Share

Pembalasan sang Istri Tertindas
Pembalasan sang Istri Tertindas
Author: Danira Widia

Bab 1

Author: Danira Widia
Sesuai aturan, krematorium tidak mengizinkan keluarga untuk menyaksikan proses kremasi. Namun, Janice Sinclair membayar sejumlah uang agar bisa masuk ke ruang pembakaran. Dengan langkah goyah, dia menopang tubuhnya yang lemah di samping ranjang besi yang dingin.

Udara di dalam ruangan terasa panas, dengan abu yang beterbangan di bawah cahaya matahari. Mungkin itu adalah sisa-sisa tulang yang sudah terbakar.

Tak lama lagi, putri kesayangannya, Vega, juga akan berubah menjadi abu yang sama.

Janice mengenakan gaun hitam panjang. Meski sudah memakai ukuran terkecil, gaun itu tetap tak bisa menyembunyikan tubuhnya yang kurus dan ringkih. Matanya yang sembap dan merah karena terlalu banyak menangis, kini terlihat begitu tenang seolah-olah air mata itu telah mengering.

Dengan perlahan, dia menyentuh tangan kecil Vega yang kaku dan pucat di bawah kain putih itu. Di telapak tangan putrinya, Janice meletakkan dua bintang kertas berwarna merah muda yang dia buat sendiri.

"Vega, tunggu Mama, ya."

Waktunya habis.

Seorang petugas krematorium mendekati Janice, lalu menariknya pelan dan membuka kain putih itu. Di bawah kain, terlihat tubuh kecil Vega. Meski usianya sudah delapan tahun, tubuhnya tampak sangat kurus, dengan tulang-tulangnya yang terlihat jelas dan ada lekukan di bagian perutnya.

Melihat lekukan itu, air mata Janice mengalir lagi memenuhi hatinya dengan perasaan bersalah yang begitu dalam. Ini semua salahnya. Dia tidak bisa melindungi Vega.

Salah satu petugas krematorium berusaha menghibur Janice, "Yang tabah ya, setidaknya ginjal putri Anda berhasil menyelamatkan seorang anak. Anak itu akan menjalani hidup yang bahagia berkat Vega."

Tatapan Janice berubah tajam dengan senyum dingin di sudut bibirnya.

"Ya. Anak itu adalah anak haram suamiku. Sekarang mereka sedang mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran untuknya. Tahu nggak? Hari ini juga ulang tahun putriku."

Petugas itu tertegun dan tidak tahu harus berkata apa untuk merespons keputusasaan yang begitu dalam di mata Janice.

Janice menatap tubuh Vega dengan senyuman getir. "Bakar saja, jangan buang-buang waktu. Semoga di kehidupan selanjutnya, Vega bisa menemukan keluarga yang benar-benar mencintainya."

Petugas itu menghela napas dan membawa tubuh Vega menuju krematorium dengan lembut. Mungkin karena rasa iba, dia menutupi proses pembakaran agar Janice tak melihatnya. Namun, Janice tidak merasa takut. Bagi Janice, Vega kini telah bebas.

Putrinya tak lagi harus menanggung kebencian ayahnya setiap hari.

"Mama, kenapa Papa nggak suka sama aku?"

"Mama, kenapa Papa suka sama anak Bibi Vania?"

"Mama, apa Papa nggak suka sama Mama karena aku? Maaf ya, Mama."

Putri sebaik ini malah dicelakai oleh Jason sampai meninggal!

Janice masih ingat dengan jelas. Seharusnya malam sebelum ulang tahun Vega, suaminya berjanji akan membawa putri mereka ke taman hiburan terbesar untuk mewujudkan impiannya, yaitu menghabiskan waktu bersama ayahnya.

Namun, kenyataannya berbeda. Dia justru membawa Vega ke ruang operasi untuk menyumbangkan satu ginjalnya kepada anak laki-laki hasil dari hubungan gelapnya. Setelah itu, Vega dibiarkan terbaring sendirian di ranjang rumah sakit dan mengalami infeksi hingga akhirnya meninggal dunia.

Yang paling memilukan lagi, Janice sebagai ibu adalah orang terakhir yang mengetahui hal ini!

Sampai saat ini, Janice tidak bisa melupakan saat dia menerobos masuk ke kamar rumah sakit dan menemukan tubuh kaku putrinya. Di samping ranjang, jam tangan anak-anak milik Vega yang berlumuran darah masih mencoba menghubungi nomor ayahnya.

Begitu panggilan tersambung, hanya ada satu kalimat yang terdengar dari sana, "Jangan gila seperti ibumu."

Tut ... tut ... tut ....

Mendengar suara itu, Janice memeluk erat tubuh putrinya dan berusaha keras menahan tangisannya. Dia takut jika menangis, dia akan membuat Vega ketakutan.

Sejak Vania membawa anaknya kembali dari luar negeri dan menuduh Janice telah menyakiti mereka, Janice pun didesak oleh suaminya hingga terkesan gila di mata semua orang.

Terutama ketika Jason mendengar pengakuan sedih Vania tentang bagaimana dia melahirkan seorang bayi prematur yang ginjalnya bermasalah di luar negeri, tatapan Jason terhadap Janice dan Vega berubah dingin.

Pria yang tampak begitu anggun dan terhormat itu ternyata bisa sekejam ini. Tanpa mendengarkan penjelasan apa pun, dia hanya mengutuk, "Janice, kamu sudah menghancurkan Vania dan putraku. Aku akan membuatmu menanggung akibatnya dua kali lipat."

Jason telah melakukannya dan semuanya telah berakhir. Ketika tersadar dari lamunannya, Janice kini sedang memegang sebuah guci abu berwarna merah muda di tangannya.

Vega sangat menyukai warna merah muda. Janice memeluk guci itu dengan erat sambil berkata, "Vega, ayo kita pulang."

Angin berembus mengibarkan gaunnya dan sinar matahari yang terik menyinari tubuhnya. Namun tetap saja, suasananya begitu sunyi dan penuh kesedihan.

....

Janice kembali ke rumah pernikahannya dengan Jason. Dia merapikan barang-barang milik Vega, lalu duduk memeluk guci abu itu hingga senja tiba.

Terdengar suara mobil berhenti di luar. Tak lama kemudian, sebuah sosok masuk dengan langkah yang tenang dan penuh wibawa. Pria itu adalah Jason.

Delapan tahun telah berlalu, tetapi Jason masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. Menawan, penuh wibawa, tetapi berbahaya dan dingin. Seperti biasanya, dia tidak pernah melihat Janice seolah-olah menganggap Janice hanyalah bayangan yang tak kasat mata.

Jason tidak menatap Janice sedikit pun saat melewatinya untuk naik ke lantai atas. Beberapa menit kemudian, dia turun dengan mengenakan setelan jas yang telah dia simpan selama bertahun-tahun. Setelan yang dirancang khusus oleh Vania saat mereka bertunangan.

Tetap saja, Jason tidak melirik Janice.

Selama delapan tahun ini, Jason selalu mengabaikannya. Setiap kali merasa ingin melampiaskan amarah, dia akan menekan Janice ke ranjang, lalu memuaskan dirinya dan pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Selain itu, Jason bahkan melarang Vega memanggilnya "Papa".

Mungkin karena Janice begitu tenang hari ini, Jason sempat berhenti sejenak meskipun dia tetap tidak berbalik. "Malam ini aku nggak pulang. Bilang sama Vega jangan telepon aku sembarangan," katanya dengan nada dingin.

"Hm," jawab Janice datar sambil mengelus guci abu di pelukannya yang seolah-olah masih terasa hangat seperti tubuh Vega. Jika saja Jason mau melihatnya sejenak, mungkin dia akan menyadari keberadaan guci abu itu.

Jason sibuk merapikan kancing mansetnya, lalu berkata dengan acuh tak acuh, "Pikirkan apa yang kamu inginkan dari perceraian ini. Dua hari lagi kita selesaikan semuanya. Aku nggak mau anak itu."

"Hm."

Janice tetap tenang. Syukurlah, Vega sekarang telah menjadi miliknya sepenuhnya. Tidak akan ada lagi yang merebutnya.

Tangan Jason sempat terhenti, tetapi dia tetap tidak memberikan perhatian pada Janice.

"Karena Vega sudah menyelamatkan nyawa Axel, aku akan menanggung biaya medis dan kebutuhan nutrisinya sepenuhnya. Tapi, aku nggak mau lihat kalian lagi. Anggap saja ini penebusan terakhir kalian."

"Hm."

Janice berpikir dalam hati, tidak lama lagi mereka memang tidak akan pernah bertemu lagi. Entah mengapa, Jason tiba-tiba merasa gelisah. Ketika dia hendak berbalik, panggilan dari Vania masuk.

Begitu telepon diangkat, terdengar suara anak kecil yang penuh kegembiraan memenuhi keheningan ruangan.

"Papa! Cepat datang! Aku dan Mama lagi tunggu Papa!"

"Papa sebentar lagi sampai," jawab Jason dengan suara yang lebih ceria. Tanpa disadari, langkahnya juga menjadi lebih cepat.

Dia sama sekali tidak menyadari bahwa wanita yang sedang memeluk guci abu di belakangnya, tubuhnya perlahan-lahan menjadi kaku, seolah-olah kehilangan seluruh kekuatannya.

Cahaya bulan mulai redup. Janice mengambil kue ulang tahun yang sebelumnya dia pesan untuk Vega dari dalam kulkas, lalu menyalakan lilin ulang tahun.

"Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun ...."

Sambil menyanyikan lagu itu dengan lembut, Janice menyiramkan bensin ke sekeliling rumah tanpa melewatkan satu sudut pun. Sebab, dia memang tidak berencana untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Jika saja dulu dia bisa lebih tegas menolak pernikahannya dengan Jason, mungkin semuanya tidak akan terjadi. Setelah semuanya selesai, Janice kembali duduk di meja makan dan memeluk guci abu Vega erat-erat.

"Vega, selamat ulang tahun. Tunggu Mama, ya."

Janice melemparkan lilin ulang tahun ke tirai ....

....

Di pesta, Jason tiba dengan Vania dan putranya dengan penuh semangat. Mereka bertiga disambut dengan pujian dari semua orang yang hadir, mengagumi betapa bahagianya keluarga itu. Tak sedikit pula orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mencela Janice.

Namun, seorang teman Jason yang berprofesi sebagai dokter mengerutkan alisnya dan berjalan ke arah Jason. "Pak Jason, maaf, tapi aku harus mengucapkan belasungkawa."

"Apa maksudmu?" tanya Jason dengan tanpa ekspresi sambil meneguk minumannya.

"Putrimu ... meninggal karena infeksi pasca operasi. Hari ini, Bu Janice membawanya ke krematorium."

Jason memandang dokter itu dengan dingin. "Janice kasih kamu berapa banyak uang?"

"Aku sudah kirimkan sertifikat kematiannya padamu dan kamu bilang sudah menerimanya, 'kan?"

Kata-kata itu membuat Vania yang merasa bersalah, menggenggam erat tangan putranya. Saat itu, telepon Jason berdering.

"Pak Jason, vila Anda terbakar."

Gelas di tangan Jason langsung terjatuh dan pecah, lalu dia berbalik dan pergi tanpa berkata apa pun.

Entah bagaimana, Jason tiba di vila dalam waktu singkat. Dia hanya tahu bahwa dia telah menekan pedal gas secepat mungkin. Saat dia tiba, rumah itu sudah dilahap api dengan hebat, seolah-olah ada sesuatu yang menusuk langsung ke hatinya.

Tirai yang terbakar jatuh ke tanah, memperlihatkan Janice yang duduk di depan kue ulang tahun dengan guci abu Vega di pelukannya. Seperti pertama kali mereka bertemu, Janice tersenyum padanya.

"Selamat tinggal. Aku benci kamu. Kalau saja semuanya bisa diulang kembali ...."

Sebelum Janice menyelesaikan ucapannya, rumah itu telah runtuh. Mungkin hanya halusinasi menjelang ajalnya, tetapi Janice merasa seperti melihat Jason berlutut.

Sudahlah. Vega sudah datang menjemputnya.

"Mama, Mama."

....

Siang itu, sinar matahari yang terik merajam bumi. Suasana di ruang tamu Keluarga Karim seolah-olah sedang dipanggang di atas api.

Suara pecahan cangkir teh yang menghantam lantai bergema. Pecahannya melukai kulit Janice, menimbulkan rasa sakit yang tiba-tiba menyadarkannya. Dia berlutut di tengah ruangan sambil menatap orang-orang di sekelilingnya dengan kebingungan.

Apa ini?
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (13)
goodnovel comment avatar
May_maya🌸
ceritanya menarik, aku lanjut baca deh, semoga sesuai ekspektasi ku y thorrr
goodnovel comment avatar
Joule Jin
gimana kak, udh ingat?
goodnovel comment avatar
Leonita Ainingrum
baca dlu kalo seru lanjut,,, sampai tamat,,...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 972

    Janice pernah kehilangan banyak rancangan desainnya karena kerja sama dengan Malia dan Vania di kehidupan sebelumnya, sehingga dia menjadi sangat waspada di kehidupan ini. Dia selalu mengunci komputernya setiap kali meninggalkan mejanya, bahkan sketsa yang tak terpakai pun disimpan di laci dengan kunci miliknya sendiri. Namun, dia tidak menyangka dia tetap menjadi target.Setelah mengamati sekelilingnya, Janice tetap tidak bisa langsung memastikan siapa yang sudah menyentuh komputernya. Daripada menimbulkan kecurigaan, dia memilih untuk tidak gegabah dan tetap tenang.Saat waktu minum teh sore tiba, rekan-rekan kerja memesan camilan dan kopi seperti biasanya. Kali ini, Janice sendiri yang berinisiatif turun ke bawah untuk mengambil pesanan. Setelah mengambil semua pesanan, dia meletakkan sepotong Black Forest yang dipesannya secara terpisah ke meja resepsionis.Resepsionis itu langsung terkejut. "Ini buat aku?""Ya. Untung semalam kamu bantu panggil ambulans untuk temanku. Kalau nggak,

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 971

    Yang sedang berbicara itu adalah Leah.Tatapan Jason menjadi dingin. "Menurutmu, kenapa aku di sini?"Ekspresi Leah tidak berubah, tetap tersenyum dan berkata, "Ini pertanyaan yang sulit, aku nggak bisa menebaknya.""Pelan-pelan saja menebaknya, tapi jangan sok pintar. Misalnya, orang yang paling nggak seharusnya muncul di saat seperti ini adalah kamu," kata Jason, lalu masuk ke mobil dan pergi.Leah tertegun sejenak saat menatap mobil itu menjauh, lalu tersenyum. Pria yang berhasil menarik perhatiannya ini memang berbeda dari yang lain.....Di dalam mobil, Jason sedang memejamkan mata untuk beristirahat.Norman melapor, "Orang yang mengawasi di bandara memang dari Keluarga Azhara. Utang judi Francis sebanyak enam miliar dilunasi Layla sekaligus, karyawan biasa di studio mana mungkin punya begitu banyak uang. Tapi, pihak itu sangat waspada, uang tunai yang diberikan ke Layla ini pakai koper dan sudah dicuci bos kasino."Yang berarti tebakan Jason memang benar, semua ini memang ulah Le

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 970

    Setelah berlagak sombong sesaat, polisi memberi tahu ibu Layla bahwa Francis sedang berjudi di kasino. Informasi ini didapat dari Layla. Dia pun buru-buru menarik putra sulungnya untuk kabur.Ketika polisi keluar untuk mencari mereka, ibu dan anak itu sudah lenyap. Mungkin mereka pergi mencari Francis untuk memberi peringatan.Polisi merasa agak lucu, bagaimana mungkin Francis bisa lolos?Polisi kembali ke ruang interogasi dan memberi tahu Layla tentang perilaku ibunya. Saat berikutnya, suara tangisan pecah. Dia pasti sudah mengerti, tidak akan ada yang bersedia membantunya.Janice dan Jason bertatapan, lalu melangkah masuk. Kebetulan, polisi keluar dari ruang interogasi. "Bu Janice ya? Layla bilang ingin bertemu denganmu."Janice mengangguk. Dia belum tahu siapa sebenarnya orang di belakang Layla. Dia lantas menoleh menatap Jason.Jason melepaskan genggamannya dari Janice. "Pergilah. Aku tunggu di luar.""Hmm." Janice mengikuti polisi masuk ke ruang interogasi.Wajah Layla berantakan

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 969

    "Bukan aku ... ah!" Sebelum Layla selesai berbicara, dia sudah ditampar oleh ibunya yang maju."Gadis murahan! Dari dulu sudah kusuruh pulang dan menikah, sekarang malah jadi liar!" bentak ibunya.Darah merembes di sudut bibir Layla. Dia bahkan tak sanggup mengeluarkan kata-kata.Saat ini, polisi berseragam datang membawa beberapa orang.Janice menatap lebih saksama dan menyadari bahwa yang mengikuti polisi adalah suami Sofia."Secepat ini sudah dapat bukti?""Nggak susah. CCTV di toko teh susu, CCTV di jalanan, CCTV di parkiran," sahut Jason.Janice terkejut menatapnya. "Kelihatannya kamu bantu banyak ya?""Bantu dia itu artinya bantu kamu. Lagian, ini semua berkat idemu," jawab Jason dengan tenang."Kedengarannya kayak pujian, tapi kenapa aku nggak senang?"Semua langkahnya seolah-olah sudah diprediksi oleh Jason.Jason mengangkat tangan dan memalingkan wajahnya, "Nikmati pertunjukannya."Saat ini, suami Sofia menunjuk ke arah Layla. "Pak Polisi, dia orangnya!"Layla terkejut dan men

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 968

    Saat Janice sadar kembali, kliennya sudah berdiri dan bersiap pergi. Dia segera tersenyum profesional, mengantar kliennya sampai ke luar.Belum sempat duduk, tangannya tiba-tiba digenggam erat."Ayo pergi," kata Jason.Janice refleks menoleh ke sekeliling, lalu berusaha melepaskan diri. "Di sini banyak orang, cepat lepasin."Karena berita viral di internet, sekarang dia hampir menjadi selebritas di Kota Pakisa. Tadi saja klien menatapnya lama saat masuk. Kalau bukan karena kemampuan profesionalnya, proyek itu mungkin gagal.Begitu Janice melepaskan sedikit, Jason kembali menggenggamnya. "Janice, matahari sangat cerah hari ini. Aku mau ajak kamu jalan-jalan.""A ... pa?" Janice terpaku sejenak, matanya membesar tanpa sadar. Dulu dia sering bilang Jason tak akan pernah bisa menggandengnya di bawah sinar matahari. Ternyata pria ini masih mengingatnya.Sebelum bisa merespons, Jason sudah menariknya keluar. Sinar matahari hangat, membuat tubuh terasa nyaman. Meskipun beberapa hari ini penuh

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 967

    "Aku susah payah menapak dan bertahan di sini, tapi Francis datang lagi. Dia nggak serius kuliah, setiap hari sok kaya, bahkan sekarang kecanduan judi. Meskipun begitu, orang tuaku tetap menyalahkanku, terus-terusan suruh aku tutupin utangnya.""Aku jelas-jelas sudah hasilin banyak uang, tapi sekarang aku masih harus tinggal di apartemen satu kamar!"Setiap kata Layla terdengar seperti tuduhan yang mengguncang, urat di lehernya menegang seolah-olah bisa pecah kapan saja.Namun, Janice tidak terpancing. Dulu mungkin dia masih bisa iba, sekarang hanya tersisa rasa muak."Itu semua bukan salahku ataupun salah Sofía. Kalau mau cari yang bertanggung jawab, cari orang tuamu, kakakmu, atau adikmu."Layla tertawa dingin melihat Janice tak terpengaruh. "Kalau mau salahkan, salahkan hidup kalian terlalu mulus! Siapa juga yang ingin lihat pernikahan sialan Sofia itu!""Dan kamu! Kenapa kamu bisa langsung masuk studio Amanda begitu balik ke sini? Bukannya kamu juga mengandalkan pria?" Dia mendonga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status