Pintu keluar bagian belakang gudang masih dijaga oleh Gandhi dan Roma. Dua pria itu saling pandang ketika menyadari dua 'anak baru' ingin keluar lagi. "Mau ke mana lagi kalian ini?" tanya Roma. Daniel mendekatinya hanya untuk mengembalikan satu kotak rokok yang masih utuh. Ia juga membisikkan sesuatu. "Kerja yang giat."Roma menatap kotak rokok dan Daniel secara bergantian, bingung. Tapi Daniel tak ingin membuat Vinn menunggu. Ia segera mengimbangi langkah Vinn yang telah berjalan mendahului. Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar keributan. Roma dan Gandhi serempak menoleh. Tiga pekerja lain tengah berlari ke arah mereka. Salah satunya meneriakkan beberapa kata dengan suara lantang."Dua orang itu penyusup! Tangkap mereka!"Sementara Vinn dan Daniel telah memasuki rimbunnya pepohonan. Dua orang itu berlari. Mereka tahu saat ini para penjaga gudang itu sedang mengejar. Dor!Terdengar bunyi tembakan belasan meter di belakang mereka. Vinn mengeluarkan pistol dan Daniel melakukan h
Vinn dalam perjalanan ke kantor pusat kala pamannya, Tuan Bara menelepon dan memintanya untuk datang ke rumah sakit saat itu juga. "Kita ke rumah sakit sekarang," titahnya pada Daniel yang langsung mengangguk patuh. Si tuan muda duduk termenung di kursi belakang mobil, mengingat kejadian semalam. Ia dan Daniel hampir saja tertangkap oleh para pekerja Tuan Ray. Beruntungnya mereka berhasil lolos. "Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?" Vinn memberi pertanyaan berkaitan hasil temuannya dari salah satu guci di gudang milik Tuan Ray. "Sudah dan perkiraan Anda benar, Tuan. Itu adalah obat-obatan terlarang sejenis opium yang bahkan lebih murah dari heroin."Vinn telah banyak mendengar zat adiktif dari Rusia tersebut. Sebenarnya pembuatannya telah lama dihentikan. Efeknya lebih kuat dari morfin. Tak hanya itu, secara fisik, obat berbahaya tersebut bisa membuat bagian tubuh pemakai lepas dengan sendirinya. Tak ubahnya seperti zombie. "Efeknya begitu mengerikan. Saya juga curiga jika
Clara membuka mata dan merasakan tangan dan kakinya terikat. Mengerjap beberapa kali, ia baru menyadari jika saat ini ia telah berada di kamarnya. Kamar mewah yang lebih tepat disebut sebagai penjara. "Sudah bangun?" Martin bersuara dari sofa yang hanya berjarak tak lebih dari dari tiga meter di samping ranjang. "Martin, lepaskan aku!!" ujar Clara sambil meronta. Tapi ikatan scraft pada kedua tangannya terlalu kuat. "Melepaskanmu? Tidak, tidak. Kali ini aku tidak akan menjadi orang yang bisa kau bodohi. Pagi tadi saja kau hampir saja kabur." Si tuan muda Hazard bangkit dan menghampiri tepian ranjang. Clara menatap Martin dengan was-was. Pria itu tersenyum aneh, membuatnya merasa tidak aman. Semua tentang Martin membuatnya muak, baik sosok maupun auranya. Ditambah saat ini ia dalam keadaan terikat. "Kenapa aku diikat? Kamu mau apa sebenarnya?" tanya Clara. Pergelangan tangannya terus bergerak berharap ikatan bisa melonggar. Namun yang terjadi justru timbul lecet pada kulitnya. "S
Suasana ruangan bernuansa abu dan putih itu menjadi sedikit tegang. Kakek Richard masih menunggu kalimat selanjutnya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya Tuan Ray inginkan dengan menyebut cucunya sebagai penyusup. "Aku tahu cucu Anda adalah orang yang jujur, lurus, dan bisa diandalkan. Tapi bukan berarti dia tak mempunyai sisi buruk. Aku bisa menjamin Vincent dan satu orang lain bawahanmu melukai dua pekerjaku. Aku bisa saja membuat laporan atas tindakan kriminal.""Aku sangat mengenal Vinn. Dia takkan melakukan sesuatu yang tidak beralasan. Vinn, katakan apa tujuanmu datang ke gudang milik Tuan Ray?" Pria renta kembali beralih pada cucunya. Ia menatap Vinn dengan keyakinan. Vinn bungkam. Tentu saja ia tak mungkin jujur tentang penyelidikannya. Tapi ia bisa menangkap maksud mencurigakan dari cara Tuan Ray menatapnya. "Begini saja, ijinkan mereka mengambil kembali barangku dan kuanggap masalah ini selesai. Bagaimana?" Si kolektor dengan topi fedora tersenyum miring. "Cukup sebutka
Clara membuka netranya dengan berat. Cahaya dari lampu kamar sejenak membuatnya terpejam kembali. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya tapi ia merasa ada yang aneh. Tubuhnya terasa remuk, terutama dari bagian pinggang ke bawah. Semula ia tak mengingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Hingga saat ia menoleh ke arah samping, wajahnya langsung berhadapan dengan wajah milik seorang pria.'Martin? Kenapa dia di sini?!' batin Clara. Jantungnya mulai berdegup kencang. Ia hendak bangun. Namun ternyata satu tangan pria itu tengah memeluk perutnya. Tak hanya itu, saat menyingkap selimut Clara baru menyadari jika mereka sama-sama tidak berpakaian. Barulah ingatan Clara tentang peristiwa itu kembali sepenuhnya. Dalam suasana senyap di kamar luas, ia menggigit bibirnya kuat agar air matanya tidak keluar. Perlahan tangannya memindah tangan Martin agar tidak terbangun. Setelah berhasil, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Hal pertama yang Clara lakukan adalah melihat pantulannya pada cer
Dengan langkah gontai, Vinn menjejaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Semangatnya yang nyaris penuh kini memudar usai sang kakek mengakhiri percakapan mereka malam itu. Beberapa saat yang lalu, Vinn mengira ia akan menemukan jawaban. Namun nyatanya kakek beserta pamannya justru kembali bermain teka-teki. Kali ini ditambah satu petuah yang sekilas terasa janggal. "Kau dan Martin adalah keluarga. Aku tidak akan melarangmu tetap berinteraksi. Tapi lebih baik kalian tidak perlu membahas tentang masa lalu. Biarkan masa lalu tetap tersimpan. Masalah ini tentang aku dan Ronald."Itu adalah kata-kata Tuan Richard Alfredo sebelum menutup percakapan. Ketika Vinn memandang pamannya untuk menemukan jawaban yang lebih memuaskan, pria itu justru bangkit seraya menelepon seseorang. Vinn sudah hampir sampai di tujuannya, ruang kerja sang kakek. Tapi mendadak, netranya menangkap sebuah foto keluarga yang terpajang dengan bingkai emas. Foto pernikahan kedua orang tuanya. Ibunya yang jel
Dua hari kemudian, semua berjalan secara normal. Vinn datang ke kantor pusat Orion Group seperti biasanya pagi itu. Ia berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai lima. Tempat ruangannya berada. Staff yang berpapasan dengannya menunduk hormat. Hingga Vinn hampir mendekati meja Olivia, wanita berwajah ayu dengan bibir mungil yang tak lain adalah sekretarisnya. "Selamat pagi, Pak," sapa Olivia setelah bangkit dari kursinya. "Pagi. Bawa laporan yang kemarin saya minta dan siapkan berkas untuk meeting pukul sepuluh nanti," ucap Vinn tanpa ekspresi. "Baik. Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," tambah wanita dengan blouse putih tulang itu. "Siapa?" Vinn sedikit menoleh."Pak Torro. Beliau mengaku sebagai teman dari mendiang Pak Darren.""Teman ayah?" Pertanyaan itu terdengar lirih, seakan Vinn bertanya pada dirinya sendiri. "Sekarang beliau masih menunggu di sofa lobby, Pak. Apa Anda mau menemuinya?"Vinn menimbang sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat. Pri
Pukul sebelas malam, di sebuah club dengan nuansa retro pusat kota. Paman Tino masuk dengan gaya santai dan langsung duduk di kursi depan meja bartender yang kebetulan kosong. Suasana club elite itu tidak terlalu ramai. Paman Tino melihat sekitar lalu menyebutkan minuman yang bisa menaikkan mood-nya malam ini. "Buatkan aku satu tequila," ujarnya pada bartender yang lalu mengangguk dengan raut cenderung acuh. Sekali lagi, Tino mengamati sekitar seakan memastikan jika tidak ada satu orang pun yang mengikuti maupun mengatasinya. Sejenak kemudian, ia mendekatkan posisi. Sebelum membisikkan satu pertanyaan. "Apa dia sudah datang?"Si bartender dengan rambut cepak menatapnya selama dua detik dan balik bertanya. "Anda sudah membuat janji dengannya?""Itu rules untuk orang lain. Kami cukup dekat. Katakan saja jika Tino mencarinya." Pria itu berucap dengan santai. Tangannya memainkan tepian gelas bening berisi minuman dingin buatan si bartender. "Silahkan Tuan tunggu sebentar." Pria muda