Nyonya Amber meminum teh hijaunya dengan tenang di teras belakang mansion milik sang ayah, salah satu spot favoritnya di bangunan besar ini. Sudah lama rasanya sejak ia terakhir datang. Malam ini pun ayahnya alias Tuan Ronald Hazard tidak berada di tempat.
Dan sejujurnya ia tak terlalu ambil pusing karena tujuannya datang adalah untuk menemui si calon menantu. Wanita bernama Clara yang kemarin sempat Martin singgung di acara makan malam.Langkah lebih dari satu orang terdengar di lantai marmer. Clara dan Martin mendekati kursi Nyonya Amber untuk memberi salam. Seorang palayan juga mengekor di belakang mereka, membawa nampan berisi tiga potong roll velvet cake."Ma, ini Clara," ujar Martin. Seakan sudah terlatih, Clara memberikan senyum manis walau netranya masih sedikit sembap.Nyonya Amber memperhatikan wanita cantik itu sambil sesekali mengangguk kecil. Ia tahu selera Martin selalu bagus, tak pernah mengecewakan. Tapi baru sekarang sang putraDi sudut lain, Vincent juga tengah memperhatikan gerak-gerik wanita bernama Clara. Ia merasa aneh ketika melihat Martin memberikan sepotong strawberry cheesecake pada tunangannya itu. Clara sempat menggeleng. Namun Martin justru memotong cake dan hendak menyuapinya. Ingin hati, Vinn mengambil alih piring kecil itu. Ia sangat ingat, Clara tidak bisa memakan produk strawberry dan turunannya. Jika memaksa, wanita itu akan mengalami shock anafilaksis. Vinn mengawasi sekitar, mencari cara untuk mencegah Clara memakan cake itu tanpa harus menggunakan turun tangan sendiri. Beberapa detik kemudian, ia memanggil salah satu pelayan pria yang bertugas menawarkan minuman pada para tamu. "Aku punya tugas untukmu," ujar Vinn lalu membisikkan sesuatu. "Saya mengerti, Tuan." Si pelayan mengangguk usai menerima belasan lembar uang merah dari Vinn. Tak lama berselang, perhatian Vinn kembali terfokus pada Martin dan Clara. Pelayan pria dengan seragam coklat dan hitam itu mendekat, sesuai dengan per
Seperti biasa, Daniel yang siang itu menyetir di perjalanan menuju kantor. Meski tugasnya rangkap sebagai asisten dan supir, rasanya belum sebanding dengan gaji yang Vinn berikan.Upah setahun dari tuan muda itu telah cukup untuk membeli mobil sport mewah impiannya. Vinn yang terkenal dingin dan tegas, nyatanya adalah bos yang pandai mengapresiasi pekerjanya. "Tuan ingin mampir ke suatu tempat?""Tidak. Langsung ke kantor saja," ujar pria muda dengan suit hitam itu. Hening kembali selama beberapa menit. Tak lama kemudian, Vinn teringat akan kedatangan Paman Tino ke mansion tadi usai makan siang. "Daniel, apa ada yang terjadi dengan proyek Paman Tino di kota M?" tanyanya pada si asisten. "Saya sempat mendengar kabar kurang baik tentang proyek itu. Terdapat trouble hingga menyebabkan belasan pekerja meninggal. Keluarga korban meminta ganti rugi yang tidak sedikit, jika tidak dipenuhi mereka mengancam akan membawa masalah ini ke meja hijau.""Trouble? Seingatku proyek pembangunan itu
Malam belum terlalu larut. Usai menyelesaikan makan malam, Vinn keluar dari mansion. Untunglah Kakek Richard langsung masuk ke ruang baca, jadi Vinn tidak perlu repot mendapat berondong pertanyaan. Daniel sudah siap di samping mobil. Ia membuka pintu untuk Vinn yang kali ini ingin duduk di sampingnya. Tak lama kemudian mobil telah melaju melalui rute yang tidak seperti biasanya. Di belakang mobilnya, juga ada satu mobil lain berisi empat bawahan Daniel. "Ada informasi terbaru tentang Pak Didi?" Vinn bertanya tentang orang yang ingin ia datangi sekarang. "Menurut kabar, dia tinggal sendiri di sebuah flat kecil," jawab Daniel. "Saat masih bekerja untuk ayah, aku yakin dia punya istri dan satu anak. Di mana mereka?""Kami masih mencarinya, Tuan. Dan kondisi Pak Didi tidak dalam keadaan baik." Daniel fokus pada jalanan menuju luar kota. "Apa maksudmu?" "Lebih baik Tuan melihatnya sendiri. Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi dengannya."Satu jam dua puluh menit kemudian, mereka sa
Esoknya, setelah memimpin rapat di kantor, Vinn kembali ke ruangannya. Ia ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan aktifitasnya. Tak lama kemudian, seseorang masuk. Sekretaris membawakan teh panas yang ia pesan beberapa menit lalu. Wanita dengan blouse mocca itu meletakkan teh di atas meja. "Bapak butuh sesuatu yang lain?" tanya wanita bernama Lauren itu. "Segera berikan rekap laporan hasil meeting tadi. Saya tunggu dalam tiga puluh menit," ujar Vinn. "Baik, Pak."Vinn menyesap sedikit tehnya lalu beralih pada ponsel. Benda pipih seharga dua puluh juta rupiah itu bergetar lebih dari sekali. Ada empat pesan masuk dari Daniel. Satu teks dan tiga lainnya berupa foto.[Saya telah memeriksa sketsa-sketsa dari flat Pak Didi. Sketsa itu mirip dengan logo perusahaan pengiriman milik Tuan Ray]Jemari Vinn berpindah pada foto-foto. Jika diperhatikan sketsa itu memang mirip dengan logo. Berbentuk diamond dan pada bagian atasnya terdapat spiral.'Tuan Ray?' Vinn masih ingat betul pria t
Beberapa saat sebelumnya.Salah seorang pelayan membuka pintu kamar Clara. Kebetulan sore itu si penghuni kamar baru selesai mengganti pakaian usai berendam di bath up mewah yang bisa diisi dua orang sekaligus. "Nona, ini jus pome dan pastry cake. Makan malam akan saya antar dua jam dari sekarang," ujar pelayan muda yang tak pernah Clara lihat sebelumnya."Iya, letakkan saja di meja. Kau pelayan baru?" tanya Clara sambil menepuk-nepuk pipinya usai menuangkan toner pada telapak tangan. Meski statusnya sebagai tawanan, Martin menyediakan semua perawatan yang ia butuhkan. "Benar, Nona." Si pelayan tersenyum ramah dan ceria. "Siapa namamu?" Clara mendekat. "Rianna April. Nona bisa memanggil saya Anna.""Nama yang bagus," puji Clara. Setelah lebih dari sebulan tinggal di bangunan besar ini, ia baru menemui pelayan berwajah ramah. "Terima kasih, itu adalah pemberian dari nenek. Apa Nona ingin saya bantu merapikan rambut?" tawar Anna yang kala itu menggunakan apron hitam. "Memangnya
Vinn turun dari mobil dan mengedarkan pandangan pada sekitar. Angin malam berhembus, menerpa kulitnya yang putih pucat. Beberapa saat yang lalu ia dan Daniel memasuki area gudang MXC Express. Dari tempatnya berdiri, hanya terlihat pepohonan rimbun. Menurut Vinn, Tuan Ray memilih lokasi yang cukup aneh untuk sebuah gudang. Atap gudang tampak menyembul di antara pucuk-pucuk pohon.Dari satu arah, Daniel muncul dengan jaket dan topi biru, persis dengan yang Vinn pakai. Dua pria itu sedang memakai seragam pekerja di gudang milik Tuan Ray. "Karyawan yang menjaga saat malam ternyata cukup banyak. Di luar gudang saya melihat ada lebih dari sepuluh orang dan sebagian dari mereka membawa senjata," ujar Daniel memberi informasi. "Apa masih jauh?" Vinn bertanya usai menyimpan pistol pada bagian dalam jaket. Senjata itu sengaja dibawa untuk perlindungan diri. "Tujuh ratus meter dari sini, Tuan.""Baiklah, kita jalan kaki saja melewati pepohonan."Mobil hitam itu mereka tinggakan di tepi jalan
Dengan bantuan Anna, Clara berhasil kembali ke kamarnya tanpa membuat Martin maupun Tuan Ronald curiga. Mereka keluar dari ruang tengah setelah perbincangan antara tiga generasi itu selesai. "Nona? Kenapa Anda menangis?" tanya Anna saat mereka telah sampai di kamar Clara. Clara mengusap bulir bening yang telah berlinang di pipi. Ia bahkan tidak sadar jika sedang menangis. Hatinya memang sedih, tapi rasa khawatirnya jauh lebih besar. Ia tahu pasti nyawa Vinn sedang terancam. "Aku baik-baik saja," jawab wanita dengan dress maroon tersebut. "Nona? Apakah tadi yang Tuan Ronald katakan benar? Kenapa tadi itu seperti percakapan dalam film?"Sama seperti Clara, Anna juga mendengar isi dari pertemuan itu dengan jelas. Tapi saat ini Clara tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia terduduk di sofa, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Saya akan mengantar makan malam sesaat lagi. Permisi, Nona."Clara hanya mengangguk kecil dan membiarkan pelayan itu pergi. Baru saja ia bangkit dan hendak berpi
Pintu keluar bagian belakang gudang masih dijaga oleh Gandhi dan Roma. Dua pria itu saling pandang ketika menyadari dua 'anak baru' ingin keluar lagi. "Mau ke mana lagi kalian ini?" tanya Roma. Daniel mendekatinya hanya untuk mengembalikan satu kotak rokok yang masih utuh. Ia juga membisikkan sesuatu. "Kerja yang giat."Roma menatap kotak rokok dan Daniel secara bergantian, bingung. Tapi Daniel tak ingin membuat Vinn menunggu. Ia segera mengimbangi langkah Vinn yang telah berjalan mendahului. Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar keributan. Roma dan Gandhi serempak menoleh. Tiga pekerja lain tengah berlari ke arah mereka. Salah satunya meneriakkan beberapa kata dengan suara lantang."Dua orang itu penyusup! Tangkap mereka!"Sementara Vinn dan Daniel telah memasuki rimbunnya pepohonan. Dua orang itu berlari. Mereka tahu saat ini para penjaga gudang itu sedang mengejar. Dor!Terdengar bunyi tembakan belasan meter di belakang mereka. Vinn mengeluarkan pistol dan Daniel melakukan h