Di dalam aula leluhur Keluarga Karim, yang terletak di puncak tertinggi kawasan kediaman mereka, suasana mencekam menyelimuti ruangan. Bangunan dua tingkat itu berdiri megah, dengan balok-balok tinggi yang dilapisi emas setiap tahunnya. Di atas altar sembahyang, sebuah ornamen dua naga yang berebut mutiara dibuat dari emas murni, melambangkan kekuasaan dan kejayaan keluarga tersebut.Di depan meja persembahan, Anwar yang selama ini dikenal selalu tenang dan berwibawa, untuk pertama kalinya memperlihatkan kemarahan yang begitu jelas hari ini. Wajahnya memerah, matanya menyiratkan api amarah saat dia menatap Jason yang berdiri di tengah aula."Kali ini, kamu buat aku kecewa sekali! Siapa yang bocorin isi kontrak itu?!" Suaranya menggema di seluruh ruangan.Jason berdiri tenang, meskipun hujan deras di luar menambah aura dingin dan muram di sekitar dirinya. Wajahnya yang tajam tampak samar dalam cahaya remang-remang dengan ekspresi yang begitu tak acuh, seolah-olah badai yang mengamuk di
Setelah masuk ke kamar, Jason langsung berbaring di ranjang. Arya membuka jas yang menutupi tubuh Jason, lalu menarik napas dalam-dalam.Pengawal memang tidak mengerahkan tenaga yang terlalu besar, tetapi tiga cambukan pertama menggunakan segenap tenaga. Terutama cambuk yang direndam air, itu seperti duri yang menusuk daging."Kenapa tiba-tiba dicambuk? Sebelumnya karena kamu dan Janice ...." Usai mengatakan itu, Arya sontak memahami sesuatu. "Lagi-lagi dia? Dia memang khusus membuatmu sial ya?"Jason melirik Arya dengan dingin. Zachary yang berdiri di samping bahkan berdeham karena tidak menyukai penilaian Arya terhadap Janice.Arya tentu merasa canggung. Dia memakai sarung tangan untuk membersihkan luka Jason. Setelah beres, dia menghela napas lega. "Cuma tiga luka yang lebih dalam. Sisanya nggak parah. Orang yang mencambukmu juga menghindari titik vital. Jadi, kamu baik-baik saja."Usai berbicara, Arya mengeluarkan obat anti radang dan menyerahkannya kepada Jason. Saat Jason bangkit
Hujan turun dengan deras. Zachary berlari masuk ke rumahnya. Kebetulan, dia bertemu Janice."Paman.""Kamu sudah datang? Kenapa nggak masuk saja?""Tadi aku dan Ibu melihatmu ke aula leluhur. Apa ada masalah?" tanya Janice dengan hati-hati.Zachary meliriknya, lalu menghela napas. "Janice, kalau kamu ingin tahu, pergi saja ke tempat Jason."Tatapan Zachary seperti mengisyaratkan sesuatu. Jantung Janice lantas berdetak kencang. Tubuhnya juga terhuyung. Dia segera meraih kusen pintu. Meskipun ada kayu yang menusuk dagingnya, dia malah tidak merasa sakit.Setelah berpikir sejenak, Janice menggeleng. "Sudahlah, nggak usah lagi."Tidak peduli apa pun yang terjadi di aula leluhur, setidaknya tujuannya tercapai. Jason akhirnya menderita kerugian.Zachary menyadari perubahan yang ada pada Janice belakangan ini. Dia bertanya, "Janice, apa yang terjadi? Kenapa kamu begitu membenci Jason? Dia nggak semenakutkan yang kamu pikirkan.""Jangan dibahas lagi, Paman." Janice berbalik untuk menghindari p
Jason mengangkat tangannya dan mengisap rokoknya. Asap rokok yang diembuskan menutupi ekspresinya untuk sesaat.Ketika bertatapan, hati Janice seketika hampa. Dia mengepalkan tangannya, memaksakan dirinya untuk tetap tenang.Jason menunduk, lalu mematikan rokoknya di asbak dan berkata kepada Norman, "Suruh dia pergi."Janice mengalihkan pandangannya dan menatap tanaman di depan. Dia berujar dengan dingin, "Paman, terima kasih sudah membantuku. Lain kali nggak perlu lagi."Saat mendengarnya, tangan Jason sontak membeku. Dia memandang lekat-lekat punggung Janice yang menjauh, sampai akhirnya terdengar suara dari belakang."Kamu masih hidup, 'kan?" tanya Sera."Aku nggak bakal mati semudah itu," sahut Jason dengan dingin."Kamu memang peramal hebat. Dugaanmu benar, ada yang sudah nggak sabar. Keponakanmu pasti kasihan sekali padamu sekarang," goda Sera sambil mengikir kukunya.Jason menopang dagunya dengan tangan. "Dia baru saja menyuruhku menjauhinya.""Hahaha. Gimana kalau kamu serahkan
Meskipun merasa Jason tidak tahu malu, Janice tetap termangu melihat noda darah di tangan itu. Tiba-tiba, Jason menjatuhkan dirinya ke depan.Janice tanpa sadar menjulurkan tangan untuk memeluknya. Seketika, tercium bau alkohol yang kuat. "Paman, kamu sudah gila ya? Kamu terluka, tapi masih minum alkohol?""Ya, soalnya aku merasa nggak nyaman." Dagu Jason menempel dengan dahi Janice. Suaranya terdengar lelah.Janice bisa merasakan hawa panas pada tubuh Jason. Setelah ragu-ragu sejenak, dia akhirnya tetap bersimpati pada Jason. Dia menahan dada Jason dan berujar, "Kamu minum terlalu banyak. Aku bantu kamu telepon Pak Norman.""Norman sudah pergi.""Kalau begitu, aku telepon Vania saja. Dia pasti bisa merawatmu."Janice tidak ingin melihat Jason. Dia mundur sedikit untuk menjaga jarak. Jason langsung menghalanginya dan menatapnya dengan tatapan suram."Perhatian sekali kamu."Janice tahu pria ini menyindirnya. Dia menggigit bibirnya dan membalas, "Terima kasih atas pujianmu. Aku bantu ka
Hal ini membuat Jason teringat kembali pada ciuman tadi. Tatapannya menjadi makin suram.Janice tak kuasa merinding karena ditatap oleh Jason. Dia mendongak secara naluriah.Tatapan Jason menyapu wajah Janice, lalu akhirnya mendarat pada bibir ranumnya. Dia seolah-olah bisa merasakan masih ada kehangatan yang tersisa di sana. Dia tak kuasa menelan ludahnya."Mulutmu itu cuma bisa diam di situasi tertentu," ujar Jason.Napas hangat Jason mengenai wajah Janice. Janice tentu memahami maksudnya. Saat ini, Janice sontak terpikir pada sesuatu. Matanya dipenuhi amarah."Kamu bohong! Kamu nggak minum alkohol! Mulutmu nggak bau alkohol!""Pintar sekali, tapi ... sudah terlambat."Jason menunduk untuk menatap kaki mereka. Janice baru menyadari bahwa mereka telah masuk sejak tadi. Ketika dia menyadari hal ini, Jason sudah mengunci pintu dengan santai. Janice tidak mungkin bisa mengusirnya lagi."Berengsek!" Janice mengambil kunci pintu di atas lemari, lalu melemparkannya kepada Jason. Siapa sangk
Setiap tindakan Jason membuat Janice menegang. Entah sudah berapa kali dia menelan ludahnya saking gugupnya.Jason menyunggingkan bibirnya sambil melirik Janice dan bertanya, "Masih mau kuajari?"Begitu mendengarnya, Janice langsung tersadar dari lamunannya. Dia berpura-pura tenang sambil menyahut, "Nggak usah. Kamu sakit, aku seharusnya menjagamu.""Jangan bicara omong kosong." Jason memicingkan matanya.Janice menggigit bibirnya, lalu segera melepaskan kancing kemeja Jason. Terlihat otot yang kekar sekaligus proporsional, belum lagi sabuk Apollo yang membuatnya makin seksi.Janice menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya. Di sisi lain, Jason malah mendekatinya dan menggoda, "Cepat sekali kamu membuka kancing kemeja. Kamu pernah bantu siapa membuka kancing kemeja selain aku?"Tidak ada emosi apa pun pada ekspresi Jason, seolah-olah ini adalah sesuatu yang biasa. Namun, Janice malah makin gugup."Nggak ada," sahut Janice dengan suara rendah."Yoshua?" Jason seolah-olah ti
Kenapa Jason tidak pernah mengatakannya? Pikiran Janice menjadi kacau. Pertama perubahan Yoshua, sekarang rahasia Jason. Sebenarnya siapa yang tulus dan hanya berpura-pura?Janice memandang luka-luka itu, lalu menggigit bibirnya dan bertanya, "Paman, ayahmu sering menghukummu seperti ini?""Aku nggak bodoh," timpal Jason dengan tidak acuh."Kalau begitu, kapan saja kamu akan dihukum seperti ini?""Kalau ada yang nggak pakai otaknya waktu bertindak."Janice tahu Jason mengatakan dirinya. Jason yang begitu licik seharusnya tahu cara melindungi diri sendiri. Lantas, kenapa dia ....Ketika Janice masih merenung, Jason tiba-tiba menoleh dan memanggil, "Janice.""Hm?" "Sudah cukup pegangnya?"Begitu mendengarnya, Janice sontak tersadar dari lamunannya. Dia mendapati satu tangannya masih mengelus punggung Jason.Janice buru-buru menarik tangannya, lalu menunduk dan mencari obat di kotak P3K. "Eee ... kamu memang berdarah, tapi cuma robek sedikit. Aku oleskan obat. Tapi, aku bukan dokter prof
Hanya dari perbandingan desain, Zion langsung tahu bahwa kalung itu adalah karya Janice. Dia memang ada di sini.Zion melanjutkan, "Aku menemukan kalung milik ibu hamil itu dipesan secara custom oleh suaminya di toko perhiasan daring bernama Vega Jewelry. Lokasinya juga ada di Moonsea Bay. Penulis komik itu juga tinggal di Moonsea Bay."Landon mengangguk. "Masih ingat waktu Rachel ngotot ingin punya anak? Aku ingat dia bilang sudah menyiapkan nama anaknya, namanya ....""Vega. Dia belum hamil, tapi dia sudah yakin banget kalau itu anak perempuan," ucap Zion.Landon menatap nama toko perhiasan itu, seakan-akan semakin yakin. "Sepertinya nama ini Rachel dengar langsung dari mulut Jason."Begitu kalimat itu selesai dilontarkan, ponsel Zion berbunyi."Pak, dia baru saja pulang dari rumah sakit. Jangan-jangan dia sudah tahu Bu Janice dan anaknya di Moonsea Bay? Setahuku di Moonsea Bay cuma punya satu TK, hari ini baru saja ada kejadian."Kening Landon berkerut. "Berarti semua omonganku wakt
Janice kembali menggendong Vega, lalu menurunkannya dan mulai berkemas lagi. Saat hendak pergi, dia teringat pada kecelakaan di taman kanak-kanak.Dia mengenal sebagian besar anak-anak di sana. Jadi, dia segera membuka ponsel dan mentransfer 100 juta kepada guru, dengan catatan untuk anak-anak yang terluka.Tak lama kemudian, guru mengembalikan uang itu dan mengirimkan sebuah pesan.[ Mama Vega, Pak Jason sudah menanggung seluruh biaya pengobatan anak-anak yang terluka. ]Kenapa Jason bisa ada di rumah sakit? Jangan-jangan dia memang datang untuk menyumbang?Saat sedang berpikir, guru mengirim pesan lagi.[ Kata Kepala Sekolah, Pak Jason memang sudah lama ada di grup donor darah. Tapi karena nggak bisa donor darah, dia cuma menyumbang. Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Terima kasih, Mama Vega. Bagaimana kondisi Vega sekarang? ][ Baik. Oh ya, aku ingin mengajukan cuti seminggu untuk Vega. ][ Boleh. Mohon tetap perhatikan kondisi Vega ya. Kalau ada masalah, beri tahu kami
Jason menggigit bibirnya. "Bagaimana kalau kami nggak setuju?"Jason menjawab dengan tenang, "Aku akan membuatmu setuju."Namun, kalimat ini terdengar seperti ancaman bagi Janice. Dia menatap Jason dengan tajam, lalu memasukkan tangannya yang sudah diobati ke dalam sakunya. Saat Jason sedang mengobati luka di tangan lainnya, dia mengeluarkan tongkat listrik mini anti pemerkosa.Setelah disetrum, tubuh Jason langsung menjadi kaku. Dia menatap Janice dan bertanya dengan nada bicara yang biasanya dingin dan sombong menjadi serak, "Apa kamu begitu membenciku?""Benci! Aku benci kamu!" teriak Janice sambil memalingkan wajahnya.Jason langsung terjatuh ke tanah dengan kuat.Setelah mematikan tongkat listrik itu, Janice segera menggendong Vega dan berlari keluar.Beberapa detik kemudian, Jason membuka matanya. Setelah perlahan-lahan bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, dia menatap ke arah perginya Janice sambil menghela napas. Saat seorang perawat masuk, dia langsung melirik dan memperin
Teringat dengan putrinya, Janice akhirnya berhenti melangkah dan memberi isyarat pada putrinya untuk segera ke sampingnya. Namun, Vega yang sedang memegang susunya pun langsung menarik keluar kakinya dari dalam jaket Jason sebagai isyarat dia tidak memakai sepatu. Dia hanya bisa berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan dan berusaha untuk tetap tenang. "Pak Jason, ini bukan anakmu.""Apa aku sudah tanya?" kata Jason sambil menarik pakaiannya dan membungkus kaki Vega, lalu perlahan-lahan berdiri di depan Janice.Saat Jason menatapnya, Janice merasa punggungnya sudah penuh dengan keringat dingin. Tatapan Jason terlihat dominan dan obsesif, tetapi terasa ada sebuah perasaan yang berbeda saat mendekatinya sampai dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Dia menggigit bibirnya karena menyadari Jason pasti sudah menyelidiki segalanya baru bisa muncul di sini.Namun, saat Janice ingin menghindar, tatapannya malah bertemu dengan tatapan Jason. Begitu keduanya saling memandang, waktu terasa berhent
Jason tersenyum. "Baiklah, aku akan menunggu."Saat Jason menerima Vega yang agak memberontak, Hady langsung tertegun saat menatap mereka. "Pantas saja aku merasa kamu begitu familier, kalian berdua ....""Keluarga pasien! Keluarga pasien!" teriak perawat."Aku segera ke sana," jawab Hady.Setelah Hady pergi, Vega mengangkat kepala dan menatap wajah Jason. Namun, dia tidak menangis ataupun marah.Meskipun anak itu ada di depan mata, Jason masih merasa semuanya tidak nyata. Dia memeluk Vega dengan lebih erat dan menarik Vega agar lebih dekat dengan hati-hati. Saat dia bisa mencium aroma khas tubuh Vega dan bahkan ada sedikit bau Janice yang samar-samar, dia baru berani yakin anak ini adalah Vega di mimpinya. Hanya saja, wajah anak ini lebih bulat daripada wajah Vega di mimpinya.Mulut Jason bergerak, seolah-olah ada banyak hal yang ingin ditanyanya. Namun, saat dia hendak membuka mulut, Vega yang berada dalam pelukannya bergerak beberapa kali dan menunjuk mesin penjual otomatis di loron
Saat pria itu hendak memakaikan kalung itu pada istrinya, Jason tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Kalung ini dari mana?"Nada bicara Jason yang dingin membuat pria itu terkejut dan menjawab, "Dari ... Vega Jewelry. Bosnya adalah orang dari desa kami. Dia menjual perhiasan, sangat hebat."Wanita yang baru saja melewati kontraksinya pun meninju suaminya. "Apanya yang penjual perhiasan? Ini namanya desainer perhiasan.""Ya, aku memang mudah lupa," kata pria itu.Jason menatap desain pita yang pita yang istimewa itu. Dari lekukan hingga ukiran yang kecil-kecil di atasnya, semuanya itu adalah gaya khas Janice. Tenggorokannya terasa kering dan bertanya dengan suara serak, "Siapa?""Ja .... Ah! Sakit sekali!" teriak wanita itu tiba-tiba sebelum selesai menjawab pertanyaan Jason, lalu mencengkeram suaminya dan Jason dengan erat.Begitu pintu lift terbuka, kebetulan ada seorang perawat yang melihat kejadian itu dan segera memanggil orang untuk membantu. Saat dokter bertanya te
Nama yang tertera di sepatu itu adalah Vega.Saat itu, seorang guru yang sedang menjaga ketertiban di lokasi itu segera berlari mendekat. "Mama Vega, Vega nggak ada di sini. Anak-anak yang terluka parah sudah segera dibawa ke rumah sakit kota.""Terluka parah?" tanya Janice dengan suara bergetar.Guru itu menggigit bibirnya, lalu berkata, "Kepala sekolah sudah pergi ke sana, kamu juga segera pergi ke sana saja."Janice baru saja hendak berbalik, tetapi tubuhnya langsung ambruk.Arya segera memapah Janice. "Aku antar kamu ke rumah sakit."Janice hanya bisa menahan air matanya dan menganggukkan kepala. Setelah berlari ke rumah sakit dan diberi petunjuk oleh perawat, dia pun menemukan lantai tempat para korban kecelakaan TK dirawat. Di tengah kerumunan, dia langsung menemukan gurunya Vega. "Guru, mana Vega? Dia baik-baik saja, 'kan?""Vega baik-baik saja. Saat aku membawanya untuk menghindar, aku terpaksa membawanya bersamaku ke rumah sakit karena aku harus buru-buru mengantar para korban
Begitu mendengar terjadi kecelakaan di TK, Janice tanpa ragu langsung berlari keluar. Arya dan Louise segera mengikuti dari belakang."Kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil di TK?" tanya Arya."TK ini dibangun di lereng. Saat bus pariwisata turun dari bukit, sopirnya juga nggak tahu kenapa nggak menginjak rem dan langsung menerobos masuk ke TK. Saat itu banyak anak-anak yang sedang bermain .... Aduh, tunggu aku!" jelas Louise.Hanya mendengar penjelasan singkat dari Louise, naluri menyelamatkan sebagai seorang dokter membuat Arya langsung tahu kecelakaan ini sangat parah.Saat ini, sebuah bus besar terjepit di tembok TK. Bagian depan bus sudah menerobos masuk ke lapangan bermain sepenuhnya, sedangkan bagian belakangnya tergantung. Banyak orang di sekitar yang sedang membantu dan banyak anak yang diangkut keluar dengan menangis terisak-isak.Janice segera berlari mendekat dan menarik seorang anak yang sedang memegang lengannya. Anak itu adalah teman sekelas Vega. "Mana Vega?"Anak itu me
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar