Share

Bab 5

last update Huling Na-update: 2022-06-06 12:55:12

Pov Rohim

"Mas, sejak kemarin perut Rumi rasanya mual-mual terus. Kadang tubuh rasanya tiba-tiba lemas. Rumi sudah telat tiga minggu. Apa Rumi hamil ya?"

"Uhuk ... uhuk." Aku terbatuk saat mendengar ucapan Rumi, istriku. Air yang sudah berada dalam mulutku seketika tersembur hingga membasahi lantai kamar.

Bagaimana tidak kaget? Lima tahun sudah ia kuberikan pil KB, tapi kenapa kali ini ia bisa hamil? Ah, tiba-tiba kepalaku terasa pening sekali!

"Pelan-pelan dong, Mas, minumnya!" Rumi mengusap punggungku.

"Eh, iya. Maaf, Sayang. Lantainya jadi basah deh!"

"Kamu kenapa? Sepertinya kamu kaget mendengar ucapan Rumi? 

"Nggak apa-apa. Mas hanya seneng saja mendengar kalau kamu telat datang bulan!" ucapku berusaha setenang mungkin.

"Mas senang nggak kalau Rumi hamil?" 

Kutarik tubuh mungil Rumi ke dalam dekapanku. Bukannya aku tak senang. Tapi aku tak siap dengan konsekuensi yang harus kuterima jika Rumi hamil. 

"Pasti seneng dong! Coba besok pagi kamu tespek ya. Barang kali kamu hamil beneran!"

Rumi mengangguk. Kulepas pelukanku dengan perlahan.

"Mas keluar sebentar ya. Bentar aja, kok!" Rumi mengangguk.

Aku beringsut dari ranjang. Tak lupa kubawa ponsel yang sempat kucampakkan.

Langkahku terhenti di teras rumah. Kutoleh kiri-kanan dan belakang, tak ada orang. Segera kudaratkan tubuhku di kursi plastik yang ada di teras. 

Kubuka aplikasi berwarna hijau berlogo gambar telepon. Kucari nomor Ragil, dan kupilih pilihan panggil.

Berdering, tapi tak kunjung diangkat.

Kuulangi hingga tiga kali, hingga panggilan itu diangkat olehnya.

"Halo, Pah ..." ucap Ragil di seberang telepon.

"Ehm ... obat KB yang kamu berikan itu memang benar-benar manjur untuk menunda momongan nggak sih?"

"Iya, memang kenapa? Jangan bilang kalau Rumi hamil!" tebak Ragil dari seberang telepon yang membuat tenggorokan seketika tercekat. Kutekan Saliva dengan susah payah.

"Iya. Ternyata Rumi sudah telat tiga minggu!" ucapku lemas. 

"Apaaaa!?"

Langsung kujauhkan ponsel dari telingaku. Teriakan Ragil dari seberang sana sungguh membuat gendang telingaku sakit.

"Rumi hamil!" ucapku menegaskan.

"Ck, nggak mungkin Rumi hamil. Atau jangan-jangan kamu memang tak memberikan pil KB itu. Kamu ingin memiliki anak dari perempuan kampung itu kan?!" Terdengar suara Ragil menahan geram.

Aku bergeming.

Disatu sisi aku gembira, di sisi lain ada suatu hal yang mengusik pikiranku.

"Kamu ingat kan perjanjian yang telah kita buat? Kenapa kamu ingkar janji, ha?!"

"Iya ... aku ingat. Tapi ini belum positif kok. Belum juga periksa!" 

"Berdoalah semoga Rumi tak hamil beneran. Jika hamil beneran, bersiaplah menerima akibatnya!" Lagi, aku dibuat terkesiap.

"Iya ... aku tak akan ingkari janjiku. Asal kamu juga ingat janjimu!"

"Iya! Kamu tenang saja. Urus saja dulu istri kampunganmu itu! Jika dia memang benar-benar hamil, kalau perlu gugurkan saja janjinya!"

"Gila kamu!" teriakku tak terima. Bagaimana mungkin aku tega mencelakai janin yang jelas-jelas darah dagingku sendiri.

"Itu terserah kamu! Tinggal pilih dari dua pilihan!"

Aku berdecak kesal.

Tut ... Tut ... Tut.

Telpon dimatikan sepihak oleh Ragil sebelum aku menjawab ucapannya. Kuacak rambutku dengan kasar.

Arrgghh ... kepalaku pening sekali rasanya.

Kuhirup udara dalam-dalam. Berharap mampu memberikan ketenangan di dalam pikiranku.

Aku beranjak, lalu kumasukkan benda pipih itu ke dalam saku celanaku.

Aku melangkah. Tiba-tiba kedua bola mataku membola saat melihat Rumi sedang duduk bersama Ibuku.

Seketika jantung berdebar lebih kencang. Aku takut jika Rumi mendengar percakapanku saat menelfon Ragil.

Lagi, kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Kutenangkan diriku setenang mungkin. Hanya satu doa ku kali ini, mudah-mudahan Rumi tak mendengar obrolanku tadi.

"Ish ... ish ... ish, kedua wanitaku terlihat akur sekali!" ucapku lalu melangkah mendekati Ibu dan juga istriku.

"Iya, donk. Kamu mau Ibu dan istrimu berantem?" sembur Ibu. Kudaratkan tubuhku di samping Rumi.

"Kamu habis telpon siapa, Mas?" tanya Rumi yang membuat jantung ini seketika ingin lompat dari tempatnya.

"Biasa ... Ragil, ada masalah pekerjaan!"

"Oh," sahutnya. Rumi mengulas senyum.

Seketika hati ini terasa lega, itu artinya ia tak mendengar percakapan ku tadi.

"Assalamualaikum."

Kami menoleh ke arah sumber suara. Kutepuk pelan dahiku saat melihat A'an berdiri diambang pintu.

Ah, kenapa lelaki bermulut ember itu datang kemari sih! 

"Waalaikum," ucap Ibu dan juga Rumi dengan serempak. Tapi tidak denganku.

Rumi beranjak. "Mari masuk, Nak!" ucap Ibuku.

Memang, A'an ini sudah dianggap seperti keluarga oleh Ibu. Selain teman sewaktu SMA, ia juga bekerja di perusahaan tempatku bekerja. Tapi hanya menjadi seorang cleaning service.

Baru satu bulan juga ia bekerja, itu pun karena aku lah yang merekomendasikan ia di perusahaanku. Asal dengan syarat, ia tak boleh menceritakan apapun kepada Rumi. Apapun itu!

A'an melangkah masuk rumah. Rumi beranjak kebelakang. A'an mendaratkan tubuhnya di sampingku.

"Ngapain kamu kesini?" ketusku.

"Nggak boleh gitu dong! Ada teman berkunjung kok bilangnya kayak gitu!" tegur Ibuku.

"Iya. Tau tuh! Mungkin takut rahasianya kubocorkan, Bu!"

Ibu tertawa. Aku mendengkus kesal.

Si*l. Sepertinya memasukkan A'an di perusahaan tempatku bekerja merupakan kesalahan terbesarku.

"Aku kesini mau memberikan ini. Itung-itung buat balas budi karena memasukkan aku ke perusahaan!" ucap A'an sambil meletakkan sesuatu di meja.

"Silahkan diminum!" sela Rumi sambil meletakkan dua gelas kopi panas dihadapanku dan juga tamu tak diundang.

"Bawa apa nih, Mas? Kok pakai repot-repot segala!"

"Nggak repot Rum. Hanya kue. Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena sudah dicarikan pekerjaan oleh suamimu!"

"Loh, Mas A'an satu perusahaan dengan Mas Rohim?" A'an mengangguk.

Ah, mati aku. Mudah-mudahan lelaki bermulut ember itu tak keceplosan.

"Iya. Bahkan yang merekomendasikan suamimu loh! Ya ... walaupun hanya seorang cleaning service."

Rumi menatapku dengan lekat. Ia perempuan cerdas, pasti ia mempunyai pikiran bagaimana bisa aku merekomendasikan seseorang untuk masuk ke perusahaan tempatku bekerja, padahal hanya seorang staff biasa. Kurutuki diriku sendiri. 

"Memang bisa ya, Mas, seorang staff biasa merekomendasikan orang lain untuk bekerja di perusahaannya?" tanya Rumi namun kedua manik mata itu masih menatapku.

"Loh. Suamimu ini hebat loh. Dia seorang ...."

"Aduuhhhh," keluh A'an saat kakinya kuinjak.

Aku melotot kearah lelaki bermulut ember itu. Ia hanya nyengir tanpa rasa berdosa.

"Seorang apa, Mas?"

"Maksudnya siapapun bisa merekomendasikan. Apalagi waktu itu sedang membuka lowongan sebagai cleaning service. Jadi dapat kerjaan deh!" 

"Oh, begitu. Ya sudah, Rumi tinggal dulu ya!" 

Aku bernapas lega. Sepertinya Rumi percaya dengan apa yang diucapkan oleh A'an.

"Ayo, Bu, kita ke taman samping rumah. Rumi mau membersihkan taman."

Kedua wanita beda usia itu berjalan berdampingan.

Saat kedua wanita itu hilang dari pandanganku. Kutatap A'an yang sedang melihatku dengan mulut meringis. Kuacungkan kepalan tanganku. "Awas saja sampai semuanya kamu bocorkan!" 

"Iya, maaf!"

"Kamu hanya ingin mengantarkan ini kan? Sekarang sudah kuterima. Silahkan pulang!"

"Buset, dah! Baru juga datang, belum sampai minum kopi, udah diusir aja!" protesnya. 

Lelaki bermulut ember itu meraih secangkir kopi lalu diseruput dengan pelan. Kalau diteguk, bisa meleleh tuh lidah!

"Sudah habis. Aku pulang dulu, ya!" 

"Dari tadi, kek!" 

Akhirnya dengan kepulangan tamu tak diundang itu, membuatku bernapas lega. Tak merasakan was-was dan ketar-ketir jika tiba-tiba mulutnya itu nyerocos terus tiada hentinya, lalu terbukalah semua rahasiaku.

Bersambung ya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 42

    Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Ba 41

    Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 40

    Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 39

    *Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 38

    Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk

  • Pembalasan Untuk Pengkhianatan Suami dan Mertua    Bab 37

    POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status