Pada pagi hari, di depan pintu kampus tidak terlalu ramai. Janice yang merasa lelah ditarik Jason masuk ke dalam mobil. Meskipun sudah berusaha memberontak, Janice tetap tidak mampu melawan Jason.Janice memandang Jason. Dia baru menyadari Jason melihatnya dengan sinis, seperti menganggap dia memberontak hanya untuk menarik perhatian Jason.Janice benar-benar lelah dan tangannya terkulai. Jason menarik Janice, lalu mengangkat dagunya dan membelai dahinya yang membengkak.Jason berujar, "Sepertinya kamu belum jera. Kenapa kamu keluar dari rumah sakit?"Jason berbicara dengan santai, seolah-olah orang yang menyuruh Janice berdamai bukan dia. Janice memandangi Jason. Dia benar-benar tidak memahami pria ini.Melihat Janice tidak berbicara, Jason menjepit dagu Janice dengan kuat. Janice seperti mainan Jason yang bisa dikendalikannya sesuka hati.Janice yang merasa dipermalukan memukul tangan Jason dengan kuat. Suasana di dalam mobil menjadi hening. Punggung tangan Jason memerah.Janice pani
Janice dipaksa mengikuti Jason ke apartemen Vania. Begitu keluar dari lift, dia langsung melihat jejak darah di lantai dan cat merah di pintu. Semuanya sangat mencolok dan mengerikan.Belum sempat Janice bereaksi, Jason sudah bergegas masuk ke apartemen. Dia disambut oleh teriakan kesakitan seorang pria dan tangisan Vania.Vania berujar, "Jason, aku takut banget! Aku takut ...."Suara tangisannya menyadarkan Janice. Dia pun segera masuk ke dalam apartemen. Pemandangan yang Janice lihat adalah seorang pria tergeletak di lantai dengan wajah garang. Mulutnya penuh darah dan tangannya masih mencengkeram pisau.Di seberangnya, Vania memegang lengannya yang berdarah. Dia terlihat lemah di pelukan Jason. Wajahnya yang cantik sangat sedih.Pria itu terus menghina Vania, "Dasar wanita murahan! Kamu jago di ranjang, kenapa nggak biarkan aku menikmatinya juga? Padahal kamu memang wanita seperti itu!"Vania menangis dengan sedih. Dia membalas, "Nggak, bukan seperti itu. Aku bukan ...."Pria itu te
Janice hanya bisa menyaksikan dirinya sendiri berdarah. Sementara di seberangnya, Jason menarik Vania ke belakangnya untuk melindunginya.Di belakang Jason, wanita itu tersenyum. Janice melihat pemandangan itu dengan wajah pucat, lalu tersenyum pahit ....Tak lama kemudian, polisi tiba di tempat kejadian. Salah satu dari mereka bertanya, "Siapa yang lapor polisi?""Aku," jawab Jason. Dia dengan dingin menunjuk Janice, lalu menambahkan, "Dia pelakunya, cepat dibawa pergi."Polisi melihat luka di tangan Janice. Salah satu dari mereka berucap dengan terkejut, "Banyak sekali darah. Kami harus membalut lukanya dulu."Namun, Jason bahkan tidak meliriknya dan malah berbicara dengan tegas, "Bawa dia pergi. Dia harus tanggung sendiri akibat dari perbuatannya."Usai pria itu berkata demikian, Janice langsung diborgol. Salah satu polisi khawatir dengan keadaannya sehingga menggunakan perban untuk menghentikan pendarahan di lukanya.Saat perban ditekan ke luka, Janice merasakan sakit yang luar bia
Ivy buru-buru tiba di kantor polisi. Saat melihat tangan Janice yang terluka, wajahnya langsung pucat ketakutan.Ivy bertanya, "Apa yang terjadi? Baru keluar dari rumah sakit, kok sudah terluka lagi? Kamu ini seorang desainer, tanganmu sangat penting!"Janice jelas mengerti betapa pentingnya hal itu, lalu apakah Jason tidak mengerti? Dia tetap saja menendang pria itu ke arahnya. Jika begitu, biarlah masalah ini berlanjut.Janice mengusap rambutnya sambil berucap, "Aku baik-baik saja. Bu, aku nggak bertele-tele lagi. Apa hal yang kuminta kamu tanyakan sudah ada jawaban?"Ivy menggenggam tangan putrinya dengan penuh kekhawatiran. Dia menangis karena sakit hati. Setelah beberapa saat, dia baru bisa menjawab, "Sudah. Lihatlah ini."Ivy mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan isinya hanya kepada Janice. Setelah melihatnya, Janice justru merasa sedikit lega. Dia berucap, "Ternyata benar."Ivy mengerucutkan bibirnya, lalu bertanya, "Janice, sekarang gimana? Baru saja masalah Calvin selesai, ka
Janice membalas, "Ini bukan soal dia dan Calvin yang berbeda. Ini karena dia berbeda denganku. Dia suci, mulia, dan dia adalah wanitamu. Kalau aku?""Aku bukan siapa-siapa. Jadi, aku nggak pantas bersaing sama Vania, nggak pantas melawan, dan nggak pantas membela diri. Aku harus tunduk, menerima nasib, menyerahkan segalanya, dan mengakui semua kesalahan. Benar, 'kan?" tanya Janice."Jason, apa kamu pernah berpikir setelah aku melakukan semua itu, apa yang akan terjadi? Apa kalian akan melepaskanku begitu saja? Jadi, apa yang harus kulakukan? Mati saja?" tanya Janice.Setiap kata Janice menusuk hati. Setelah mengatakannya, dia sendiri malah tertawa. Dia mengangkat tangan yang terluka di hadapan Jason dan menggoyangkannya, lalu melanjutkan, "Cuma beberapa milimeter lagi, sarafku akan putus. Kamu pasti kecewa, 'kan?"Janice melanjutkan, "Kalau tanganku hancur, Vania akan jadi satu-satunya wakil kampus dalam kompetisi. Setelah itu, opini di internet akan berbalik.""Mereka akan bilang aku
Janice berpikir sejenak dengan tenang, lalu mendekat ke satu-satunya polisi bisa dia percaya dan memberi tahu, "Maaf, bisa tolong ....""Oke," jawab Priska sambil mengangguk. Setelah memberikan semua instruksinya, Janice merasa lega.Supaya tidak membuat Priska berada dalam situasi sulit, dia menarik napas dalam sebelum berucap, "Aku sudah kasih tahu semuanya. Aku nggak bakal membiarkanmu menyinggung orang lain. Silakan tangani aku sesuai prosedur."Priska bersikap baik pada Janice. Jika sampai dia terlibat masalah dengan Jason karena dirinya, tentu saja Janice akan merasa tidak enak. Itu sebabnya, Janice mengangkat tangan yang diborgol dengan patuh.Priska menatapnya dengan ragu, lalu tiba-tiba berucap sambil tersenyum, "Sebenarnya ...." Dia mulai berbicara, tetapi setelah itu menjadi ragu dan tidak melanjutkan ucapannya.Kemudian, Priska bertanya dengan makna yang mendalam, "Kamu nggak merasa lebih aman tinggal di sini?""Aman?" Janice sedikit bingung, tetapi dia tetap membalas sambi
"Nona Janice, sebagai pengacara, aku harus dengan bertanggung jawab memberitahumu bahwa ini adalah hasil terbaik untukmu," ucap Wilson dengan tak acuh. Dia seolah yakin bahwa Janice yang tidak memiliki dukungan hanya bisa menerima nasibnya.Janice menutup naskah pidato itu dan menatap Wilson tanpa berkata apa-apa. Di bawah tatapan Janice yang tegas, Wilson tiba-tiba merasa sedikit tidak yakin."Nona Janice, kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Wilson."Pak Wilson, seingatku kamu pernah dikejar-kejar karena bantu orang miskin menangani kasus secara gratis. Itulah yang bikin Keluarga Karim menghargaimu, 'kan?" tanya Janice dengan nada lembut.Wilson tertegun sejenak. Masa lalunya itu hanya diketahui oleh Jason dan Anwar. Lantas, bagaimana Janice bisa mengetahuinya?Sebagai pengacara yang berpengalaman, Wilson dengan cepat kembali tenang. Kemudian, dia bertanya, "Memangnya kenapa?"Janice berucap, "Ketika mengatakan semua ini padaku, apa hatimu merasa tenang? Lupakan soal kasus Vania
Jason tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya melirik sekilas ke arah Janice dengan ekspresi yang makin dingin. Pria itu memancarkan sikap yang jelas melarang orang mendekat. Di dalam hati, Janice mencibir. Itulah Jason yang dia kenal.Pada saat itu, terdengar suara tegas dan tajam dari belakang. "Janice, kenapa masih berdiri di sana? Semua orang lagi menunggumu." Anwar yang berbicara demikian.Janice berbalik dan melihat bahwa di belakang Anwar, ada ibunya dan Zachary. Biasanya, dua orang ini sama sekali tidak punya posisi penting dalam acara sebesar ini.Tidak disangka, kali ini mereka muncul di situasi yang sangat tidak menyenangkan. Jelas, Anwar khawatir bahwa Janice akan berubah pikiran dan menolak untuk naik panggung."Janice ...." Zachary terlihat serius dan mencoba mendekat untuk melindungi Janice.Namun, Janice segera menggeleng padanya sambil berujar, "Cukup temani ibuku saja."Di bawah tatapan peringatan dari Anwar, Janice akhirnya naik ke panggung. Di antara hadirin, Calvin yan
Hanya dari perbandingan desain, Zion langsung tahu bahwa kalung itu adalah karya Janice. Dia memang ada di sini.Zion melanjutkan, "Aku menemukan kalung milik ibu hamil itu dipesan secara custom oleh suaminya di toko perhiasan daring bernama Vega Jewelry. Lokasinya juga ada di Moonsea Bay. Penulis komik itu juga tinggal di Moonsea Bay."Landon mengangguk. "Masih ingat waktu Rachel ngotot ingin punya anak? Aku ingat dia bilang sudah menyiapkan nama anaknya, namanya ....""Vega. Dia belum hamil, tapi dia sudah yakin banget kalau itu anak perempuan," ucap Zion.Landon menatap nama toko perhiasan itu, seakan-akan semakin yakin. "Sepertinya nama ini Rachel dengar langsung dari mulut Jason."Begitu kalimat itu selesai dilontarkan, ponsel Zion berbunyi."Pak, dia baru saja pulang dari rumah sakit. Jangan-jangan dia sudah tahu Bu Janice dan anaknya di Moonsea Bay? Setahuku di Moonsea Bay cuma punya satu TK, hari ini baru saja ada kejadian."Kening Landon berkerut. "Berarti semua omonganku wakt
Janice kembali menggendong Vega, lalu menurunkannya dan mulai berkemas lagi. Saat hendak pergi, dia teringat pada kecelakaan di taman kanak-kanak.Dia mengenal sebagian besar anak-anak di sana. Jadi, dia segera membuka ponsel dan mentransfer 100 juta kepada guru, dengan catatan untuk anak-anak yang terluka.Tak lama kemudian, guru mengembalikan uang itu dan mengirimkan sebuah pesan.[ Mama Vega, Pak Jason sudah menanggung seluruh biaya pengobatan anak-anak yang terluka. ]Kenapa Jason bisa ada di rumah sakit? Jangan-jangan dia memang datang untuk menyumbang?Saat sedang berpikir, guru mengirim pesan lagi.[ Kata Kepala Sekolah, Pak Jason memang sudah lama ada di grup donor darah. Tapi karena nggak bisa donor darah, dia cuma menyumbang. Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Terima kasih, Mama Vega. Bagaimana kondisi Vega sekarang? ][ Baik. Oh ya, aku ingin mengajukan cuti seminggu untuk Vega. ][ Boleh. Mohon tetap perhatikan kondisi Vega ya. Kalau ada masalah, beri tahu kami
Jason menggigit bibirnya. "Bagaimana kalau kami nggak setuju?"Jason menjawab dengan tenang, "Aku akan membuatmu setuju."Namun, kalimat ini terdengar seperti ancaman bagi Janice. Dia menatap Jason dengan tajam, lalu memasukkan tangannya yang sudah diobati ke dalam sakunya. Saat Jason sedang mengobati luka di tangan lainnya, dia mengeluarkan tongkat listrik mini anti pemerkosa.Setelah disetrum, tubuh Jason langsung menjadi kaku. Dia menatap Janice dan bertanya dengan nada bicara yang biasanya dingin dan sombong menjadi serak, "Apa kamu begitu membenciku?""Benci! Aku benci kamu!" teriak Janice sambil memalingkan wajahnya.Jason langsung terjatuh ke tanah dengan kuat.Setelah mematikan tongkat listrik itu, Janice segera menggendong Vega dan berlari keluar.Beberapa detik kemudian, Jason membuka matanya. Setelah perlahan-lahan bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, dia menatap ke arah perginya Janice sambil menghela napas. Saat seorang perawat masuk, dia langsung melirik dan memperin
Teringat dengan putrinya, Janice akhirnya berhenti melangkah dan memberi isyarat pada putrinya untuk segera ke sampingnya. Namun, Vega yang sedang memegang susunya pun langsung menarik keluar kakinya dari dalam jaket Jason sebagai isyarat dia tidak memakai sepatu. Dia hanya bisa berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan dan berusaha untuk tetap tenang. "Pak Jason, ini bukan anakmu.""Apa aku sudah tanya?" kata Jason sambil menarik pakaiannya dan membungkus kaki Vega, lalu perlahan-lahan berdiri di depan Janice.Saat Jason menatapnya, Janice merasa punggungnya sudah penuh dengan keringat dingin. Tatapan Jason terlihat dominan dan obsesif, tetapi terasa ada sebuah perasaan yang berbeda saat mendekatinya sampai dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Dia menggigit bibirnya karena menyadari Jason pasti sudah menyelidiki segalanya baru bisa muncul di sini.Namun, saat Janice ingin menghindar, tatapannya malah bertemu dengan tatapan Jason. Begitu keduanya saling memandang, waktu terasa berhent
Jason tersenyum. "Baiklah, aku akan menunggu."Saat Jason menerima Vega yang agak memberontak, Hady langsung tertegun saat menatap mereka. "Pantas saja aku merasa kamu begitu familier, kalian berdua ....""Keluarga pasien! Keluarga pasien!" teriak perawat."Aku segera ke sana," jawab Hady.Setelah Hady pergi, Vega mengangkat kepala dan menatap wajah Jason. Namun, dia tidak menangis ataupun marah.Meskipun anak itu ada di depan mata, Jason masih merasa semuanya tidak nyata. Dia memeluk Vega dengan lebih erat dan menarik Vega agar lebih dekat dengan hati-hati. Saat dia bisa mencium aroma khas tubuh Vega dan bahkan ada sedikit bau Janice yang samar-samar, dia baru berani yakin anak ini adalah Vega di mimpinya. Hanya saja, wajah anak ini lebih bulat daripada wajah Vega di mimpinya.Mulut Jason bergerak, seolah-olah ada banyak hal yang ingin ditanyanya. Namun, saat dia hendak membuka mulut, Vega yang berada dalam pelukannya bergerak beberapa kali dan menunjuk mesin penjual otomatis di loron
Saat pria itu hendak memakaikan kalung itu pada istrinya, Jason tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Kalung ini dari mana?"Nada bicara Jason yang dingin membuat pria itu terkejut dan menjawab, "Dari ... Vega Jewelry. Bosnya adalah orang dari desa kami. Dia menjual perhiasan, sangat hebat."Wanita yang baru saja melewati kontraksinya pun meninju suaminya. "Apanya yang penjual perhiasan? Ini namanya desainer perhiasan.""Ya, aku memang mudah lupa," kata pria itu.Jason menatap desain pita yang pita yang istimewa itu. Dari lekukan hingga ukiran yang kecil-kecil di atasnya, semuanya itu adalah gaya khas Janice. Tenggorokannya terasa kering dan bertanya dengan suara serak, "Siapa?""Ja .... Ah! Sakit sekali!" teriak wanita itu tiba-tiba sebelum selesai menjawab pertanyaan Jason, lalu mencengkeram suaminya dan Jason dengan erat.Begitu pintu lift terbuka, kebetulan ada seorang perawat yang melihat kejadian itu dan segera memanggil orang untuk membantu. Saat dokter bertanya te
Nama yang tertera di sepatu itu adalah Vega.Saat itu, seorang guru yang sedang menjaga ketertiban di lokasi itu segera berlari mendekat. "Mama Vega, Vega nggak ada di sini. Anak-anak yang terluka parah sudah segera dibawa ke rumah sakit kota.""Terluka parah?" tanya Janice dengan suara bergetar.Guru itu menggigit bibirnya, lalu berkata, "Kepala sekolah sudah pergi ke sana, kamu juga segera pergi ke sana saja."Janice baru saja hendak berbalik, tetapi tubuhnya langsung ambruk.Arya segera memapah Janice. "Aku antar kamu ke rumah sakit."Janice hanya bisa menahan air matanya dan menganggukkan kepala. Setelah berlari ke rumah sakit dan diberi petunjuk oleh perawat, dia pun menemukan lantai tempat para korban kecelakaan TK dirawat. Di tengah kerumunan, dia langsung menemukan gurunya Vega. "Guru, mana Vega? Dia baik-baik saja, 'kan?""Vega baik-baik saja. Saat aku membawanya untuk menghindar, aku terpaksa membawanya bersamaku ke rumah sakit karena aku harus buru-buru mengantar para korban
Begitu mendengar terjadi kecelakaan di TK, Janice tanpa ragu langsung berlari keluar. Arya dan Louise segera mengikuti dari belakang."Kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil di TK?" tanya Arya."TK ini dibangun di lereng. Saat bus pariwisata turun dari bukit, sopirnya juga nggak tahu kenapa nggak menginjak rem dan langsung menerobos masuk ke TK. Saat itu banyak anak-anak yang sedang bermain .... Aduh, tunggu aku!" jelas Louise.Hanya mendengar penjelasan singkat dari Louise, naluri menyelamatkan sebagai seorang dokter membuat Arya langsung tahu kecelakaan ini sangat parah.Saat ini, sebuah bus besar terjepit di tembok TK. Bagian depan bus sudah menerobos masuk ke lapangan bermain sepenuhnya, sedangkan bagian belakangnya tergantung. Banyak orang di sekitar yang sedang membantu dan banyak anak yang diangkut keluar dengan menangis terisak-isak.Janice segera berlari mendekat dan menarik seorang anak yang sedang memegang lengannya. Anak itu adalah teman sekelas Vega. "Mana Vega?"Anak itu me
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar