“Dia ahli beladiri tingkat tinggi!”
Semua orang yang mendengar ucapan atlet bela diri itu terkejut hingga membelalakkan matanya. Mereka mundur satu langkah, takut terlibat masalah tersebut.
‘Ahli beladiri tingkat tinggi?’ Vincent memasang wajah buruk dan keringat dingin mulai menghiasi dahinya, sadar bahwa sepertinya dia telah mencari masalah dengan orang berkemampuan. Namun, kalaupun pria di hadapan mahir bela diri, lalu kenapa?! Dia masih ahli waris Keluarga Chester yang terhormat! “Siapa kamu!? Beraninya kamu melakukan hal ini kepada bawahanku!” bentaknya dengan tangan sedikit bergetar.
Seruan tersebut membuat Galvin mengalihkan pandangannya kepada Vincent. Perlahan, dia berjalan menghampiri pria itu, membuat tuan muda Keluarga Chester dan kekasihnya itu gemetar. Seakan melihat malaikat pencabut nyawa sedang menghampiri.
Ketika jaraknya cukup dekat, Galvin menjulurkan tangannya ke arah Vincent, seakan ingin mencengkeram kepala pria tersebut. Namun, saat hanya tersisa beberapa inci sebelum jari-jarinya menyentuh Vincent, sebuah suara menggelegar menghentikan Galvin.
“Ada apa ini?”
Galvin mengerutkan alis dan melihat ke arah sumber suara. Terlihat, seorang pria dengan postur tubuh yang tegak berjalan ke arah mereka sembari membelah kerumunan.
Selagi Galvin terdiam, Vincent yang sedari tadi begitu ketakutan, langsung berbinar senang melihat sosok yang datang. “Paman Javon!” sapa Vincent dengan senyum memuakkan selagi dirinya berlari menjauhi Galvin dan berlindung di sisi pria bernama Javon itu. “Paman, tolong aku!”
Di sekeliling, orang-orang langsung berbisik mengenai sosok yang baru saja tiba.
“Itu Javon Lloyd, bukan? Pejabat militer tinggi Aberleen!”
“Sebagai salah satu petinggi di Aberleen, dia jelas mengenal keluarga Tuan Muda Chester dan akan membantunya,” sahut seorang penonton lain. Dia melirik Galvin dan mendengus. “Tamat sudah riwayat orang itu.”
Mendengar ucapan tersebut, Vincent tambah percaya diri dan semakin menjadi-jadi. “Paman Javon, pria brengs*k itu menabrak kekasihku dan enggan minta maaf. Dia bahkan menjatuhkan pengawalku dan ingin melukaiku!” Dia mengangkat telunjuknya dan menatap Galvin dengan wajah penuh kemenangann. "Paman harus memberikanku keadilan! Dia sudah—"
PLAK!
Belum sempat Vincent menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan kencang mendarat di wajahnya. Tamparan itu begitu keras sampai dirinya terpelanting ke lantai dengan bibir mengeluarkan darah.
"Lancang sekali dirimu!” bentak Javon dengan mata memancarkan amarah. “Kamu kira kamu siapa sehingga berani berbicara lancang terhadap Tuan Zero?!"
Orang-orang yang sedang melihat kejadian itu terkejut bukan main melihat perkembangan adegan di depan mata. Javon Lloyd baru saja menampar Vincent Chester?! Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!
Semua orang menatap sosok Javon yang kemudian beralih menghampiri Galvin. Pria itu kemudian membungkuk hormat, membuat orang-orang di sekeliling semakin tercengang.
“Tuan Zero, maaf karena saya terlambat menjemput Anda,” ujar Javon dengan sopan.
Melihat sikap Javon, mata Galvin sedikit memicing. “Bagus kalau kamu tahu kesalahanmu,” ungkapnya dengan aura dingin yang menguar dari tubuhnya. Dia melemparkan pandangan mematikan ke arah Vincent, membuat pria yang terduduk di lantai dengan tangan menyentuh wajahnya yang bengkak itu tersentak. “Satu detik lagi kamu terlambat, mungkin Grup Chester akan kehilangan calon pewarisnya.”
Mereka yang berada di tempat tersebut bergidik ngeri mendengar ucapan Galvin. Bukan hanya karena betapa mengerikannya kalimat yang terlontar dari bibir pria tersebut, melainkan juga karena kesungguhan yang menyelimutinya. Galvin sungguh berniat menghabisi Vincent!
Seluruh tubuh Javon bergetar. Pria di hadapan ini bukanlah sosok yang bisa dianggap remeh! Bahkan dirinya, seorang petinggi militer di kota itu, mungkin hanyalah setitik debu bila dibandingkan dengan Galvin.
“Maafkan saya, Tuan Zero. Saya sudah sangat bersalah.”
Mendengar ucapan Javon, Galvin hanya bisa menghela napas. Karena tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama, dia pun berkata, “Lupakan saja. Kita pergi!”
Perintah itu membuat Javon langsung menghela napas selagi membalas, “Terima kasih, Tuan Zero!” Dia pun menegapkan tubuh, lalu merentangkan tangannya ke satu arah. “Lewat sini, Tuan.”
Hanya dalam beberapa menit, Galvin, Javon, beserta prajurit yang ikut mengawal Javon pergi meninggalkan tempat itu dengan mobil. Kepergian mereka meninggalkan keterkejutan dari para pengunjung bandara yang masih terbengong di sana.
“Siapa pria itu sebenarnya? Bahkan pejabat militer tinggi seperti Tuan Javon sangat menghormatinya?!” tanya seseorang dari kerumunan.
Decakan lidah terdengar. “Siapa dia, kita memang tidak tahu. Akan tetapi, yang jelas dia jauh lebih terhormat dibandingkan Javon Lloyd dan Vincent Chester.” Orang tersebut melirik Vincent yang masih berada di lantai dan terkekeh. “Tuan Muda Chester telah mencari masalah dengan orang yang salah.”
Seorang lain menyahut sembari tersenyum mengejek. “Ya … sesekali memang harus ada yang memberikan pelajaran ke pria angkuh itu. Karena wanita, malah bermusuhan dengan orang penting.”
Komentar orang-orang di sekeliling membuat Vincent mengepalkan tangannya. Dia sadar bahwa dirinya telah mengacau, dan kalau ayahnya mendengar hal ini, habis sudah dirinya!
“Vincent, apa kamu baik-baik saja, Sayang?” Kekasih Vincent menghampiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu pria itu berdiri.
PLAK!
“Ah!”
“Jangan sentuh aku!” bentak Vincent yang menampar tangan wanita tersebut dengan kencang. “Karena dirimu, aku jadi bermasalah dengan seseorang yang begitu penting dan dipermalukan di depan umum!” Dia berdiri dan menuding wanita tersebut. “Mulai hari ini, jangan muncul lagi di hadapanku! Dasar wanita rendahan!”
“Vincent!”
Tidak sedikit pun Vincent menanggapi teriakan mantan kekasihnya. Dia hanya terus berjalan ke arah mobilnya selagi para pengawalnya yang babak belur mengikuti dengan terpincang-pincang.
Sesampainya di mobil, Vincent membatin, ‘Siapa Tuan Zero itu? Kenapa orang sepenting itu berpenampilan begitu lusuh seakan sengaja bersembunyi dari publik?’ Alisnya tertaut erat, mencoba memikirkan identitas pria bernama Tuan Zero itu. Akhirnya, dia pun menurunkan titah, “Cari tahu siapa Tuan Zero itu secepatnya!”
“Baik, Tuan Muda!” balas pengawal yang berada satu mobil dengannya.
‘Tuan Zero … aku akan cari tahu tentang dirimu dan membalaskan semua yang kamu lakukan padaku hari ini!’
"Tuan Zero, sekali lagi saya meminta maaf atas kelalaian saya. Saya tahu Anda tidak ingin kedatangan Anda ke kota ini berakhir menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi, karena keterlambatan saya ….”Javon tidak berani untuk bahkan melanjutkan ucapannya. Dia hanya bisa terdiam selagi menunduk untuk menunjukkan rasa bersalahnya terhadap Galvin.Sebagai salah seorang pejabat militer dengan posisi yang tinggi, Javon menerima tugas untuk menyambut kedatangan Zero—nama samaran Galvin, seorang komandan pasukan elit yang identitasnya sangat dirahasiakan. Javon tidak sepenuhnya tahu mengenai latar belakang pria misterius itu, tapi dia tahu bahwa Zero adalah sosok yang patut ditakuti, terutama karena prestasi yang dia capai selama bekerja di bawah arahan sang presiden.Dengan kemampuan yang dimiliki, Zero, yang disebut juga sebagai sang Dewa Perang, kala itu pernah memimpin pasukan elitnya untuk meluluhlantakkan pemerintahan satu negara.Javon mengangkat kepalanya sedikit, menatap sosok Galv
“Berhenti di sini,” ucap Galvin, sontak membuat sopir menginjak rem di depan gerbang kompleks perumahan mewah. "Agar tidak menarik perhatian orang-orang, lebih baik aku turun di sini dan berjalan kaki menuju rumah," jelasnya. “Aku tidak ingin ada kenalanku yang tahu mengenai hubunganku dengan kemiliteran.”Galvin membuka pintu mobil diikuti oleh sang sopir yang membukakan bagasi untuk mengeluarkan koper pria tersebut.Setelah Galvin menerima kopernya, dia pun menghadap Javon. “Terima kasih atas tumpangannya, saudaraku,” ujarnya seraya berjalan pergi tanpa menunggu balasan pria di hadapan.Javon terkejut melihat Galvin yang langsung berbalik pergi, dia pun langsung mengejar pria itu dan berkata, “Tuan Galvin!” Teriakannya berhasil menghentikan langkah Galvin. Javon pun menyodorkan kartu kecil ke arah sang dewa perang sembari membungkuk hormat. “Ini adalah kartu namaku, Tuan bisa menghubungiku jika membutuhkan bantuan, aku akan selalu siap membantu."Saat dia menerima kartu nama itu, Ga
“Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!” Sekujur tubuh Galvin membeku, dia terdiam mendengar ucapan adiknya itu. Benaknya seakan dipaksa untuk menggali pecahan ingatan dari sepuluh tahun yang lalu, masa di mana dirinya hanyalah seorang pemuda bodoh berusia dua puluh tiga tahun yang tidak tahu bahwa manusia bisa lebih buruk dibandingkan binatang! Tercetak jelas di benak Galvin kejadian di malam sepuluh tahun yang lalu itu. Halaman rumah Keluarga Wijaya ramai oleh kedatangan sekelompok pria berseragam–polisi. "Tidak mungkin!” Teriakan seorang gadis bisa terdengar seiring dirinya terlihat ditahan dua polisi. “Kakakku tidak mungkin membunuh! Membunuh semut pun dia tidak tega, apalagi membunuh orang?!" Lisa–adik angkat Galvin–berteriak dengan histeris selagi air mata mengalir membasahi pipinya. Pria yang bertugas sebagai pemimpin penangkapan itu menatap Lisa dengan tatapan datar, terlihat tidak sedikit pun bersalah melihat gadis itu menangis.
“Papa meninggal karena kecelakaan dan Mama …,” Galvin menatap wanita paruh baya yang terlihat tak berdaya di kursi roda, “... kehilangan kewarasannya?” Matanya tampak terluka menatap sang ibu yang maniknya terlihat kosong dan tak bernyawa bak boneka “Ini … semua terjadi tidak lama setelah aku pergi?” Galvin menghampiri sang ibu yang dahulu telah begitu berbaik hati mengangkatnya, seorang anak panti asuhan, dan merawatnya layaknya putra kandung sendiri. Dia pun berlutut di hadapan sang ibu, lalu menyentuh wajah pucat wanita itu. ‘Dingin,’ batin Galvin dengan kening berkerut. Dia pun mengarahkan tangannya pada pergelangan tangan sang ibu, mengecek nadinya. ‘Ini–!’ Pandangan pria itu berubah dingin seiring dirinya berdiri. Benak Galvin memutar cerita yang dilontarkan oleh sang adik tadi. Setelah dirinya dinyatakan sebagai pembunuh ahli waris Keluarga Bintara dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Pulau Mata, perusahaan keluarga ayahnya terkena dampak penurunan saham. Namun, h
"A-Apa? Racun?!" Lisa terlihat begitu terkejut mendengar ucapan Galvin. Seluruh tubuhnya bergetar. Di saat mendapatkan cukup sampel, Galvin pun membalut jari ibunya. Di dalam hati, pria itu membatin, ‘Sepertinya, daftar hitamku bertambah panjang.’ Matanya memancarkan aura membunuh yang kuat. ‘Paman Anson, ya? Jadi dia–’ KRAK! Tepat ketika Galvin baru saja selesai membalut jari ibunya dan memikirkan tentang sang paman, suara dentuman keras dari ruang utama terdengar. Keributan tersebut pun membuat Galvin melihat Lisa berlari cepat ke luar kamar. Pria itu mengikuti dengan waspada lantaran sejumlah langkah kaki terdengar menghampiri. BRAK!Belum sempat Galvin dan Lisa mencapai pintu, pintu utama kediaman mereka ditendang terbuka. Seorang pria muda bertubuh kurus dalam balutan jas mewah dan celana hitam muncul bersama dengan sejumlah penjaganya. Kala dirinya mendaratkan pandangan pada Lisa, seringai sombong terlukis di wajah pria muda tersebut seraya dia mengumumkan, “Lisa Wijaya, ha
“Racun dalam tubuh Mama Anda akan sepenuhnya bersih dalam tiga jam,” ujar seorang dokter berpakaian seragam militer seraya memberikan laporan di tangannya kepada seorang suster. “Kondisi tubuhnya juga kian membaik, seharusnya dia akan sadar dalam waktu dekat,” imbuh pria tersebut sembari menatap Lisa dengan senyum sopan. Mendengar ucapan sang dokter, wajah Lisa berbinar. Dia tersenyum bahagia seraya berulang kali berucap, "Terima kasih banyak, Dok. Sungguh terima kasih!" "Tidak masalah, Nona,” balas sang dokter melihat reaksi Lisa. Karena tugasnya sudah selesai, dokter tersebut pun berkata, “Saya pamit undur diri terlebih dahulu. Jaga ibumu dengan baik, Nona." Pria itu mengangguk pamit sebelum membalikkan badan untuk pergi Bersama sang suster. Lisa mengantar kepergian sang dokter, lalu berhenti di depan pintu. Awalnya, dia ingin langsung kembali ke dalam ruangan, tapi di sudut matanya, gadis itu menangkap keberadaan sang kakak, Galvin. Dengan tangan terlipat di depan dada bidang pr
'Kakak pasti mengenal Javon setelah dia keluar dari Aberleen, yang berarti saat dirinya berada di penjara. Namun, bagaimana mungkin seorang narapidana bisa mengenal seorang pejabat tinggi militer?' Semuanya terasa begitu aneh bagi Lisa. Akan tetapi, teringat ucapan Galvin untuk mempercayainya, Lisa pun tidak lagi bertanya-tanya. Dia hanya sangat bersyukur Galvin telah kembali, terlebih karena dia yakin pria itu bisa melindungi mereka. "Kakak, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Lisa dengan bingung seraya menatap mata Galvin dalam-dalam. " Setelah Kakak mematahkan tangan Kevin, tidak mungkin paman akan diam saja!" Mengingat bagaimana pria itu bisa sekejam itu mencoba meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson akan mencoba menyakiti Galvin. Sehingga, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Wajah manis gadis itu berkerut memikirkan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh sang paman. Mengingat bahwa sang paman telah berusaha meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson—pamannya—pasti
*Sepuluh tahun yang lalu*Malam itu, Keluarga Wijaya berkumpul untuk makan malam seperti biasanya.“Selamat atas keberhasilan proyeknya, Kak Galvin!” ujar Lisa seraya menaikkan gelas jusnya untuk bersulang demi mengucapkan selamat terhadap keberhasilan sang kakak dalam karirnya. “Bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar itu di usia yang begitu muda, memang kakakku yang paling jenius!” puji gadis tersebut dengan tawa bangga.Mendengar ucapan sang putri, ayah Galvin dan Lisa langsung berceletuk, “Itu karena Galvin anak Papa!” Pria itu mengangkat dagunya bangga. “Kakakmu memang pintar, ditambah didikan Papa, makanya dia jadi sehebat ini di usia yang begitu muda!”Ibu Galvin pun menyenggol sang suami. “Perasaan yang lebih sering ngehabisin waktu sama anak-anak Mama deh? Kok Papa doang yang ngaku-ngaku berjasa, hmm?” goda sang istri membuat sang suami meneguk ludah.“T-tapi ‘kan yang ajarin Galvin soal perusahaan Papa, Mama ajarinnya yang lain,” balas ayah Galvin, sukar mengalah. Namun,