Sopir melirik ponselnya. "Kalau begitu, aku bawa kamu melewati perumahan. Meskipun bisa menghindari beberapa lampu merah, aku nggak bisa menjamin akan tiba dalam waktu setengah jam.""Coba saja."Tidak ada cara yang lebih baik lagi.Sopir itu cukup andal.Dalam setengah jam, dia berhasil mengantarkan Janice ke persimpangan dekat studio. Namun setelah turun dari mobil, Janice melihat pergelangan kakinya yang bengkak dan memerah. Dia mengerutkan kening.Janice tidak bisa memastikan apa yang akan dipikirkan Vania jika melihat pergelangan kakinya, jadi dia harus mencari alasan yang masuk akal untuk cederanya. Sambil berpikir, dia melihat pot bunga semen di sampingnya.Dengan tekad bulat, dia langsung menggesekkan pergelangan kaki yang bengkak ke tepian pot bunga itu. Rasa sakit yang menusuk membuatnya duduk di tanah dengan keringat dingin bercucuran.Dia mengepalkan tangan, menahan sakit, lalu menelepon Malia. Sekarang, dia butuh seorang saksi Malia. Orang yang memberi bocoran pada Vania pa
Di dalam mobil. Sejak awal, Vania sudah melihat Janice. Dia sengaja memanfaatkan kesempatan itu untuk mencium Jason di depan Janice.Vania hanya ingin membuat Janice sadar bahwa tidur bersama bukan berarti apa-apa. Dialah wanita yang akhirnya dipilih oleh Jason.Namun, sebelum bibirnya menyentuh pipi Jason, lelaki itu mengangkat lengan untuk menghalangi tubuh Vania yang mendekat.Vania tertegun beberapa detik, kemudian menunjukkan ekspresi penuh rasa bersalah, "Jason, ada apa denganmu?"Jason mengambil selembar tisu dan menyeka bagian lengan bajunya yang bersentuhan dengan Vania, lalu berkata santai, "Warna lipstik itu nggak cocok untukmu."Dalam sekejap, wajah Vania memucat. Dia refleks menggigit bibir, tangannya menggenggam erat rok yang dikenakannya. Jason meliriknya dengan sinis, "Kenapa tegang?"Vania yang tersentak berusaha keras untuk terlihat lebih santai, meskipun jelas-jelas dipaksakan. "Ah, nggak apa-apa. Mungkin karena makan terlalu banyak waktu teh sore tadi. Gimanapun, me
Sopir segera menepikan mobil di pinggir jalan. Dia menatap lurus ke depan tanpa berani melihat ke belakang.Jason mengembuskan asap rokok dari bibirnya dan berkata dengan tenang, "Aku sudah memperingatkanmu untuk jangan kelewatan. Apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan.""Turun. Sopir keluargamu sudah mengikuti kita sepanjang jalan."Ucapan Jason membuat Vania kembali panik.Padahal, tadi dia mengatakan kepada Jason bahwa sopirnya ada masalah dan tidak bisa datang, sehingga Jason harus menjemputnya. Sekarang kebohongannya terbongkar, rasanya seperti ditampar dengan keras. Pipinya terasa panas, tetapi dia tidak rela turun begitu saja!Vania tidak percaya bahwa Jason tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadapnya. Kalau bukan perasaan, setidaknya nafsu pasti ada, 'kan? Apa Janice lebih baik darinya?Memikirkan itu, Vania nekat memeluk Jason erat-erat. Air mata menggenang di matanya, bahkan tanpa memedulikan penampilannya lagi, Vania meringkuk ke dalam pelukan Jason. "Jason, jangan b
Janice memesan taksi melalui ponsel. Namun, saat siang tadi, dia memesan dengan lokasi di persimpangan jalan. Karena terburu-buru, dia lupa memperbarui lokasinya. Ketika dia menyadarinya, sopir sudah menerima pesanan. Lantaran tidak ada pilihan lain, Janice terpaksa menahan sakit sambil berjalan menuju persimpangan.Meski jaraknya pendek, setiap langkah terasa sangat menyiksa.Kebetulan Malia keluar dari studio. Janice memanggilnya: "Malia, kamu ...." bisa bantu aku ke persimpangan depan nggak?Biasanya, Malia senang berpura-pura jadi sahabat baiknya, jadi tidak ada salahnya meminta bantuan sekarang. Namun belum sempat Janice menyelesaikan kalimatnya, Malia memotong sambil menatap pergelangan kaki Janice."Maaf, Janice, ibuku bilang punggungnya sakit waktu kerja tadi sore. Aku harus segera ke rumah sakit. Maaf, aku nggak bisa membantu. Aku pergi dulu ya."Wajah Malia tampak seperti merasa bersalah, tapi sorot matanya menyiratkan kepuasan. Dia membayangkan Janice akan terjatuh di tempat
Seperti biasanya, meskipun sebagai seorang dokter, gaya bicara Arya selalu seperti sedang membawakan komedi. Nada bicaranya selalu naik di akhir kalimat, penuh semangat dan harapan. Sangat kontras dengan wajahnya yang gila ketika bersama Vania.Kalau saja Janice belum melihat sosok asli Arya yang sebenarnya, dia mungkin juga akan berpikir bahwa berteman dengan Arya pasti sangat menyenangkan. Bahkan di kehidupan sebelumnya, Janice sempat berpikir bahwa dosa-dosa Arya mungkin terjadi karena tekanan dari Jason.Namun sekarang, dia sadar semuanya dilakukan Arya dengan sukarela. Saat Arya menangani operasi Vega, dia tidak pernah berniat membiarkan anak itu selamat.Memang benar, saat itu Vega adalah satu-satunya penghubung antara Janice dan Jason. Dengan adanya anak itu, Jason tidak mungkin menceraikan istrinya. Karena itu, dia hanya bisa memendam rasa iba terhadap Vania dan anak mereka yang tidak diakui, sembari berusaha melenyapkan Janice dan Vega.Dengan kerja sama Arya dan Vania, Janice
Seribu lebih? Itu tidak mungkin!Saat Arya bersama Vania, dia mengenakan jaket kulit dengan logo tim balap profesional. Karena penasaran, Janice sempat mencari informasi tentang logo itu di internet.Entah dia yang salah ingat tentang logonya atau bagaimana, tetapi dia tidak menemukan informasi apa pun tentang keterlibatan Arya dalam tim balap mana pun. Namun, Janice menemukan banyak syarat ketat untuk menjadi pembalap profesional. Salah satunya adalah syarat penglihatan yang sangat ketat.Seseorang dengan rabun lebih dari seribu di kedua mata sama sekali tidak mungkin menjadi pembalap profesional.Untuk sesaat, Janice tidak bisa menentukan mana yang benar. Apakah ini hanya trik lain dari Arya?Sambil berpikir keras, dia mengangkat wajahnya untuk memandang Arya. Tepat saat itu, Arya memiringkan tubuhnya untuk melihat hasil rontgen, dan dari sudut itu, Janice dapat melihat kacamatanya dengan jelas.Melihat melalui lensa itu saja membuat Janice merasa agak pusing. Berpura-pura seperti it
Tanpa menunggu Janice berpamitan, kursi rodanya langsung diputar menjauh dari kantor Arya.Begitu turun ke lantai bawah, langit sudah mulai gelap. Sopir yang menunggu di dekat mobil segera membukakan pintu. Melihat hal itu, Janice langsung menopang tubuhnya untuk berdiri dari kursi roda. "Paman, aku bisa naik taksi sendiri. Nggak perlu merepotkanmu."Namun baru satu langkah, kakinya seakan kehilangan kekuatan dan tubuhnya jatuh berlutut tepat di depan lelaki itu. Untungnya, Jason menangkapnya dengan sigap.Betapa memalukannya!Janice menunduk dalam-dalam, tidak berani mengangkat kepalanya.Di atas kepalanya, terdengar suara Jason berkata, "Kamu kecepatan ngasih salam tahun barunya. Apa uang THR dariku tahun ini masih kurang?"Janice menggigit bibir dan tidak bisa membalas. Memang benar, sejak dia tinggal di rumah Keluarga Karim, lelaki itu selalu memberinya THR setiap tahun.Jason merangkul pinggangnya, membantu Janice berdiri dan memaksanya menatap matanya."Kamu sopan sekali sama ora
Saat Janice hendak berbalik, dia mendengar suara yang tidak asing."Paman, lama nggak berjumpa. Aku senang sekali melihatmu baik-baik saja."Yoshua.Suara itu begitu lembut, seolah-olah sudah melekat pada dirinya dan membuat semua ucapannya terasa penuh kasih sayang. Bahkan ketika dia menyisipkan nada provokasi terhadap Jason, ucapannya tetap terdengar menenangkan.Janice perlahan mengangkat pandangannya dan bertemu dengan tatapan Yoshua yang kini berdiri di hadapannya. Senyum yang sama seperti dulu menghiasi wajahnya saat dia memanggil pelan, "Janice."Namun bagi Janice, suara itu bagaikan bisikan ular berbisa yang mendekat tanpa suara, lalu menyemburkan racunnya."Kak," sapanya dengan nada dingin.Dari Ivy, Janice mendengar bahwa Tracy membawa Yoshua kembali ke Keluarga Hariwan dengan alasan merawat orang tuanya. Kini, Yoshua adalah otak di balik kebangkitan Keluarga Hariwan dan jarang terlihat di Keluarga Karim.Hal itu membuat Anwar begitu kesal hingga akhir-akhir ini tidak ada seo
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se
[ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Jason menatap tulisan itu cukup lama sebelum akhirnya kembali tersadar. Tenggorokannya kering, suaranya serak saat berkata, "Tega sekali ...."Seolah-olah sudah bisa menebak isi surat itu, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jason lantas meletakkan kedua surat itu berdampingan, mengambil dua gelang kapibara dari dalam lemari.Plak. Suara kecil terdengar saat gelang itu melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia mengepalkan tangannya, menatap lekat-lekat dua kalimat yang menghantam hatinya.[ Kita jadian yuk. ][ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Seakan-akan baru saja mendapatkan sesuatu di detik sebelumnya, lalu langsung kehilangan di detik berikutnya.Wajah Jason perlahan memucat, matanya memerah. Dia menunduk sedikit untuk menyembunyikan kesedihannya."Janice, kembalilah."....Tiga tahun kemudian, di Moonsea Bay. Kurir bernama Hady sedang mengangkat paket-paket ke dalam mobil."Bu Janice, sepertinya tahun ini toko online-mu la
Kebetulan tangannya menyentuh kunci itu. Kira-kira, kunci yang satu lagi untuk apa?Jason mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat lemari yang terkunci. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamar utama, ruangan yang paling tidak ingin dia buka. Meskipun sudah berlalu begitu lama, aroma Janice masih memenuhi setiap sudut ruangan.Pandangannya akhirnya tertuju pada satu-satunya lemari di sudut ruangan yang tidak ditutupi kain penutup debu, seolah-olah sedang menuntunnya.Jason membawa kunci itu mendekat dan membukanya dengan mudah. Yang terpampang di depan adalah semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Janice. Janice tidak membawa apa pun.Bahkan, gelang kapibara yang mereka menangkan bersama di pasar malam bertahun-tahun lalu pun masih ada di sana.Dua gelang itu tersimpan di dalam lemari, masing-masing menekan dua pucuk surat. Satu surat beramplop merah muda sudah tampak memudar warnanya, jelas sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.Yang satu lagi hanya amplop
Jason sangat paham arti sebenarnya dari desakan Anwar soal anak. Selain untuk mengikatnya, itu juga cara agar Keluarga Karim dan Keluarga Luthan terikat erat satu sama lain.Jason tidak akan membiarkan Anwar mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itulah, dia sudah mempersiapkan segalanya sejak awal.Saat ini, seluruh ruang makan menjadi hening. Bahkan saat sendok di tangan Rachel jatuh ke lantai, tidak ada yang bereaksi.Semua orang tahu Ivy tidak bisa punya anak, sementara Zachary lebih memilih terus diserang daripada menceraikannya. Jadi, satu-satunya harapan garis keturunan Keluarga Karim ada pada Jason.Kini, Jason telah melakukan vasektomi. Itu artinya, dia benar-benar memutus harapan Anwar.Dada Anwar naik turun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Jangan bercanda seperti itu. Aku cuma seorang ayah yang ingin melihat cucuku lahir dengan mataku sendiri.""Kamu sudah punya cucu. Namanya Yoshua. Lupa secepat itu?" timpal Jason dengan datar."Yang sudah berl
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can
Setelah bertemu dengan pemilik penginapan, Janice mengatakan bahwa dia ingin menginap dulu di penginapan tersebut.Pemiliknya tampak ketakutan karena insiden bunuh diri wanita sebelumnya. Melihat Janice datang sendirian, tatapannya pada Janice terlihat aneh. Bukan karena nafsu, melainkan karena takut Janice mati di penginapannya tanpa ada yang tahu.Pemilik penginapan pun berbaik hati mengajak Janice tinggal di properti lain miliknya yang tidak dekat dengan pantai.Saat memberikan kunci, dia bahkan menasihati, "Kamu masih muda dan cantik, harus bisa move on. Di dunia ini masih banyak pria."Janice sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia tidak ada niat bunuh diri, tetapi si pemilik tetap tak percaya.Keesokan harinya, setelah Janice menandatangani kontrak sewa, dia baru percaya bahwa Janice memang serius menyewa tempat itu. Dia bahkan bersikap sopan dan mengajak Janice sarapan bersama.Setelah sarapan, Janice mulai menjelajah layaknya seorang turis. Saat waktu di luar negeri sudah sama
Pada suatu liburan musim panas, Ivy tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas. Kebetulan saat itu Janice jatuh sakit parah. Pengobatannya menghabiskan banyak uang.Ivy menangis sepanjang malam. Sebelum fajar menyingsing, dia sudah menggandeng Janice berdiri di pinggir jalan tol menunggu kendaraan.Dia bahkan bersumpah tak akan membiarkan siapa pun menemukan mereka. Namun, setelah kabur seminggu, lokasi mereka terdeteksi karena tempat penginapan.Zachary pun menjemput mereka pulang. Kalau diingat sekarang, Janice ingin tertawa.Saat sedang tenggelam dalam kenangan, sebuah bus besar berhenti di depannya. Katanya ada pemeriksaan sebelum masuk tol, tetapi orang-orang di sekitar sudah naik dan memasukkan barang ke dalam bagasi.Janice sendiri tak punya tujuan tertentu. Yang penting bisa membawanya keluar dari Kota Pakisa.Dia menarik masker dan ikut naik ke dalam bus. Setelah membayar, dia memilih tempat duduk kosong secara acak.Tak disangka, penumpang dalam bus itu cukup ramai meskipun ha
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la