunakan anak buah untuk menjadi pelindungnya.

"Cih! Memalukan!" Gracio meludah ke lantai sebagai bentuk penghinaan terhadap Robert. "Aku peringatkan sekali lagi. Jangan pernah menuduhku dengan hal sama sekali tidak aku lakukan, atau aku akan menjadi brutal melebihi dari tuduhan itu, dan melenyapkan kalian semua. Mengerti!" Gracio tidak pernah main-main dengan ucapannya. Apa yang dia katakan pasti akan menjadi kenyataan.

Robert tidak terima diperlakukan buruk oleh seorang Bandar rendahan seperti Gracio. "Aku sengaja mengalah, bukan benar-benar kalah." Ucap Robert selepas kepergian Gracio dari sana. Ia masih enggan mengakui kesalahan tersebut karena tak ingin di cap pecundang.

*****

Sesampainya di rumah, Gracio tidak menemukan keberadaan istri dan anaknya. Ia kebingungan mencari mereka berdua hingga menelusuri ke setiap sudut ruangan. Pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya.

"Halo, Vio. Kamu dan Kevin di mana? Kenapa di rumah nggak ada orang?" tanya Gracio melalui sambungan telepon.

"Aku dan Kevin pulang ke rumah mama dan papa. Jangan temui kami dulu sebelum permasalahan usai," jawab Violetta dari seberang sana. Ia tak ada pilihan lain kecuali pulang ke rumah orang tuanya. Sebab, ia merasa tak aman jika masih tinggal satu rumah dengan Gracio di saat suasana genting.

"Kamu nggak bisa berbuat seperti ini, Vio. Aku sudah bilang kalo aku nggak salah. Please percayalah sama aku," Gracio sangat memohon kepada sang istri agar tidak meninggalkannya.

"Buktikan, Mas, kalo kamu memang nggak salah. Tapi ... sepertinya akan sulit membuktikannya," suara Vio terdengar serak. Sepertinya dia sedang menahan tangis supaya tidak pecah.

"Sabar, Sayang. Aku janji akan membuktikan semuanya kalo aku memang nggak salah. Tapi aku mohon, izinkan aku menjenguk kalian ke sana. Aku nggak bisa jauh dari kalian," tutur Gracio sangat sedih. Ia memang sangat mencintai istri serta anaknya tersebut.

Namun, tiba-tiba panggilan tersebut mati begitu saja karena Violetta memutuskannya secara sepihak. Membuat Gracio diambang kecewa, sebab istrinya sendiri sudah tidak mempercayainya lagi. Dulu, di saat Gracio tak sengaja membuat kesalahan, istrinya pasti akan selalu ada untuk dirinya. Tapi sekarang justru kebalikannya.

Semuanya berawal dari tuduhan palsu yang dilakukan oleh Ribet terhadap dirinya yang mengakibatkan namanya tercemar. Padahal Gracio tidak ada sangkut pautnya dengan pengedaran narkoba yang terjadi di kota A. Memang, Gracio adalah mantan seorang Bandar narkoba, tapi itu dulu sebelum ia berkeluarga.

"Aku tidak akan pernah memaafkan kalian, Robert dan Xander. Jika sampai terjadi hal buruk dengan rumah tanggaku, maka bersiaplah untuk ku bantai kalian semua." Gumam Gracio meremas ponselnya sendiri sehingga buku tangannya membiru.

Di Kediaman Baron.

Kevin menangis histeris sambil terus menanyakan keberadaan sang papa. Ia memang tidak bisa jauh dari papanya. Maka dari itu ia menangis dan meminta pulang kepada mamanya. "Mama, ayo kita pulang. Aku mau ketemu sama papa," pinta anak kecil berusia lima tahun itu. Sedari tadi ia terus menangis tidak betah tinggal di rumah kakek dan neneknya.

"Hari sudah malam, Nak. Kita nginap di sini aja ya," ucap Violetta begitu lembut. Ia sangat. paham bagaimana perasaan Kevin sekarang. Namun, ia juga tidak mau menentang keputusan orang tuanya.

"Nggak mau, aku mau pulang," Kevin semakin kencang menangis sampai mengundang kehadiran sosok kakek dan neneknya yang dari tadi berada di dalam kamar.

"Ada apa, Vio. Kenapa Kevin nangis begitu," ucap Regi--Mamanya Violetta. Ia menghampiri sang cucu lalu menggendongnya.

Violetta tak berani menjawab. Ia yakin kalau mama dan papanya akan kembali murka jika ia mengatakan kalau Kevin ingin bertemu dengan Gracio.

"Aku mau pulang, Nek. Aku mau ketemu sama papa dan bermain dengannya," ujar Kevin berusaha melepaskan diri dari gendongan neneknya.

"Papa kamu nggak ada. Dia sudah mati. Jangan lagi mencarinya. Paham!" Tegas Baron--papanya Violetta, dengan sorot mata yang tajam. "Cepat, bawa Kevin masuk ke kamar, dan jangan membiarkan dia keluar dari rumah ini," imbuhnya penuh penekanan.

"Pa--"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status