Share

Pembalasan Sang Pewaris
Pembalasan Sang Pewaris
Penulis: Sweet Chips

Clara Menghilang

Kedai makanan dua lantai bercat putih di persimpangan jalan tampak sepi sore itu. Wanita cantik berusia dua puluh lima tahun sedang mengelap meja. Apron hitam yang ia kenakan terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersinar. 

"Aku akan belanja di tempat biasa, tolong periksa sup. Matikan kompor lima menit lagi," ujarnya sedikit lantang pada pria yang menyembulkan kepala dari arah dapur. 

"Siap, Princess ..." Pria tampan dengan tubuh proporsional itu mengangkat tangan, membentuk sikap hormat. 

"Vinn, stop it!" Bibir si wanita mengerucut sementara tangannya melepas apron. 

"Clara, aku cuma bercanda. Lagipula aku tak sepenuhnya salah. Kamu memang seorang putri." Vinn tertawa renyah seraya mendekat. Tangannya mengusap pucuk kepala wanita yang telah menemaninya selama hampir setahun terakhir. 

"Udah, aku belanja dulu. Jangan lupa pesanku tadi." Clara membalikkan badan seoalah tak peduli meski nyatanya ia tak bisa menahan senyum. 

Vinn menatap punggung kekasihnya yang menghilang saat berbelok. Ia menghela nafas dengan berat. Pemasukan kedainya seminggu ini sangat minim. Padahal ia harus menyisihkan sebagian penghasilan untuk menabung. Ia sangat ingin segera membuktikan pada keluarga Clara jika ia mampu membahagiakan putri mereka. 

Satu jam berlalu, Vinn kini sibuk melayani pelanggan yang memesan kwetiau dan dimsum untuk makan di tempat. Batinnya mulai tidak tenang karena sampai saat ini Clara belum juga kembali. 

"Satu mangkok lagi ..." pesan wanita yang duduk bersama pria yang cocok disebut ayahnya. 

"Baik." Vinn mengangguk. 

Kedai kosong, hanya tinggal piring dan mangkuk kotor di meja. Tangan pria muda itu menyambar baki, lap dan juga ponsel yang sedari tadi teronggok di sudut meja kasir. 

"Clara, kamu di mana," gumam Vinn. Rasa cemas mulai ia rasakan. Hampir setiap sore Clara berbelanja di tempat Paman Wen. Jaraknya hanya lima menit dengan berjalan kaki. Tapi ini sudah satu jam lebih. 

Nada panggil terdengar. Sekali, dua kali, masih tidak ada jawaban. Vinn yang semakin khawatir terus mencoba. Telepon ketiga juga nihil. Tepat saat mencoba panggilan ke empat, sebuah pesan masuk dalam benda pipih itu. 

[Jangan tunggu aku karena aku takkan kembali. Aku sudah bosan untuk hidup susah. Sekarang aku ingin kembali ke rumah orangtuaku. Selamat tinggal, Vinn.]

Alis pria itu terangkat setelah membaca pesan dari nomor kekasihnya. Perasaan kaget bercampur was-was, membaur menjadi satu. Hal yang ia khawatirkan terjadi namun Vinn merasa ada yang aneh. 

Clara memang berasal dari keluarga kaya. Perbedaan status membuat kedua orang tua Clara menentang keras hubungan mereka. Tetapi wanita cantik dan berhati lembut itu tetap berada di sisinya. Setidaknya hingga satu jam yang lalu. 

Vinn memasukkan ponsel di kantung celana dan meletakkan lap di meja begitu saja. Ia ingin mendatangi rumah besar Keluarga Watson guna mencari kepastian tentang Clara. 

Tapi sebelum ia sempat keluar dari kedai, sebuah mobil hitam mengkilat berhenti, tepat di depan pintu masuk. Vinn yang tahu siapa pengendara mobil mewah itu hanya menatap datar.

"Kenapa orang itu tak pernah lelah menggangguku. Ck." Pria muda itu mendecih kesal. Pengendara mobil itu memang selalu datang, nyaris setiap bulan. 

Pintu mobil terbuka, dan keluarlah pria dengan jas semi formal berwarna hitam. Wajahnya yang tampan berpadu dengan tatapan yang tajam. Ia mendekat dengan langkah tegak pada Vinn yang masih memandang jengah. 

"Selamat sore, Tuan," ucapnya sambil membungkuk. 

"Berhenti memanggilku 'Tuan'. Untuk apa kau ke sini? Jika tidak ada hal penting, pergi saja. Aku masih banyak urusan," respon Vinn dengan sinis. 

"Kondisi Tuan Richard sedang tidak baik. Beliau sangat ingin Tuan Vincent pulang ke mansion." Pria yang ternyata adalah ajudan kakeknya itu berkata dengan sopan. 

Tidak ada respon yang keluar dari bibir Vinn. Tuan Richard, adalah keluarga sekaligus orang yang merawatnya sejak ia masih kecil. Namun pria tua itu juga yang telah menyebabkan kedua orang tuanya tewas. Vinn mengetahui fakta itu sejak tiga tahun lalu, namun ia belum bisa memaafkan sang kakek. 

"Saya sangat mengharap Tuan Vincent mau mempertimbangkan untuk pulang kali ini. Dokter mengatakan penyakit jantung kakek Anda semakin parah."

Vinn masih diam. Ia mulai bimbang, sementara pikirannya juga tengah bercabang pada Clara. Sekian detik pria itu menatap sang ajudan yang berbadan tegak. 

"Baiklah, aku ikut denganmu. Tapi sebelum itu, aku ingin kau melalukan sesuatu."

"Tentu, Tuan. Apa yang harus saya lakukan?" Pria bernama Daniel itu mengangguk tanpa ragu. 

"Selidiki tentang Keluarga Watson, cari tau apakah Clara berada di sana. Lalu atur waktu dan tempat agar aku bisa mengadakan kesepakatan dengan Tuan Thomas secepatnya."

"Baik. Semua akan siap kurang dari dua puluh empat jam. Mari, Tuan ..." Daniel membuka pintu mobil, mempersilahkan tuan mudanya masuk. 

Vinn memandang lekat kedai yang ia bangun dengan keringatnya sendiri. Kini ia akan kembali pada tempatnya. Pria dengan suara bariton itu tak perlu lagi menutupi identitas aslinya sebagai Vincent Alfredo, pewaris Orion Group dengan aset mencapai ratusan milyar dollar. 

**

Satu jam kemudian. Vinn menghela nafas kasar setelah turun dari mobil. Kaos putih yang tadinya ia kenakan kini telah berganti menjadi kemeja denim yang pas membalut tubuhnya. Netranya menatap sekitar mansion, tempat yang ia tinggalkan tiga tahun lalu. Tidak ada yang berubah, selain pohon besar di sisi kanan bangunan yang kini terlihat lebih rimbun. 

"Selamat datang, Tuan Vincent." Lima security berusia tiga puluhan memberinya salam. 

Vinn hanya mengangguk dan melangkah ke pintu masuk diikuti Daniel di belakangnya. Pria itu memutuskan untuk melihat keadaan sang kakek mengingat kondisinya sedang tidak baik-baik saja. 

"Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?" Vinn membuka suara sembari berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. 

"Sudah, tapi ..."

"Ada apa?" Vinn sedikit menoleh saat Daniel justru menggantung kalimatnya. 

"Orang yang saya kirim untuk mengintai ke sana tak melihat Nona Clara sama sekali, tapi menurut sumber yang bisa dipercaya, Keluarga Watson sedang mempersiapkan pernikahan untuk putri mereka yang akan diselenggarakan minggu depan."

Rahang Vinn mengeras. Ia marah sekaligus terluka. Jadi ini alasan Clara menghilang tanpa alasan yang jelas. Namun kali ini ia takkan tinggal diam. 

"Pastikan kita memiliki semua saham Retrowats Group sebelum aku bertemu Tuan Watson besok pagi. Jika dia menolak, gunakan second opinion," ucap Vinn dengan tatapan dingin. 

"Baik, Tuan."

Daniel menelan saliva. Ia sangat hafal apa makna second opinion. Ia harus melakukan apapun yang untuk mewujudkan keinginan Vinn. Apapun. Deniel tahu sang Tuan Muda sedang marah tapi ia tak menyangka pria itu berencana akan menghancurkan perusahaan yang notabene adalah milik keluarga kekasihnya. 

Sampai di pintu kayu berwarna hitam dan tebal, Vinn memberi dua ketukan sebelum wanita berseragam perawat muncul dari dalam. 

"Bagaimana keadaan kakek?" Vinn bertanya seraya melangkahkan kaki ke dalam kamar bernuansa klasik. 

"Tuan Richard baru saja meminum obat dan hari ini kondisinya sudah lebih stabil," sahut perawat muda itu sambil menunduk.

Vinn berjalan mendekati ranjang berukuran king dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Daniel memberi isyarat agar si perawat keluar sejenak dari kamar luas itu.

Tangan Vinn terulur, ingin menyentuh punggung tangan sang kakek yang penuh keriput namun urung. Ketika ia menarik kembali tangannya, netra tua Richard Alfredo terbuka. Ia mengerjap dan langsung mengangkat alis ketika mendapati cucu kesayangan berada di depannya. 

"Vinn, kau kembali ..." Richard berusaha bangun dengan ekspresi sumringah. 

"Tenanglah, Kek." Vinn menahan agar sang kakek tetap dalam posisi berbaring. 

"Kemari, kemarilah cucuku. Dari mana saja kau selama ini?" Pria berusia delapan puluh tahun itu membuka kedua tangan agar Vinn mau memeluknya. 

Vinn menuruti meski pandangannya masih datar. Ia tak bisa menghilangkan kenyataan pahit dari masa lalunya namun juga tak kuasa menolak permintaan pria tua itu. 

"Kapan kau datang?" 

"Baru saja. Bagaimana keadaan Kakek?"

"Aku baik, dan makin baik setelah kau datang," kekeh Richard dengan suara serak. 

Tidak ada respon yang Vinn keluarkan. Kakeknya masih terlihat sama, hangat dan ceria. Ia bahkan nyaris tidak percaya pria yang tampak baik hati ini mampu mengirim putra dan menantunya sendiri menuju kematian.

Beberapa menit berlalu, Vinn sudah duduk di kursi terdekat sembari mendengar kakeknya berselorong senang. Daniel hanya berdiri dengan jarak tiga meter dari mereka. 

Brakk. 

Pintu terbuka dan seseorang pria dewasa masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia yang awalnya ingin mengatakan sesuatu pada Richard langsung diam begitu melihat keberadaan Vinn di sana. Vinn juga hanya diam menatapnya. Hening, namun untunglah keadaan tidak berlangsung lama. 

"Vinn? Kau kembali?" Pria itu mendekat dan memeluk Vinn tanpa permisi. 

"Iya, Paman." Vinn hanya menjawab pendek dengan senyum ala kadarnya. Reuni keluarga secara mendadak ini membuatnya tidak nyaman. 

"Entah kapan terakhir kita bertemu, tapi kau terlihat makin mirip dengan ayahmu," lanjut Tino sembari menepuk pundak Vinn. Tawa kecil juga mengiringi suara beratnya yang khas. 

"Syukurlah kau datang, jadi ada yang membantuku. Ehm, maksudku aku yang akan membantumu." Pria paruh baya itu meralat setelah Richard memberi tatapan tak mengenakkan. 

Tino adalah sepupu dari ayahnya. Sejak ia keluar dari rumah, pria itulah yang menggantikan posisi Vinn sebagai CEO. Meski tampak ramah, Vinn tak ada keinginan untuk berakrab ria dengan orang ini. Vinn tahu, ada hal besar yang Tino inginkan. 

Tak ingin mengganggu pertemuan keluarga di depannya, Daniel pun keluar. Ada hal penting yang harus ia lakukan sebelum matahari tenggelam. 

***

Bersambung. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status