Share

Pembalasan dari Istri yang Tersakiti
Pembalasan dari Istri yang Tersakiti
Author: Flam_boyan

Bab 1. Perlakuan Keluarga Suami

“Arini! Arini! Dimana kamu?” teriak Ibu Ida dari arah ruang makan. Bergegas Arini menghampiri Bu Ida, mertuanya.

“I-ya, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Arini. Dia melihat ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dengan muka merah padam menahan amarah.

“Ada apa kamu bilang? Lihat! Sudah jam berapa ini? Enak-enakan kamu, ya, masih malas-malasan di kamar!” bentak Ibu Mertua sembari menunjuk ke arah jam dinding.

Ya ... Arini tinggal dengan suami bersama ibu mertua dan adik ipar perempuannya. Suaminya, Arman bekerja sebagai manajer di sebuah hotel. Sebenarnya setelah menikah, Arini mengajak Arman untuk tinggal terpisah dengan Ibu Mertua. Tetapi, suaminya tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya sendirian.

Arman tidak tahu perlakuan ibu dan adiknya ke istrinya seperti apa, karena Arini menyembunyikan semua itu. Arini berpikir tidak mau menambah beban suaminya yang sudah lelah bekerja seharian.

Arman itu tiga bersaudara. Masih ada lagi anak perempuan Bu Ida, kakaknya Arman, Salma namanya. Salma ikut tinggal bersama suaminya yang tak jauh dari rumah ibunya. Sampai usia pernikahan kakak Arman yang kesebelas tahun, mereka belum dikaruniai momongan. Tak ada bedanya perlakuan Salma pada Arini, sama-sama menganggap Arini tidak sepadan dengan Arman.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya, jam segini Arini sudah ada di dapur, menyiapkan makanan untuk makan malam. Tapi, tadi sebelum menuju ke dapur, Arini merasa tidak enak badannya dan kepalanya agak sedikit pusing. Jadi, dia memutuskan untuk merebahkan diri sebentar untuk mengurangi pusing kepalanya. Tanpa sadar, Arini ketiduran dan bangun karena mendengar suara teriakan Ibu Mertua.

“Maaf, Bu! Tadi Arini pusing, makanya Arini istirahat sebentar,” ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatap mertuanya itu.

“Alah ... gak usah banyak alasan kamu, ya! Dasar menantu gak tahu diri! Sudah untung dinikahi anakku yang manajer, jadi bisa angkat derajatmu yang miskin itu!” bentak Bu Ida. Kata itulah yang selalu jadi andalan Ibu Ida, kala dirinya marah dengan Arini.

“Cepat sana masak!” bentak Bu Ida lagi. Bergegas Arini menuju dapur dan menyiapkan makan malam sebelum suaminya pulang. Selagi Arini memasak, datanglah Bela-adik ipar-meminta dibuatkan minuman.

“Mbak, buatin aku es sirup, ya?” pinta Bela tanpa memperdulikan kakak iparnya yang tengah sibuk memasak.

“Buat sendiri dulu, ya, Bel! Mbak lagi repot dan buru-buru ini,” tolak Arini dengan suara lembut.

BRAK!!

Seketika Bella menggebrak meja. Arini melonjak kaget, sampai-sampai pisau yang ada ditangannya terjatuh. Untung kakinya dengan sigap menghindar, jadi kaki Arini tidak terluka.

“Cuma buatkan aku minuman gitu aja apa susahnya, sih? Ingat! Kamu itu hanya pendatang di rumah ini!” teriak Bella di depan muka Arini. Arini sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti itu dari adik iparnya ini. Mereka akan baik jika ada Arman di rumah.

Memang ibu mertua dan ipar Arini dari awal sudah tidak menyukai kehadirannya. Sempat pernikahannya dengan Arman tak disetujui. Tetapi, setelah Arman membujuk, akhirnya keduanya mau menyetujuinya. Dengan syarat, uang yang Arman berikan ke ibunya tiap bulan tidak berkurang setelah dia punya istri. Dan, setiap ibunya meminta uang, Arman tidak boleh menolaknya.

“Ya sudah, tunggu dulu sebentar,” jawab Arini. Tak mau menambah panjang urusannya dengan Bela, Arini memilih mengalah.

*****

Sudah pukul enam, makan malam sudah siap di meja makan. Saat Arini tengah selesai mandi, terdengar suara mobil sang suami masuk ke halaman. Dengan langkah cepat, Arini membukakan pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.

“Assalammu’alaikum!” salam Arman dari depan rumah.

“W*'alaikumsalam, Mas!” jawab Arini seraya mencium punggung tangan suaminya. Dibawakannya jas dan tas menuju kamar.

Saat sang suami sedang mandi, Arini menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya. Setelah itu, Arini kembali lagi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk suaminya.

Begitulah rutinitas Arini selama tiga bulan ini. Ya ... Arini dan Arman menikah baru tiga bulan. Mereka berkenalan di tempat Arini kerja. Saat itu, Arman ada rapat di restoran tempat Arini bekerja. Berawal dari sana mereka saling dekat dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Arini hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan.

Selesai mandi, Arman menuju ruang makan. Di sana ternyata sudah ditunggu ibu dan adik perempuannya. Arini mengambilkan nasi ke piring suaminya dan mereka pun makan dengan tenang. Selesai makan, Arini langsung membersihkan dan mencuci piring-piring kotor.

Tujuannya, agar besok pagi bisa langsung mengerjakan pekerjaan yang lain. Dari arah dapur, terdengar sayup-sayup suami dan ibu mertuanya sedang mengobrol.

“Man ... Ibu minta uang, ya, buat arisan minggu depan,” ucap Ibu Ida saat di depan televisi.

“Berapa, Bu?” tanya Arman.

“Tiga juta saja, Man. Tapi, ditambahin, ya, buat traktir teman-teman Ibu, gitu! He ... he ... he...” jawab Ibu Ida terkekeh.

“Oh ya, Bu. Besok ya, Bu, Arman kasih uangnya,” balas Arman. Ibu Ida terlihat mengulas senyum senang.

Arman memang tak pernah bisa membantah atau menolak permintaan ibunya. Bagi dirinya, kalau bukan karena jasa ibunya, dia tidak akan bisa sampai dititik ini, dan juga karena janji yang sudah dibuatnya dulu sebelum menikah dengan Arini. Tanpa Arman sadari, hal itu justru membuat ibunya merasa semua uang yang dihasilkan Arman hanya menjadi miliknya seorang, dan tak ada yang boleh mengambil itu darinya, termasuk Arini.

Arini yang sudah lama ada keinginan untuk pulang kampung, ketika mendengar percakapan suami dan mertuanya itu jadi teringat kembali akan keinginannya itu.

“Mas ... Arini boleh minta sesuatu gak?” tanya Arini pada Arman saat mereka sudah ada di dalam kamar.

“Minta apa, Sayang?” balas Arman tanpa menoleh ke arah istrinya. Arman sedang disibukkan dengan pekerjaan yang tadi belum sempat dia selesaikan.

Memang, jika pekerjaan Arman sedang banyak, tak jarang dia bawa pulang ke rumah untuk diselesaikan.

“Kalau boleh, Arini mau pulang kampung, nengok makan Emak dan Bapak di sana. Semenjak Arini pindah ke kota, Arini belum ke sana lagi, Mas. Bahkan kemarin waktu kita nikah, Arini juga gak ke sana," ucap Arini sedih. Kepalanya menunduk menahan agar tidak ada air mata yang terjatuh.

Arman menghentikan sejenak pekerjaannya dan menatap istrinya yang sedang bersedih. Tak tega melihat orang yang dicintainya bersedih seperti itu. Direngkuhnya sang istri ke dalam pelukan dan diusapnya pucuk rambut Arini dengan lembut. Arman melepas pelukan saat dirasa istrinya sudah tenang.

“Boleh, Sayang. Kapan rencananya? Tapi maaf ya, Sayang, Mas gak bisa nemenin kamu ke sana. Sampai akhir bulan ini pekerjaan Mas sedang banyak banget, karena hotel banyak pengunjung dan ada juga beberapa tamu yang pesan tempat untuk acara di sana,” jelas Arman. Kedua matanya menatap sang istri penuh cinta.

“Gak apa-apa, Mas. Rencananya lusa kalau Mas mengizinkan. Tapi, nanti kalau Arini tidak di rumah, siapa yang mengurus rumah dan masak, Mas?” tanya Arini.

Seketika Arini khawatir kalau ibu mertuanya tahu, dia tidak membolehkannya pergi. Karena selama tiga bulan ini, semua pekerjaan rumah semua Arini yang mengerjakan. Tapi, kalau Arman pulang, Ibu Mertuanya itu selalu mengeluh capek mengurus rumah, itu pun tanpa Arini tahu.

“Kan, di rumah ini ada Ibu dan Bela, Dek. Jadi, gak usah khawatir begitu. Bukankah selama ini mereka juga yang membantumu di rumah?” balas Arman.

Deg!

“Membantu? Bahkan Ibu dan Bela akan kembali ke kamar saat kamu sudah berangkat bekerja, Mas! Atau Ibu akan pergi keluar bersama teman-temannya,” kata Arini dalam hati.

Arini tidak tahu kalau selama ini, Bu Ida dan Bela mengaku kalau setiap hari mereka membantu Arini, karena Arini tidak begitu becus mengurus pekerjaan rumah tangga.

“Eh ... i-ya, Mas,” jawab Arini dengan tersenyum sedikit memaksa.

"Ya sudah, kita tidur dulu, yuk! Biar besok seger lagi," ajak Arman. Arini pun mengangguk.

*****

Keesokan harinya, saat Arini mencuci piring, terdengar suara Ibu Mertuanya mendekat.

“Enak bener kamu, mau pakai uang anakku untuk pulang ke kampung!” sindir Bu Ida saat Arman sudah berangkat bekerja. Ya ... Arman sudah memberitahu ibunya kalau Arini mau pulang kampung selama tiga hari.

“Kamu itu kerja juga enggak, malah hambur-hamburin uang suami gak jelas begitu! Gak usah pulang ke kampung segala lah! Orang tuamu juga sudah meninggal ini. Mau ngapain kesana?” sambung Bu Ida ketus.

“Tapi, Bu ... Arini sudah lama tidak ke makam Bapak dan Emak. Mas Arman tidak keberatan kok, Bu. Bukannya kemarin juga Ibu minta uang ke Mas Arman untuk bayar arisan dan mentraktir teman-teman Ibu, ya?” Arini memberanikan diri menjawab ibu mertuanya.

"Wajarlah! Aku ini ibunya, yang membesarkan dia dan menyekolahkan dia. Jadi, sepatutnya memang uang Arman itu uang Ibu!" ucap Ibu Ida penuh penekanan.

"Tapi ... saya juga istrinya, Bu. Arini juga berhak diberi nafkah sama Mas Arman," jawab Arini, dirinya mencoba menjelaskan kewajiban suami pada istrinya.

“Arini, kamu —” teriak Bu Ida. Tangan Bu Ida sudah di udara dan siap menampar Arini.

Tapi tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar.

Tok! Tok! Tok!

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status