Share

Bab 6. Surat Emak dan Bapak

Penulis: Flam_boyan
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-14 01:32:29

Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.

Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. 

Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya.

"Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya.

"W*'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman.

"Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu.

"Ya sudah. Kamu hati-hati kalau besok pulang, ya, Sayang! Jangan lupa kabari Mas dulu," sahut Arman.

"Iya, Mas. Ya sudah ... Mas kalau mau pulang, Arini tutup teleponnya, ya? Assalamualaikum!" Arini mengakhiri percakapan keduanya.

"W*'alaikumsalam!" balas Arman singkat.

Dua hari lagi Arini akan pulang ke kota. Pulang ke rumah mertua dan suaminya. Baju-baju sudah Arini tata dalam tas. Arini menikmati suasana kampung ini sebelum dirinya akan balik lagi ke kota esok lusa.

Saat sedang berjalan keliling kampung, Arini berpapasan dengan Bude Jamilah. Arini yang memang merasa tak punya dendam dan masalah, tetap menyapa budenya itu.

"Assalamualaikum, Bude!" sapa Arini. Bude Jamilah hanya melengos tak mengindahkan sapaan Arini, seperti orang yang tidak saling kenal.

Arini pun tak mau ambil pusing dengan sikap Bude Jamilah. Dia pun kembali meneruskan langkah menyusuri setiap tempat yang memiliki kenangan bersama Bapak dan Emaknya. Tanpa terasa, hari sudah menjelang Maghrib. Arini segera pulang ke rumah.

*****

Orang tua Arini tak memiliki anak selain dirinya. Jadi, saat orang tuanya telah tiada, Arini benar-benar tak ada teman ketika pulang kampung seperti ini. Selesai makan malam seorang diri, tak ada kegiatan yang bisa Arini lakukan. 

Saat Arini merenung, tiba-tiba dia teringat akan kotak kecil yang Bi Imah serahkan padanya. Diambilnya kotak kecil itu dari dalam kamar dan kembali lagi ke ruang tamu. Ada perasaan tak enak kala Arini melihat kembali kotak kecil itu.

"Bismillahirrahmanirrahim!" kata Arini saat dirinya mantap membuka kotak kecil itu.

Terdapat kertas, kain selendang batik dan juga kalung bertuliskan huruf 'A' di dalamnya. Lantas, Arini membuka perlahan kertas yang ada di dalam. Ternyata kertas itu adalah surat dari Bapak dan Emak. Arini pun lalu membaca surat tersebut.

Arini, Sayang ... anak Bapak dan Emak yang paling kami sayangi dan cintai. Mungkin, saat Arini menerima kotak kecil dari bibimu, Bapak dan Emak sudah tiada. Bapak dan Emak sengaja menitipkan kotak itu pada bibimu, karena hanya bibimu yang kami percaya. Emak minta bibimu menyerahkan kotak ini ketika Bapak dan Emak sudah tidak ada.

Arini ... lewat surat ini, ada hal penting yang ingin Emak sampaikan. Tapi, jangan sampai apa yang akan Emak sampaikan ini membuat Arini jadi membenci Bapak dan Emak, ya, Nak!

Tak kuasa melanjutkan membaca, Arini berhenti sejenak dan minum air untuk meredakan emosinya. Ditariknya nafas yang dalam dan dihembuskan secara perlahan. Setelah dirasa tenang, Arini kembali membaca lanjutan isi surat itu.

Arini ... sebenarnya, Arini bukanlah anak kandung Bapak dan Emak. Maafkan Bapak dan Emak yang tak sanggup memberitahukan kepadamu secara langsung. Karena, Bapak dan Emak sudah menganggap Arini seperti anak kandung kami sendiri. Jangan benci kami, ya, Nak! Kami tak memberitahumu karena takut kehilangan kamu, Arini! Bapak dan Emak tak sanggup jika harus kehilangan anak kami satu-satunya. 

Tak ada yang bisa kami berikan kecuali kain dan juga kalung emas yang dulu kamu pakai saat kami temukan. Gunakan dua benda itu untuk mencari tahu keberadaan orang tua kandungmu, Nak! Hanya itu petunjuk yang bisa kami berikan.

Kami menemukanmu tergeletak di pinggir sawah, Nak. Kondisimu saat itu memprihatikan. Kami yang merasa kasihan, lantas membawamu ke puskesmas dan memutuskan untuk merawatmu.

Satu pesan kami, Nak! Jangan benci orang tua kandungmu juga. Cari tahu penyebab mereka menelantarkanmu. Karena kita tidak tahu sebenarnya kamu ditelantarkan orang tua kandungmu sendiri atau sebelumnya kamu diculik atau dijual. Tetaplah berpikiran positif, ya, Nak!

Oh ya, Arini. Sertifikat rumah ini ada di bank dan hanya Arini yang bisa mengambilnya, karena kami hanya mendaftarkan kamu sebagai ahli waris kami. Keluarga Bapak dan Emak tak berhak mencampuri urusan rumah itu, karena kami membelinya sendiri tanpa campur tangan kedua orang tua kami. Dan sekarang, rumah itu kami serahkan padamu, Nak.

Semoga, calon suamimu kelak bisa membawamu dan membimbingmu senantiasa di jalan yang benar, ya, Nak! Doa kami selalu menyertaimu, anakku sayang.  

Terima kasih, Arini! Kamu sudah hadir sebagai pelengkap dalam kehidupan kami. Kamu sudah menjadi penyemangat hidup kami. Lanjutkan dan teruskan apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Semoga kelak, kita dipertemukan di surga-Nya. Aamiin ....

*****

Tak terasa, air mata Arini sudah membanjiri wajahnya. Sekarang Arini paham, kenapa selama ini keluarga Bapak dan Emaknya tidak pernah suka dengan kehadirannya. Ternyata ini alasan yang selama ini tidak Arini ketahui. Dia bukanlah anak dari Pak Broto dan Bu Yayuk.

Perasaan Arini saat ini hancur. Tak tahu lagi pada siapa dirinya harus mengadu. Tapi, menangis pun tak ada gunanya. Sekarang, Arini punya misi baru untuk menemukan keberadaan orang tua kandungan dan menanyakan alasan kenapa membuangnya saat itu.

"Besok aku harus ke tempat Bude Jamilah! Ya! Semoga dari Bude, aku bisa mendapatkan petunjuk yang lain," gumam Arini seorang diri.

Arini tak peduli dengan reaksi yang akan budenya itu berikan. Karena, selama ini yang paling vokal menyatakan kebenciannya pada Arini hanya dia. Dan sebelum balik ke kota, rencananya Arini akan ke bank untuk mengambil sertifikat rumah orang tuanya. Karena Arini akan membawanya serta balik ke kota.

*****

Keesokan harinya, seperti yang Arini rencanakan, dirinya akan ke rumah Bude Jamilah. Jarak rumah Bude Jamilah hanya berselisih delapan rumah, jadi tak perlu lagi minta bantuan Mang Jaja.

"Eh! Ngapain anak pembawa s*Al pagi-pagi kesini? Mau minta sumbangan? Gak ada! Pergi sana!" kata-kata pedas terlontar begitu saja dari mulut Bude Jamilah. Belum juga Arini menginjakkan kaki di rumahnya, Bude Jamilah sudah mengusirnya.

"Bude ... Arini mau tanya sama Bude. Salah Arini apa, Bude? Sampai Bude sebegitu bencinya dengan Arini?" tanya Arini dengan nada bicara kecewa.

"Kamu masih tanya salahmu apa? Hah?! Salah kamu adalah kamu dilahirkan di dunia ini! Paham kamu?" teriak Bude Jamilah memekikkan telinga.

"Maksud Bude apa? Bude pasti juga tahu kalau Arini ini hanya anak angkat, kan?" Pertanyaan Arini sontak membuat Bude Jamilah kaget. Tapi itu hanya sebentar saja.

"Oh, jadi kamu sudah tahu rupanya? Baguslah! Gara-gara kamu kakakku meninggal!" ucap Bude Jamilah dengan kata-kata yang sama seperti kemarin.

"Itu sudah takdir, Bude. Arini juga gak mau seperti itu. Tapi, Allah berkata lain, Bude," ucap Arini mengingatkan Bude Jamilah.

"Kalau kakakku gak memaksa mengangkatmu jadi anaknya, pasti sampai saat ini mereka masih ada. Sadar, Arini! Orang tua kandungmu saja membuangmu, pasti ada sesuatu yang tak beres dari dirimu!" ucapan pedas terlontar lagi dari mulut Bude Jamilah.

"Astagfirullah hal adzim, Bude! Istighfar, Bude! Gak baik bicara seperti itu," sahut Arini mengingatkan.

"Halah! Coba kamu pikir, mana ada orang tua kandung membuang bayinya ke sawah begitu saja kalau bayi itu tak ada masalah! Mungkin memang kamu lahir karena tak diinginkan!" sindir Bude Jamilah.

Deg!

Perkataan Bude Jamilah barusan berhasil membuat Arini terpaku. Bisa jadi, apa yang dikatakan Bude Jamilah itu ada benarnya. Mungkin dirinya lahir karena tak diinginkan, makanya orang tuanya membuangnya. Air matanya berhasil menetes. 

Tanpa memperdulikan lagi apa perkataan budenya, Arini berjalan tertatih pulang menuju rumah orang tuanya. Hatinya saat ini benar-benar hancur. Harapan untuk tahu petunjuk dimana keberadaan orang tuanya sirna, karena Arini termakan omongan Bude Jamilah.

"Biarlah, aku tak perlu mencari keberadaan orang tuaku. Bagiku Bapak dan Emak adalah orang tua kandungku. Tak ada lagi orang tuaku yang lain! Ya ... sepertinya aku harus melupakannya. Jangan sampai nantinya, aku akan kecewa kalau tahu kenyataan yang ada tak sesuai harapanku," kata Arini dalam hati.

Disimpannya kotak kecil itu di dalam tas. Besok saat Arini pulang, kotak kecil itu akan dia bawa ikut serta pulang ke rumah.

bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 150. Akhir yang Bahagia

    Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 149. Terketuk Hatinya

    Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 148. Berselisih

    Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 147. Mungkinkah Tumbuh Cinta?

    Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 146. Mencoba Menerima Takdir

    Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 145. Jadi Pendiam

    PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status