Jam terus berlalu, tak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Dada ini bergemuruh dengan hebat, saat melihat pemandangan di depan mata.Bergegas kuparkir kendaraanku di bahu jalan, tak memungkinkan juga kubawa masuk ke halaman. Begitu banyak orang berkerumun di gerbang rumah. Ambulance terparkir dengan cantik di depan rumah dengan suara sirine yang berbunyi.Seketika dada bergemuruh dengan hebat. Pikiran terburuk menghantui pikiranku.Ibu ....Apa yang terjadi dengan Ibuku, Tuhan? Berikanlah aku kesempatan untuk membahagiakan Ibuku. Jangan biarkan aku hidup dihantui dengan rasa penuh penyesalan.Dengan tergopoh, bergegas aku keluar dari mobil. Dengan pikiran berkecamuk aku melangkah mendekat. Suara bisik-bisik terdengar. Saat tubuh ini terus melangkah hingga melewati kerumunan, kedua netraku menangkap tubuh ibu yang dibopong oleh orang-orang berpakaian medis.Langkahku terhenti. Tubuhku membeku. Dada bergemuruh dengan begitu hebatnya. Dengan pandangan nanar, kutatap mereka yang membo
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang begitu tak asing terbatuk-batuk. Lebih tepatnya pura-pura batuk. Bergegas kuurai pelukanku. Lalu menoleh ke arah sumber suara. Terlihat sosok lelaki itu berdiri tak jauh dari tempat kami."Sepertinya ada yang lagi ngomongin Bapak nih, Nak Rendra." Canda Bapak yang sedang berdiri di samping Rendra. Bergegas aku bangkit dari tempat duduk ku pun juga Ibu. Entah sejak kapan Kedua lelaki itu berdiri di sana."Loh, Nak Rendra ada disini?" tanya Ibu yang dibalas anggukan oleh Rendra."Ibu ini bagaimana sih, dari tadi ada kamu kok nggak denger. Untung tadi Bapak pulang dari kebun, kalau nggak ... mungkin Rendra sudah jamuran berada di di depan rumah. Tamu kok dibiarin di depan aja tanpa dibukakan pintu. Eh kalian malah sedang asyik di sini."Kan Ibu enggak dengar, Pak. Maaf ya Nak Rendra." Rendra mengangguk sembari bibir mengulas senyum."Tapi apa benar yang dikatakan oleh Bapak, kalau Nak Rendra sudah lama berada di depan?" tanya ibu yang memasang raut
"Dasar istri tak guna! Nyenengin mertua satu saja tak becus!"Plak!Tamparan keras dari seorang lelaki mendarat dengan sempurna di pipi sang istri. Hingga membuat tubuh perempuan itu terhuyung lalu terhempas ke lantai. Gadis kecil yang sedang bermain boneka kesayangannya, seketika melempar mainan itu ke sembarang arah. Langkah kakinya berlari ke pojok kamar lalu duduk meringkuk ketakutan. Tubuhnya gemetar. Ia ingin menangis, tapi gadis kecil itu merasa takut, jika sang ayah akan menghajarnya habis-habisan. "Kamu kenapa, Mas? Datang-datang kok marah-marah?!" tanya sang istri tanpa rasa takut. Ya, kekerasan yang di lakukan oleh suaminya itu menjadi makanan sehari-hari untuknya.Lelaki yang saat ini sedang dikuasai amarah, berjalan pelan mendekati sang istri dengan tatapan penuh murka. Namun yang di tatap masih terlihat tenang. Perempuan itu tak tahu, apa yang membuat suaminya begitu murka. Tapi ia yakin, kalau dirinya tak bersalah."Kau masih bertanya apa kesalahanmu?!" Dengan tatapan
POV Ragil.***Dua minggu sudah Mas Rohim pergi dari rumah ini. Kukira ia hanya main-main saja dan tak lama kemudian ia akan kembali. Namun dugaanku salah. Sampai detik ini Mas Rohim tak kunjung pulang.Rasanya kesal, kesal dan kesal sekali. Apa yang harus kulakukan? Apakah rumah tangga ini akan hancur begitu saja? Apa aku harus mengesampingkan egoku?Jika aku memilih tinggal bersama mertua, apa aku sanggup?Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Berkali-kali kuhembuskan napas panjang berharap mampu meredakan gemuruh di dalam dada. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku langsung beranjak, aku yakin itu adalah Mas Rohim.Namun lagi-lagi harus kutelan rasa kecewa, saat suara salam terdengar. Suara perempuan yang begitu tak asing. Aku berdecak kesal dan kuhenyakkan kembali tubuhku di tempat semula, saat Bibik berjalan mendahului untuk membuka pintu."Hai, Sayang ...," ucap Mama saat baru saja masuk ke dalam rumah. Kuberikan senyum terpaksa ke arahnya. Entahlah, setelah keperg
POV Ragil.***Dua minggu sudah Mas Rohim pergi dari rumah ini. Kukira ia hanya main-main saja dan tak lama kemudian ia akan kembali. Namun dugaanku salah. Sampai detik ini Mas Rohim tak kunjung pulang.Rasanya kesal, kesal dan kesal sekali. Apa yang harus kulakukan? Apakah rumah tangga ini akan hancur begitu saja? Apa aku harus mengesampingkan egoku?Jika aku memilih tinggal bersama mertua, apa aku sanggup?Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Berkali-kali kuhembuskan napas panjang berharap mampu meredakan gemuruh di dalam dada. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku langsung beranjak, aku yakin itu adalah Mas Rohim.Namun lagi-lagi harus kutelan rasa kecewa, saat suara salam terdengar. Suara perempuan yang begitu tak asing. Aku berdecak kesal dan kuhenyakkan kembali tubuhku di tempat semula, saat Bibik berjalan mendahului untuk membuka pintu."Hai, Sayang ...," ucap Mama saat baru saja masuk ke dalam rumah. Kuberikan senyum terpaksa ke arahnya. Entahlah, setelah keperg
POV Rohim"Bu, kita keluar ya," ucapku. Sepertinya Ibu mengangguk. Bergegas kuangkat tubuh ibuku lalu kuletakkan di kursi roda. Bergegas kudorong dan kubawa menuju luar rumah.Aku duduk di kursi tepat di samping Ibu. "Apa Ibu merindukan Rumi?" tanyaku pada Ibu. Ibu mengangguk perlahan. Kedua netranya mulai berkaca-kaca. Kuhembuskan napas panjang. "Sama, Bu. Rohim sangat merindukan Rumi. Bagaimana keadaan Rumi sekarang ya, Bu?" Sungguh ... hati ini begitu sesak saat menceritakan kembali tentang kelembutan dan kebaikan Rumi. Biasanya di rumah ini, selalu terdengar suara tawanya. Namun sekarang, semua telah berubah menjadi hening. Bahkan hening itu ciptakan suasana yang begitu mencekam.Kutundukkan wajahku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan ku keluarkan secara kasar. Aku menyesal telah jahat pada istri yang begitu baik seperti Rumi. Tuhan ... akankah ada kesempatan kedua untuk kembali pada Rumi?Aku rindu canda tawanya.Aku rindu suaranya, Tuhan ....Rum ... aku merindukanmu. ***
POV Rohim"Hari ini jadi ke Surabaya, Pak?" tanya Bik Minah saat baru saja aku selesai sarapan. "Jadi, Bik," ucapku."Tolong jaga Ibu ya, Bik. Rohim nggak lama kok di Surabaya.Mungkin kalau urusan sudah selesai Rohim akan segera pulang. Kira-kira nggak sampai malam Rohim sudah tiba di rumah lagi," lanjut ku."Iya Pak, Bibik akan jaga ibu dengan baik. Bapak tenang aja! Bapak fokus menyelesaikan masalah Bapak aja dulu. Biarkan Ibu menjadi urusan Bibi," jawab Bibik. Aku mengangguk pelan sebagai jawabannya. Bergegas aku melangkah menuju kamar. Kusambar jaket yang menggantung di tempatnya. Lalu ku ambil kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Aku melangkah dengan cepat.Setelah berpamitan dengan Ibu dan Bibi segera kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju Surabaya.Butuh waktu 2 jam lebih 30 menit untuk sampai di tempat tujuan. Jalanan terasa begitu lenggang. Tak ada kemacetan sama sekali. Ku parkir mobil di carport, lalu aku keluar dari mobil.Ku hembuskan nafas panjang saat k
POV ROHIM***Butuh beberapa saat untuk mempertimbangkan semuanya. Setelah yakin akan keputusan yang akan kuambil. Aku kembali masuk ke dalam ruangan, dimana Ragil dirawat untuk menemui Mama dan Ragil. Ternyata Mama sedang duduk di kursi, di samping brankar. Terlihat pula Ragil sedang terlelap. Kuhembuskan napas panjang."Ma ...." Mama menoleh ke arahku. Ia mengangguk. "Duduklah," ucap Mama sembari menunjuk ke arah sofa. Kubalas dengan anggukan lalu aku melangkah, dan kudaratkan tubuhku di sofa hitam itu, pun juga Mama.Terdengar beliau menghembuskan napas berat, seperti ingin mengeluarkan beban yang begitu besar yang ada di dalam rongga dadanya. "Bagaimana?" Mama membuka percakapan. Mama menoleh ke arahku. Terlihat dari wajahnya seperti menyimpan suatu harapan."Mudah-mudahan ini keputusan yang terbaik, Ma. Tapi, semua ini juga memerlukan kehadiran Mama untuk masuk ke dalam rencana yang akan Rohim ambil. Itu pun kalau Mama setuju." Terlihat Mama mengerutkan keningnya."Rohim ingin