“Arini! Arini! Dimana kamu?” teriak Ibu Ida dari arah ruang makan. Bergegas Arini menghampiri Bu Ida, mertuanya.
“I-ya, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Arini. Dia melihat ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dengan muka merah padam menahan amarah.“Ada apa kamu bilang? Lihat! Sudah jam berapa ini? Enak-enakan kamu, ya, masih malas-malasan di kamar!” bentak Ibu Mertua sembari menunjuk ke arah jam dinding.Ya ... Arini tinggal dengan suami bersama ibu mertua dan adik ipar perempuannya. Suaminya, Arman bekerja sebagai manajer di sebuah hotel. Sebenarnya setelah menikah, Arini mengajak Arman untuk tinggal terpisah dengan Ibu Mertua. Tetapi, suaminya tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya sendirian.Arman tidak tahu perlakuan ibu dan adiknya ke istrinya seperti apa, karena Arini menyembunyikan semua itu. Arini berpikir tidak mau menambah beban suaminya yang sudah lelah bekerja seharian.
Arman itu tiga bersaudara. Masih ada lagi anak perempuan Bu Ida, kakaknya Arman, Salma namanya. Salma ikut tinggal bersama suaminya yang tak jauh dari rumah ibunya. Sampai usia pernikahan kakak Arman yang kesebelas tahun, mereka belum dikaruniai momongan. Tak ada bedanya perlakuan Salma pada Arini, sama-sama menganggap Arini tidak sepadan dengan Arman.Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya, jam segini Arini sudah ada di dapur, menyiapkan makanan untuk makan malam. Tapi, tadi sebelum menuju ke dapur, Arini merasa tidak enak badannya dan kepalanya agak sedikit pusing. Jadi, dia memutuskan untuk merebahkan diri sebentar untuk mengurangi pusing kepalanya. Tanpa sadar, Arini ketiduran dan bangun karena mendengar suara teriakan Ibu Mertua.“Maaf, Bu! Tadi Arini pusing, makanya Arini istirahat sebentar,” ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatap mertuanya itu.“Alah ... gak usah banyak alasan kamu, ya! Dasar menantu gak tahu diri! Sudah untung dinikahi anakku yang manajer, jadi bisa angkat derajatmu yang miskin itu!” bentak Bu Ida. Kata itulah yang selalu jadi andalan Ibu Ida, kala dirinya marah dengan Arini.“Cepat sana masak!” bentak Bu Ida lagi. Bergegas Arini menuju dapur dan menyiapkan makan malam sebelum suaminya pulang. Selagi Arini memasak, datanglah Bela-adik ipar-meminta dibuatkan minuman.“Mbak, buatin aku es sirup, ya?” pinta Bela tanpa memperdulikan kakak iparnya yang tengah sibuk memasak.“Buat sendiri dulu, ya, Bel! Mbak lagi repot dan buru-buru ini,” tolak Arini dengan suara lembut.BRAK!!
Seketika Bella menggebrak meja. Arini melonjak kaget, sampai-sampai pisau yang ada ditangannya terjatuh. Untung kakinya dengan sigap menghindar, jadi kaki Arini tidak terluka.“Cuma buatkan aku minuman gitu aja apa susahnya, sih? Ingat! Kamu itu hanya pendatang di rumah ini!” teriak Bella di depan muka Arini. Arini sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti itu dari adik iparnya ini. Mereka akan baik jika ada Arman di rumah.Memang ibu mertua dan ipar Arini dari awal sudah tidak menyukai kehadirannya. Sempat pernikahannya dengan Arman tak disetujui. Tetapi, setelah Arman membujuk, akhirnya keduanya mau menyetujuinya. Dengan syarat, uang yang Arman berikan ke ibunya tiap bulan tidak berkurang setelah dia punya istri. Dan, setiap ibunya meminta uang, Arman tidak boleh menolaknya.“Ya sudah, tunggu dulu sebentar,” jawab Arini. Tak mau menambah panjang urusannya dengan Bela, Arini memilih mengalah.*****
Sudah pukul enam, makan malam sudah siap di meja makan. Saat Arini tengah selesai mandi, terdengar suara mobil sang suami masuk ke halaman. Dengan langkah cepat, Arini membukakan pintu untuk menyambut kedatangan suaminya.“Assalammu’alaikum!” salam Arman dari depan rumah.“W*'alaikumsalam, Mas!” jawab Arini seraya mencium punggung tangan suaminya. Dibawakannya jas dan tas menuju kamar.Saat sang suami sedang mandi, Arini menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya. Setelah itu, Arini kembali lagi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk suaminya.Begitulah rutinitas Arini selama tiga bulan ini. Ya ... Arini dan Arman menikah baru tiga bulan. Mereka berkenalan di tempat Arini kerja. Saat itu, Arman ada rapat di restoran tempat Arini bekerja. Berawal dari sana mereka saling dekat dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Arini hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan.
Selesai mandi, Arman menuju ruang makan. Di sana ternyata sudah ditunggu ibu dan adik perempuannya. Arini mengambilkan nasi ke piring suaminya dan mereka pun makan dengan tenang. Selesai makan, Arini langsung membersihkan dan mencuci piring-piring kotor.Tujuannya, agar besok pagi bisa langsung mengerjakan pekerjaan yang lain. Dari arah dapur, terdengar sayup-sayup suami dan ibu mertuanya sedang mengobrol.
“Man ... Ibu minta uang, ya, buat arisan minggu depan,” ucap Ibu Ida saat di depan televisi.“Berapa, Bu?” tanya Arman.“Tiga juta saja, Man. Tapi, ditambahin, ya, buat traktir teman-teman Ibu, gitu! He ... he ... he...” jawab Ibu Ida terkekeh.“Oh ya, Bu. Besok ya, Bu, Arman kasih uangnya,” balas Arman. Ibu Ida terlihat mengulas senyum senang.Arman memang tak pernah bisa membantah atau menolak permintaan ibunya. Bagi dirinya, kalau bukan karena jasa ibunya, dia tidak akan bisa sampai dititik ini, dan juga karena janji yang sudah dibuatnya dulu sebelum menikah dengan Arini. Tanpa Arman sadari, hal itu justru membuat ibunya merasa semua uang yang dihasilkan Arman hanya menjadi miliknya seorang, dan tak ada yang boleh mengambil itu darinya, termasuk Arini.Arini yang sudah lama ada keinginan untuk pulang kampung, ketika mendengar percakapan suami dan mertuanya itu jadi teringat kembali akan keinginannya itu.
“Mas ... Arini boleh minta sesuatu gak?” tanya Arini pada Arman saat mereka sudah ada di dalam kamar.“Minta apa, Sayang?” balas Arman tanpa menoleh ke arah istrinya. Arman sedang disibukkan dengan pekerjaan yang tadi belum sempat dia selesaikan.Memang, jika pekerjaan Arman sedang banyak, tak jarang dia bawa pulang ke rumah untuk diselesaikan.
“Kalau boleh, Arini mau pulang kampung, nengok makan Emak dan Bapak di sana. Semenjak Arini pindah ke kota, Arini belum ke sana lagi, Mas. Bahkan kemarin waktu kita nikah, Arini juga gak ke sana," ucap Arini sedih. Kepalanya menunduk menahan agar tidak ada air mata yang terjatuh.Arman menghentikan sejenak pekerjaannya dan menatap istrinya yang sedang bersedih. Tak tega melihat orang yang dicintainya bersedih seperti itu. Direngkuhnya sang istri ke dalam pelukan dan diusapnya pucuk rambut Arini dengan lembut. Arman melepas pelukan saat dirasa istrinya sudah tenang.“Boleh, Sayang. Kapan rencananya? Tapi maaf ya, Sayang, Mas gak bisa nemenin kamu ke sana. Sampai akhir bulan ini pekerjaan Mas sedang banyak banget, karena hotel banyak pengunjung dan ada juga beberapa tamu yang pesan tempat untuk acara di sana,” jelas Arman. Kedua matanya menatap sang istri penuh cinta.“Gak apa-apa, Mas. Rencananya lusa kalau Mas mengizinkan. Tapi, nanti kalau Arini tidak di rumah, siapa yang mengurus rumah dan masak, Mas?” tanya Arini.Seketika Arini khawatir kalau ibu mertuanya tahu, dia tidak membolehkannya pergi. Karena selama tiga bulan ini, semua pekerjaan rumah semua Arini yang mengerjakan. Tapi, kalau Arman pulang, Ibu Mertuanya itu selalu mengeluh capek mengurus rumah, itu pun tanpa Arini tahu.
“Kan, di rumah ini ada Ibu dan Bela, Dek. Jadi, gak usah khawatir begitu. Bukankah selama ini mereka juga yang membantumu di rumah?” balas Arman.Deg!“Membantu? Bahkan Ibu dan Bela akan kembali ke kamar saat kamu sudah berangkat bekerja, Mas! Atau Ibu akan pergi keluar bersama teman-temannya,” kata Arini dalam hati.Arini tidak tahu kalau selama ini, Bu Ida dan Bela mengaku kalau setiap hari mereka membantu Arini, karena Arini tidak begitu becus mengurus pekerjaan rumah tangga.“Eh ... i-ya, Mas,” jawab Arini dengan tersenyum sedikit memaksa."Ya sudah, kita tidur dulu, yuk! Biar besok seger lagi," ajak Arman. Arini pun mengangguk.
*****
Keesokan harinya, saat Arini mencuci piring, terdengar suara Ibu Mertuanya mendekat.“Enak bener kamu, mau pakai uang anakku untuk pulang ke kampung!” sindir Bu Ida saat Arman sudah berangkat bekerja. Ya ... Arman sudah memberitahu ibunya kalau Arini mau pulang kampung selama tiga hari.“Kamu itu kerja juga enggak, malah hambur-hamburin uang suami gak jelas begitu! Gak usah pulang ke kampung segala lah! Orang tuamu juga sudah meninggal ini. Mau ngapain kesana?” sambung Bu Ida ketus.“Tapi, Bu ... Arini sudah lama tidak ke makam Bapak dan Emak. Mas Arman tidak keberatan kok, Bu. Bukannya kemarin juga Ibu minta uang ke Mas Arman untuk bayar arisan dan mentraktir teman-teman Ibu, ya?” Arini memberanikan diri menjawab ibu mertuanya."Wajarlah! Aku ini ibunya, yang membesarkan dia dan menyekolahkan dia. Jadi, sepatutnya memang uang Arman itu uang Ibu!" ucap Ibu Ida penuh penekanan.
"Tapi ... saya juga istrinya, Bu. Arini juga berhak diberi nafkah sama Mas Arman," jawab Arini, dirinya mencoba menjelaskan kewajiban suami pada istrinya.
“Arini, kamu —” teriak Bu Ida. Tangan Bu Ida sudah di udara dan siap menampar Arini.Tapi tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar.Tok! Tok! Tok!bersambung ....Tok!Tok!Tok!“Assalammu’alaikum, Bu Ida!” Terdengar suara perempuan mengetuk pintu dan mengucap salam.“Waalaikumsalam!” balas Bu Ida sedikit berteriak.“Arini! Buka pintu sana!” perintah Bu Ida pada Arini. Arini hanya menganggukkan kepala dan segera membukakan pintu.Terlihat seorang ibu yang seumuran dengan Bu Ida tengah berdiri dengan tangan memegang kipas. Dari penampilannya, Arini menebak kalau ibu itu teman sosialita ibu mertuanya. Ditangannya banyak sekali perhiasan yang menempel. Tak lupa pula sebuah kalung besar ada dilehernya.“Bu Ida ada?” tanya ibu itu. Gayanya seperti orang yang baru kaya dan terkesan sombong.“Ada, Bu! Mari silahkan masuk, Bu!” jawab Arini ramah. Setelah mempersilahkan duduk, Arini masuk ke dalam dan memanggil mertuanya.“Bu ... ada tamu. Sepertinya teman Ibu,” tebak Arini. Bu Ida terlihat mengernyitkan dahi. Karena merasa tidak ada janjian dengan siapapun.“Siapa?” balas Bu Ida ketus.“Arini belum sempat tanya namanya, Bu,” jawab Arini.“Kamu ini gima
“Mas ... Arini besok jadi pulang kampung, ya?” ucap Arini saat mereka sudah di kamar. Setelah pulang bekerja, Arman memang langsung mandi dan makan malam. Kebetulan kali ini dia pulang agak terlambat dari biasanya karena ada meeting dadakan. Tak ada obrolan yang serius antara Arman dan Bu Ida saat di meja makan. Setelahnya, Arman masuk ke kamar dan diikuti oleh Arini. Arman merasa sangat lelah saat itu.“Sudah bilang sama Ibu, kan, Sayang?” tanya Arman.“Sudah, Mas! Kata Ibu boleh tapi gak boleh lama-lama,” jawab Arini. Setelah beres, Arini naik ke ranjang dan tidur disebelah suaminya itu. Arman memang sosok suami yang lemah lembut dan penyayang menurut Arini. Arini merasa beruntung dipertemukan dengan suaminya itu. Selain itu, Arman juga anak laki-laki yang taat pada ibunya. Arman berharap bisa adil memperlakukan Ibu dan istrinya, sehingga tidak akan ada yang cemburu satu sama lain karena merasa diabaikan. “Ya sudah, besok Mas anter ke stasiun, ya, Dek.” Arman memeluk Arini malam
"Ini dia anakku, Jenk! Sarah!" ucap Bu Wati saat mereka sudah duduk kembali."Cantik dan modis sekali penampilannya, berkelas!" puji Bu Ida pada Sarah. Yang dipuji hanya tersenyum."Arman! Kenalkan ini anak teman Ibu, Sarah namanya." Bu Ida memperkenalkan Sarah pada Arman.Tanpa mereka tahu, kalau Arman dan Sarah sebenarnya sudah saling kenal dan bahkan sangat kenal. Dua tahun lalu, saat Arman melamar Sarah untuk dijadikan istri, Sarah menolaknya. Alasan Sarah saat itu masih ingin mengejar karirnya dan ingin mewujudkan impiannya mempunyai restoran mewah. Padahal umur Arman dan Sarah bisa dibilang cukup untuk menikah, yaitu dua puluh sembilan tahun.Ya ... Arman dan Sarah pernah menjalin hubungan kurang lebih lima tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat untuk menjalin hubungan. Dan saat hubungan itu ingin diteruskan ke jenjang yang lebih serius, ternyata ada salah satu pihak yang belum siap.Sakit hati! Itulah yang Arman rasakan saat itu. Waktu itu Arman sudah bekerja di hotel tapi pos
Belum juga sehari ditinggal Arini pergi, Arman sudah mengirim pesan rindu pada Arini. Ini membuat Arini semakin cinta pada suaminya itu. Tak terasa sudah delapan jam Arini berada di kereta, sebentar lagi sudah sampai di Kabupaten dimana dia dibesarkan.Saat Arini keluar stasiun, banyak sekali abang-abang ojek pengkolan yang menghampirinya. Buat apa lagi kalau bukan untuk menawarkan jasa mereka. Hingga akhirnya, Arini memutuskan menggunakan salah satu dari Abang ojek itu.Perjalanan dari stasiun ke kampungnya bisa dibilang cukup jauh, yaitu sekitar satu jam lebih. Biarpun jam menunjukkan pukul dua siang, suasana pedesaan yang masih asri membuat perjalanan mereka tidaklah tersengat matahari."Bang, mampir ke pemakaman umum di sebelah sana, ya?" kata Arini pada Abang ojek. Abang ojek itu pun melihat ke arah yang Arini tunjuk."Oh ... iya, Mbak. Siap!" balas Abang ojek. Motor yang Arini tumpangi pun berbelok ke arah pemakaman."Tunggu sebentar, ya, Bang! Nanti uangnya saya lebihin," ucap
Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya."Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya."Wa'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman."Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu."Ya
Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah."Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin."Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman."Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat."Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat."Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. "Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini b
Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b
Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin