Share

Part 2

"Nur, sudah pulang Nak," ucap Mamak saat mendengarku membuka pintu depan rumah, segera kusalim tangan wanita yang sangat aku sayangi itu. 

"Sudahlah Mak, ini Mamak lihat anak gadis cantik Mamak sudah berdiri disini."

"Cantik tapi kok masih sendiri sih Nur," ucap Mamak. 

"Sabar Mak, doakan Nur terus."

"Coba minta carikan sama Fitri, dia pintar cari suami, Raihan anaknya alim, santun dan pekerja keras."

Oalah Mak, kenapa harus minta carikan Fitri, kenapa ga suaminya saja kuambil, batinku tapi cepat aku istighfar, ah, kenapa pikiranku jadi error begini. 

"Kok bengong Nur, ayo mandi, sebentar lagi magrib setelah itu makan, Mamak masak gulai ayam kampung tadi."

"Ya Allah Mak, sudah Nur bilang Mamak jangan capek-capek masak, kenapa ga beli di warung Kak Biah saja, dokter bilang Mamak harus banyak istirahat."

"Malah tambah sakit badan Mamak kalau kebanyakan diam, lagian kalau keseringan beli makan, malah tambah boros, Mamak ga tega sama mu Nur, kerja banting tulang buat membiayai Mamak."

"Doakan saja Nur sehat dan lancar rezeki Mak, yang penting Mamak jaga kesehatan, masalah materi insya Allah Nur bisa cari, ya udah Nur mandi dulu ya Mak." 

Kemarin waktu Riki mengajak ketemuan, aku sudah berandai-andai jika Riki bisa menjadi partner dalam segala hal, mungkin jika menjadi istrinya aku bisa membayar ART agar Mamak tidak terlalu capek dan agar Mamak ada teman disaat aku lagi bekerja, Riki merupakan supervisor yang gajinya sudah diatas sepuluh juta, gajiku utuh untuk keperluan Mamak dan aku dinafkahi oleh Riki, tapi semua telah sirna, tak perlulah aku sesali, karena Allah telah menunjukkan siapa Riki sebenarnya, lelaki yang gampang goyang saat didekati wanita yang lebih menarik, lebih menarik? Apakah Fitri lebih menarik dariku? Kembali aku mematut diri di depan cermin, mungkin jika aku berpakaian terbuka bisa jadi aku juga menarik, ya Allah kenapa bisa eror begini aku, sebegitu frustasi nya kah aku sehingga terlintas di dalam pikiran ini untuk membuka aurat atau ingin menjadi pelakor, adzan maghrib berkumandang, lebih baik aku sholat dan memohon jodoh yang terbaik dan agar pikiran ngawur ini segera hilang. 

Setelah makan malam sedang asyik menemani Mamak menonton sinetron yang sedang tayang di televisi dengan nama Artis Aldebaran. 

"Kalau Mamak lihat, si Aldebaran ini mirip si Raihan ya, suaminya Fitri, cuma bedanya si Raihan jenggotan dan pakaiannya islami gitu." 

"ACK ya Mak?"

"Apa tuh?"

"Aliran celana cingkrang," jawabku sambil terus memijat kaki Mamak.

"Ada-ada saja istilahmu itu, Nur."

"Menurut Mamak, Bang Raihan itu bagaimana Mak?"

 

"Kenapa Nur? Kenapa kau menanyakan suami sahabatmu? Kok agak aneh Mamak rasa pertanyaanmu."

"Aneh bagaimana?"

"Ngapain nanyain suami orang, jangan macam-macam ya Nur, biarpun sampai sekarang kau belum menikah, jangan coba-coba menggoda suami sahabatmu."

"Ya Allah Mak, ga serendah itu Nur Mak."

"Ya baguslah, punya harga dikit ya Nur."

Mulut berkata tidak tetapi hati berkata iya, ah, ada apa dengan fikiran ini, benar kata Mamak, kalau aku merebut Bang Raihan berarti aku rendah dong, tapi kan Fitri telah berkhianat, masih status istri tapi lengket kayak perangko sama lelaki lain, kasihan Bang Raihan yang baik itu, lagian apa pantes si Fitri itu menjadi sahabatku, itu sih bukan sahabat, tapi dajal. 

"Assalamualaikum," ucap seseorang dengan suara berat, aku dan mamak saling pandang, seolah bertanya siapa, aku hanya memberi kode mengangkat kedua bahu pada Mamak, segera berjalan ke arah pintu dan mengintip dari balik gorden, siapakah yang berdiri di depan pintu, ternyata Bang Raihan. 

"Suami Fitri, Mak," ucapku pada mamak. 

"Coba buka Nur, siapa tau ada yang penting."

Setelah mendapat titah dari mamak kubuka kunci pintu.

 

"Maaf Nur mengganggu malam-malam begini, permisi ya Bu," ucap Bang Raihan padaku dan pada Mamak sambil menangkupkan kedua tangannya dengan sopan.

"Iya, ada ya Bang?"

"Nur, Abang minta tolong hubungi teman kantor Nur yang lain, coba tanyakan Fitri dimana, ini sudah jam sembilan malam, tapi Fitri belum pulang juga, nomor ponselnya juga tidak bisa di hubungi, Abang khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan pada Fitri, siapa tau dia dalam bahaya."

"Oh, sebentar Bang HP Nur ada di kamar," ucapku sambil berlari ke kamar. 

Dengan cepat aku menghubungi Fitri, sedikit ada rasa khawatir juga di hati ini , apalagi wanita itu memakai pakaian yang kurang bahan, ku coba menghubungi Fitri, tapi nomor ponselnya mati seperti Bang Raihan katakan tadi, aku berinisiatif menghubungi Riki, karena terakhir aku lihat Fitri bersama Riki. 

"Bagaimana Nur," ucap Bang Raihan dengan raut wajah yang khawatir. 

"Sebentar Bang ini lagi mencoba menghubungi rekan kantor yang lain."

Sambungan telepon tersambung, tidak berapa lama terdengar suara Riki. 

"Ada apa Nur," ucap Riki dengan nafas berat dan sepertinya sedang olah raga karena nafasnya memburu.

 

"Maaf mengganggu, saya mau menanyakan Fitri dimana? Ini suaminya sedang khawatir." Tidak berapa lama terdengar Riki bicara pada seseorang. 

"Nur, Bang Raihan nyariin, eh–ah, anu bilang sama Bang Raihan aku sedang ketemu klien penting, satu jam lagi sampai rumah, aahh Bwang Riki, ahh–pelan Abwaang, enaakkk."

Ya Allah Fitri, kenapa bisa mendesah begitu, apa yang telah Riki lakukan padamu, batinku polos-polos dongok. 

"Eh–udah dulu Nur, aku lagi emm–" Sambungan telepon terputus, bulu kudukku meremang, pikiranku traveling sedang membayangkan kenikmatan dunia yang sedang dirasakan oleh Fitri, duh mana tubuh Bang Riki atletis begitu, aku menelan saliva, andai saat ini aku memiliki suami, tidak perlu aku membayangkan langsung saja praktek, ya Allah beginikah nasib jomblo sejati. 

"Bagaimana Nur?"

"Pengen punya suami, Bang." 

"Maksudnya?" 

Bego, kenapa aku berkata seperti itu pada Bang Raihan.

 

"Oh–anu Bang, Fitri lagi enak."

"Enak?" 

Nuri bodoh! Rutuk ku dalam hati. 

"Fitri lagi ketemu klien, nanti satu jam lagi ia sampai rumah."

"Alhamdulillah ya Allah, syukurlah kalau baik-baik saja, kirain ia dalam bahaya," ucapnya sedikit tenang, wajah khawatirnya yang tadi sudah hilang dan berubah menjadi lega karena sudah mendapatkan informasi palsu tentang keberadaan istrinya. Andai engkau tahu, istrimu memang sedang dalam bahaya bang, sedang dalam nafsu terlarang, ah, Bang Raihan yang malang, sini peluk dulu, eh. Astaghfirullah. 

"Ya sudah, saya permisi dulu ya, maaf mengganggu malam-malam begini, Bu Haji, saya permisi dulu, terima-kasih," ucap Bang Raihan dan kembali menangkupkan kedua tangannya. 

"Nur, Nuri, tutup pintunya, ngapain kau melihat Raihan begitu," ucap Mamak, aku gelagapan karena tertangkap basah oleh Mamak sedang menatap punggung Bang Raihan yang sedang berjalan ke rumahnya, rumah orang tua Fitri lebih tepatnya. 

"Nur cuma memastikan Mak, jika Bang Raihan masuk rumahnya dengan selamat," ucapku sok bijak yang tidak pada tempatnya. 

"Halah, kau itu, Mak tau, kau tertarik kan sama Raihan, ya Allah Nur, dalam garis keturunan kita ga ada yang jadi pelakor, mending kau jadi perawan tua seumur hidup daripada jadi pelakor." 

"Iya Mak, iya, memang Nur yang salah kok, Nur memang perawan tua!" Ada nyeri di ulu hati.

"Bukan begitu maksud Mamak Nur, engkau dididik dalam syariat islam sedari kecil, maksud Mamak jangan merendahkan diri seperti itu, caper kau kan Nur tadi di depan Raihan bilang mau punya suami."

"Caper? Nggak Mak, tadi Nuri sedang membayangkan yang enak-enak." 

"Apanya Maksudmu Nur? Kau membayangkan enak-enak sama Raihan, Astaghfirullah alladziiiimmmmmmm," ucap Mamak dengan mengelus dada, dahlah, salah terus aku, padahal tadi lagi membayangkan Fitri sama Riki, siapa yang tidak merinding geli mendengar desahan kenikmatan Fitri, apalagi kaum dhuafa kasih sayang seperti diriku ini, pikiran ku yang suci bersih ini jadi ternoda gara-gara desahan si Fitrok, eh Fitri. 

Tidak ingin berdebat sama Mamak, sepenjang Mamak merepet menasehati aku cuma iyain saja biar cepat selesai repetan Mamak, sampai ponselku berdering, nama Fitri yang tertera,dengan malas aku menjawab. 

"Eh Oon! Ngapain kau telp pas aku lagi menikmati terong gedong Bang Riki, kau mau menjebakku ya, agar ketahuan sama Bang Raihan, berjilbab tapi iri hatimu keterlaluan, mending seperti aku, tampil apa adanya tapi ga munafik, buktinya sudah menjadi istri orang banyak yang tergila-gila padaku, beda dengan orang munafik macam kau, ga ada yang mau sama kau, Nuri si perawan tua!" 

Ya Allah Ya Rabbiiiiiiii, memang dajjal mulut si Fitrok ini. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
semoga aja Raihan segera tahu tuh tingkah laku istrinya di luar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status