"Udah ngocehnya? udah kaya emak-emak yang lagi marahin anaknya, nyerocos cepet kaya kereta cepat." William jengah dengan tingkah Hendery yang mengomeli dan menasehatinya sejak tadi seraya mengobatinya dengan telaten.
"Udah diem! masih mending mau aku obatin, ngapapin aja sih sampe kaya gini," ucap Hendery yang fokus mengobati luka di wajah William. Hendery sudah seperti sang Ibu yang selalu mengomelinya jika anaknya terluka, membuat William terkadang jengkel dengan sahabatnya tersebut karena terlalu berlebihan menurutnya dan ingin melakukan sesuatu kepada sahabatnya itu agar tidak terlalu cerewet. "Udah tua juga, masih banyak tingkah aku lihat." Hendery tetap mengomeli setelah selesai mengobati luka di wajah William semampunya. Dia sudah terbiasa mengobati William sejak bangku Sekolah Menengah Atas, karena dimasa itu William tidak jarang mendapatkan tindakan bullying dari kakak kelasnya. William bukan tidak berani melawan kakak kelasnya, namun suatu kejadian dia melaporkan kakak kelas yang membullynya. Bukan keadilan yang dia dapat, justru dirinya mendapat olokan dari teman sekelasnya bahkan oleh gurunya sendiri, sehingga dia malas untuk melapor. Melaporkannya kepada sang Ayah pun nyatanya sama saja, malah memperingatkan dirinya agar jangan membuat masalah di Sekolah agar tidak mencoreng nama baik sang Ayah. Setelah selesai William bergegas ke kamarnya untuk istirahat, sedangkan Hendery melanjutkan aktivitasnya sendiri yang sempat tertunda. Esok harinya, William fokus dengan laptop dihadapannya. dia sedang mencari tahu lebih dalam tentang orang di dalam foto yang tempo hari seseorang kirim padanya, meski kesulitan karena kini dia sudah tidak bisa leluasa untuk mengakses data perusahaannya. William mulai mencari tahu dari beberapa artikel yang ada di internet tentang orang itu, apa dia pernah hadir di acara perusahaannya atau perusahaan sang Ayah. Dan mungkin saja siapa tahu dia pernah hadir di acara keluarga tanpa William sadari sebelumnya, setelah belum lama ini dia melihat ada satu foto yang mana orang tersebut sedang bersama dengan Rian namun dia tidak mengetahui lokasi tersebut ada dimana. William memandang lekat pada laptopnya tanpa berkedip, hingga Hendery datang mengalihkan fokusnya sejenak karena datang dengan sedikit berisik. "Fokus amat, bukannya fokus pulihin dulu itu badan," ucap Hendery menghampiri dengan menggerek koper berukuran kecil dengan sebelah tangannya, sedangkan sebelah tangannya lagi fokus dengan ponselnya. "Mana bisa kaya gitu, di Lapas udah biasa kaya gini jadi udah biasa. santai aja urusin aja kerjaan sendiri," sahut William yang masih memfokuskan pandangan pada laptopnya. "Yaudah terserah, untuk beberapa hari ini nggak akan ada disini. Ada urusan kerjaan diluar kota, jadi untuk sementara waktu kalau ada apa-apa lewat video call." Hendery memberitahu sahabatnya dengan pandangan masih terfokus dengan ponsel miliknya. "Siap." William mengacungkan jari jempolnya ke udara. "Untuk sementara juga jangan lakukan hal yang aneh-aneh, repot urusannya nggak bisa handle dari jarak jauh." Hendery memberi peringatan kepada sahabatnya itu. William mendelik tajam kearah sahabatnya tersebut."Dih dikira bocah ingusan apa, mau lakuin hal aneh gimana orang badan babak belur begini." William kini menatap malas ke arah Hendery yang sudah bersiap hendak pergi, memang kondisinya saat ini belum pulih, mengingat kemarin dihajar oleh sang Ayah dengan stik golf, dan beberapa kali mendapatkan pukulan karena aksi saling hajar dengan sang adik tiri di depan rumah saat dirinya hendak pergi namun Rian malah menghadangnya. "Makanya untuk sementara waktu diam dulu di rumah jangan keluyuran, nanti kita cari tahu lagi tentang Rian dan antek-anteknya sambil nunggu laporan lebih lanjut dari pengacara dan dari pihak yang berwajib." Setelah Hendery pergi, William kembali fokus dengan kegiatannya yang sempat tertunda. "Oh jadi dia salah satu rekan bisnis Ayah dan menjadi salah satu investor di anak perusahaan Ayah yang dikelola oleh anak itu," gumam William tersenyum tipis, saat menemukan salah satu artikel yang dia cari selama berjam-jam lamanya. William menarik nafas dalam-dalam sebelum senyum dipaksakan, tatapannya tajam seperti belati tak bersarung. Ia tidak bisa menyembunyikan amarahnya, genggaman di salah satu tangannya mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. William berjalan dengan cepat dengan langkah berat menuju lemari es untuk mengambil minuman dingin, saat ini dia butuh sesuatu yang dingin untuk menetralkan suasana hati yang sedang terbawa emosi. "Bisa-bisanya dia juga datang di acara keluarga, apa dia salah satu rekan kerja Ayah atau teman dekatnya iya?" tanya William pada dirinya sendiri berjalan kembali menuju meja dan duduk kembali fokus dengan laptopnya. "Aku masih butuh info lebih dalam lagi tentang orang itu, apa dia merupakan kaki tangan anak itu dan terlibat dengan investasi bodong itu atau tidak." tatapan berkabut oleh pikiran yang jauh, seraya menjepit jemarinya satu tangan dengan tangan lain Kala pikirannya terfokus pada layar laptop, William tersentak membuat jantungnya berdetak tak karuan saat tiba-tiba terdengar suara dari ponselnya. Dia langsung meraih ponselnya dan mencari tahu siapa yang menghubunginya, namun saat dilihat yang menghubunginya nomor yang tidak dikenal. Dia sempat ragu untuk menjawab panggilan tersebut pada awalnya, namun karena rasa penasaran yang terus bergelayut di pikirannya dan sang penelepon juga terus menghubunginya, akhirnya dia pun menjawab panggilan tersebut. Siapakah orang yang menghubungi William? dan ada apa terjadi karena orang tersebut terus menghubunginya."Aku tidak begitu yakin soal ini," Saat berdiskusi dengan Mia, tiba-tiba terdengar dering ponsel William yang menandakan ada panggilan masuk. William melihat ternyata pengacara yang disediakan Hendery untuknya yang menghubungi."Iya ada apa?" tanya William to the point."Kamu ada dimana sekarang? aku datang ke apartemen tapi pihak disini mengatakan melihat kamu pergi keluar. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan," sahut Ferdi sang pengacara saat ini baru saja masuk ke dalam mobilnya.Mendengar hal tersebut William menarik tas dipangkuannya dan memindahkannya ke meja, lalu bangkit dari tempat duduk untuk sedikit menjauh dari Mia."Iya katakan ada apa?""Aku mendapatkan pemberitahuan dari pihak yang berwajib, bahwa laporan yang kita ajukan saat itu tidak bisa ditindaklanjuti. karena tidak cukup barang bukti yang menunjukkan atau mengarah kepada Rian sebagai tersangka dari apa yang kita tuntut dan laporkan,""Hah kok bisa? segitu banyak lampiran yang diserahkan masih kurang juga?" Wi
"Apa aku harus percaya dengan apa yang wanita ini katanya? dan ikut membantunya untuk mencaritahu lebih dalam tentang siapa Tedi Yan sebenarnya, dengan begitu dia juga bisa membantuku mencari tahu apa anak itu benar-benar bekerja sama dengan Tedi Yan yang menghancurkan perusahaanku dan membuatku masuk penjara selama ini."William termenung sejenak, memikirkan apakah dia harus percaya dan bekerja sama dengan Mia atau tidak. satu sisi dia harus berhati-hati yang selalu mengingat ucapan Hendery bahwa harus berhati-hati siapa tahu ada orang yang akan mengecohnya agar fokus teralihkan kepada hal yang lain, dan hal tersebut bisa saja dimanfaatkan Rian maupun orang lain yang terlibat dengannya mencoba menghilangkan barang bukti yang saat ini sedang dia cari.Meski sudah tujuh tahun berlalu, tapi dia yakin bahwa barang bukti apa yang telah mereka lakukan masih ada yang tersimpan disuatu tempat. "Apa yang semua aku katakan dan semua yang ada dihadapanmu tidak membuatmu percaya kepadaku?" tany
William hendak menjawab panggilan tersebut, namun sepersekian detik kemudian panggilan itu terputus. selang beberapa saat tiba-tiba ada pesan masuk, William pun langsung membuka pesan itu dan mulai membaca isi pesan itu dengan seksama. "Apa ini dengan William Argantara? ada yang ingin saya bicarakan. saya orang yang sebelumnya mengirim foto kepada anda beberapa hari yang lalu," "Jika berkenan datanglah ke alamat ini," Pesan selanjutnya orang tersebut mengirim alamat tempat mereka akan bertemu. "Apa benar dia orang yang mengirim foto sebelumnya?" gumam William saat membaca pesan tersebut. "Apa aku harus pergi ke alamat itu sekarang? siapa tahu dia tahu orang di foto itu siapa dan memiliki bukti untuk bisa lebih menjerat anak itu," jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pada ponsel beberapa kali, berfikir sejenak. William berpikir sejenak sebelum membalas pesan tersebut, setelah memantapkan diri dia me
"Udah ngocehnya? udah kaya emak-emak yang lagi marahin anaknya, nyerocos cepet kaya kereta cepat." William jengah dengan tingkah Hendery yang mengomeli dan menasehatinya sejak tadi seraya mengobatinya dengan telaten. "Udah diem! masih mending mau aku obatin, ngapapin aja sih sampe kaya gini," ucap Hendery yang fokus mengobati luka di wajah William. Hendery sudah seperti sang Ibu yang selalu mengomelinya jika anaknya terluka, membuat William terkadang jengkel dengan sahabatnya tersebut karena terlalu berlebihan menurutnya dan ingin melakukan sesuatu kepada sahabatnya itu agar tidak terlalu cerewet. "Udah tua juga, masih banyak tingkah aku lihat." Hendery tetap mengomeli setelah selesai mengobati luka di wajah William semampunya. Dia sudah terbiasa mengobati William sejak bangku Sekolah Menengah Atas, karena dimasa itu William tidak jarang mendapatkan tindakan bullying dari kakak kelasnya. William bukan tidak b
BAB 6 AMARAH YANG SELAMA INI DIPENDAMRian yang melihat William ditampar oleh Ayah kandungnya sendiri cukup puas, dia tidak perlu melakukannya dengan tangannya sendiri.Hanya dengan bicara dan memutarbalikkan fakta kepada Candra, dia tidak perlu turun langsung untuk memberikan pelajaran kepada William untuk sekarang ini.“Dasar anak kurang dan tidak tahu terima kasih.”“Berterima kasih untuk apa? Semenjak Ibu meninggal aku hanya sendirian. Sedangkan Ayah sibuk dengan keluarga baru,” William terkekeh seraya memegangi pipinya.Chandra yang semakin tersulut emosi bergegas menuju tas di sudut ruangan yang berisi stik golf.“Coba katakan sekali lagi!”Chandra sudah bersiap dengan Stik golf di tangannya“Apa? Ayah akan memukulku? apa yang aku katakan bukannya benar dan bukankah Ayah sendiri yang memutuskan hubungan antara Ayah dan Anak?” tanya William dengan pandangan tajam menusuk serta tersenyum miring.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan Kak Liam? Apa aku punya salah kepadamu? Aku akan lak
BAB 5 RINDU YANG MENDALAMWilliam mendatangi tempat yang menjual berbagai jenis bunga sebelum pergi ke makam sang Ibu, dia langsung memesan bunga Lili dengan berbagai warna. bunga yang disukai sang Ibu selama hidupnya, bahkan sang Ibu bercerita jika dia hamil lagi dan melahirkan anak perempuan, dia akan menamainya Lili saking kecintaannya kepada bunga tersebut.Selesai melakukan pembayaran, William melanjutkan perjalanannya menuju makam sang Ibu untuk yang pertama kali setelah tujuh tahun berlalu. William meletakkan bunga yang dia beli di salah satu batu nisan yang bernama Aletha Wijaya."Bu...Liam datang, maaf baru datang lagi setelah sekian lama." William mengusap nisan sang Ibu perlahan memandang lekat-lekat tanpa berkedip, tanpa disadari kini kedua matanya mulai berembun.Dadanya terasa sesak, Ia menggigit bibir bawah pelan seolah menahan tangis."Bagaimana kabar Ibu, semoga selalu damai disana. Liam baik-baik saja saat ini jadi Ibu tidak perlu khawatir," ucap Liam suaranya serak