Seketika itu juga, Angel mengingatnya. "William, iya. Aku pernah melihat mata itu di taman. Dia William, mengapa ia kabur bertemu aku. Tunggu, Will tak suka naik mobil. Lelaki itu tidak bisa mengendarainya. Lalu dia siapa?" ucapnya dalam hati. Angel bingung tak mengerti.Angel memerintahkan supir pribadinya untuk kembali ke rumah. Di halaman rumah mertua Tiara. Will baru saja datang dengan sepeda motornya. Wajahnya panik dan matanya berair."Tiara! Apa benar mama telah tiada? Tiara katakan bahwa ini bohong." Will terus bertanya tanpa jeda. Suaranya bergetar menahan kesedihan. Angel menatap wajah lelaki itu sembab.Will membuka kacamatanya ia mengusap dengan sapu tangan miliknya. Angel terperangah, bentuk mata Will dengan lelaki yang berada di taman dan mengantarnya pulang berbeda.Mata Will agak cekung karena ia selalu mengunakan kacamata sedangkan lelaki itu tatapannya tajam."Ternyata, dia bukan Will. Siapa lelaki itu? Wajahnya mirip Will namun, sorot
Angel mengutus anak buahnya untuk mengecek Bean di gedung Kerinci. Gedung lama yang tak terpakai akibat kebakaran. Angel mengutus lima orang anak buahnya. Hanya ingin mengecek keberadaan lelaki itu. Mereka akan mengawasi gerak-gerik Bean."Awasi dia dan rekam aksinya. Kita butuh bukti untuk menghukumnya," perintah Angel.Lima orang anak buah Angel telah siap. Mereka turun dari mobil dan bersembunyi di balik tembok."Kamu sebelah kiri bersama dia, aku kanan sama kamu dan kamu tunggu di sini. Pasang alat penyadap kalian," perintah salah satu dari mereka. Mereka memasang alat yang mereka bawa dan menempelkan di telinga untuk komunikasi tak lupa pelindung anti peluru.Gedung gelap gulita tak ada penerangan yang menerangi. Dengan langkah mengendap-endap mencari keberadaan Bean, pria misterius. Lelaki yang diduga pembunuh Tiara, kembaran Angel. "Pasang kacamata ultraviolet kalian!" ucap salah seorang di alat komunikasi. Mereka memakai kacamata agar dapat melihat dalam kegelapan. Bayangan
Angel mendapat kabar dari rumah sakit. Mimi diperbolehkan pulang. Di rumah yang besar ini, Angel masih bertahan untuk mendapatkan bukti. Begitu juga bukti kebiadaban Ros, ia masih satu atap dengannya.Angel tak berubah sedikitpun, ia tetap berkomunikasi dengan Ros. Walaupun, hatinya benci dan kecewa."Hai, Tiara. Sedang apa kamu di dapur?" Ros menyapa Angel. Ia hendak membuat kopi."Hai, Ros. Aku sedang membuat cappuccino. Kamu mau?" tawar Angel. Ia mengaduk pelan."Sejak kapan kamu suka cappuccino, Tiara."Ros memicingkan matanya. Ia tahu kalau Tiara tak suka kopi."Sejak hari ini." Angel tersenyum kepadanya lalu meminumnya perlahan. Pikirannya kembali jernih."Oo, aku kira ....""Aku hanya ingin mencicipinya. Ternyata enak dan harum." Angel membaca raut wajah Ros."Kalau kamu mau, akan aku buatkan.""Tidak terima kasih. Aku masuk dulu." Ros menaiki tangga. Angel melihat noda darah di punggung wanita itu."Sepertinya, ia gagal mencari mangsa. Rasakan kalian," ucapnya dalam hati. Ange
"Papa, ingin bertemu dengan siapa? Mengapa bawa bunga?" tanya Angel memicingkan mata."Papa ... bukan urusanmu! Sudahlah, Papa telat." Papa mertua melewati Angel menuju lift. "Papa tunggu, Mimi Hilang!" Angel berharap Ronald membantu untuk menemukan teman dekatnya. "Hilang? Bagus kalau ia hilang. Papa gak perlu repot mengaji dan membiayai pengobatannya." "Astaga Papa! Mengapa berbicara begitu?""Uang papa habis membayar semua biaya rumah sakit pembantu itu dan juga biaya lainnya." "Dia bekerja dengan kita tentu saja kita yang bayar. Lebih baik aku lapor polisi." "Untuk apa kamu lapor polisi hanya buang waktu saja." Mengibaskan tangan ke udara. Ronald meninggalkan Angel tanpa memedulikan kekhawatirannya. Gadis itu mendengkus kesal menatap lelaki tua berkemeja putih."Mau ke mana dia bawa bunga segala. Dasar lelaki tua!" Tangan lentik Angel menekan nomor ponsel milik salah satu polisi. Melaporkan hilangnya Mimi di rumah sakit. Beberapa menit kemudian, petugas keamanan negara dat
Flash Back Ronald dan Silvia"Papa, aku butuh pelayan lagi untuk membantuku. Mereka telah pergi lagi." Rengek Rebeca kepada suaminya. "Oh, jadi kamu membuat mereka pergi lagi?" Ronald memutar bola mata malas. Entah sudah berapa puluh kali wanita itu melakukan hal tersebut. "Kenapa aku yang disalahkan?" "Kamu yang selalu memaki mereka. Sudah pasti mereka tak betah di rumah. Seharusnya kamu sadar diri!" "Mereka itu pembantu. Sudah pasti harus mengikuti keinginanku sebagai majikan. Kenapa kamu membela mereka?" Memukul dada bidang suaminya. "Bukan membela kenyataannya seperti itu. Sudahlah! Aku lelah dan capai. Mandi dan ganti pakaianmu. Layanin aku dengan benar." Rebecca berdecis kesal. Membersihkan tubuhnya, menutup tubuhnya dengan lingerie merah memoles wajahnya dengan makeup tak lupa parfum kesukaan sang suami. Ronald menatap tubuh istrinya yang semakin membesar. Bagian lemak berada di mana-mana. Hasratnya menghilang begitu saja. "Kemarilah! Mainkan peranmu." Ronald terbaring
Flashback Ronald (2)Jantung Rebeca berpacu dengan cepat. Aliran darah memanas. Melihat pemandangan memilukan hati. Pemandangan yang membuat dirinya tersingkir. Kakinya tak bisa menahan bobot badannya. Berkali-kali meremas knop pintu. Napasnya wanita itu memburu tak beraturan. Rebeca tak percaya dengan semua yang terjadi. "Apa yang mereka lakukan?" geramnya dalam hati. Pemandangan yang menusuk hati."Papa!" Membuka pintu kasar. Benturan antara pintu dan dinding mengema di kamar.Mata Ronald terbelalak, menatap sang istri berdiri di depan pintu. "Rebeca!" Ronald berada di atas tubuh Silvia beranjak mengambil pakaian yang tergeletak di atas keramik putih. "Dasar penghianat!" Rebeca melayangkan tangannya ke udara dan mendarat di pipi Silvia. "Hentikan, Rebeca!" Ronald kecolongan ketika mengenakan celana. Ronald menarik bahu istrinya dan membalas tamparan wanita itu dengan keras. Tubuh Rebeca terhuyung ke belakang. Bongkongnya terasa nyeri akibat benturan dengan lantai. "Papa!" "
Mimi terikat di kursi kayu, mulutnya tersumpal kain putih. Darah menetes dari denyut nadinya. Tubuhnya lemah tak berdaya.Perlahan matanya terbuka, memandang sekeliling ruangan. Wajah seorang wanita dengan memakai masker di bagian mulut dan hidung. Ia juga mengenakan topi. Wanita itu melepaskan kain yang menutupi mulut Mimi."Ka-kamu siapa? Mengapa aku berada di sini?" Mimi mengernyit heran. Ia sepertinya pernah melihatnya. Namun, wajahnya tertutup masker.Seorang lelaki menghampiri Mimi, ia tersenyum ramah. Mimi tak mengenali lelaki tersebut. Ia bukan tak mengenali akan tetapi lupa dengan wajahnya."Bagaimana keadaanmu, gadis manis?" tanya lelaki berkacamata. Tangannya terlipat di dada.Mimi diam tak menjawab pertanyaannya. Ia masih menatap lelaki itu dengan tanda tanya. Memicingkan mata dengan sinis. Penjahat mana yang masih menanyakan keadaan korban."Apa mau kalian? Salahku apa?" u
"Buka'lah masker dan topimu. Dia akan semakin bingung dan akan bertambah parah penyakit di kepala." ucap lelaki itu. Ia melepaskan topi di atas kepala wanita itu. Rambut berwarna pirang dengan panjang sepinggang memperlihatkan bahwa wanita itu cantik dan sempurna. Warna mata coklat dan alis mata hitam dan lebat tanpa harus memberikan pensil alis. Perlahan wanita itu membuka maskernya. Wajah cantik terlihat jelas. Mimi menghampiri wanita itu dan memeluk erat. "Aku kangen, kamu ke mana saja. Aku sendirian di rumah itu. Mengapa tak menghubungiku?" Mimi mencerca pertanyaan demi pertanyaan. "Kamu jahat! Menakuti aku dengan menculik.Lihatlah, sakit sekali ini." Mimi menunjukkan luka yang diplester. "Begitu saja takut. Mana Mimi yang pemberani," ledeknya. Ia menarik hidung Mimi kencang. Mimi meringis dan menyentuh hidungnya. "Sakit, jangan tarik hidungku!" pekiknya. Mimi melirik lelaki berkacamata apakah ia kenal dengan pria itu. "Siapa dia, apa itu pacar