Landon menambah tekanan, membuat Chelsea langsung kehilangan senyumannya."Lain kali kalau mau main nekat, beli pakaian dalam yang layak dulu. Jahitan tambalannya sampai lepas begini."Leher Chelsea langsung memerah.Louise yang sedang menggandeng Vega pun mendengar percakapan mereka berdua. Dia tak kuasa mengintip ke dalam."Chelsea, kenapa kamu bisa sampai terluka begini?"Chelsea mendongak. "Kecelakaan."Louise hanya bisa membatin, 'Kamu pikir aku buta?'Dia hampir ingin mengumpat, tetapi segera menyadari raut wajah Chelsea tampak aneh. Landon juga melihatnya.Awalnya, dia mengira Chelsea hanya memakai riasan tebal hari ini. Namun, ternyata untuk menutupi memar di wajah.Landon buru-buru berkata sebelum Louise sempat menyela, "Obati dulu lukanya."Louise pun tak banyak tanya lagi, langsung membantu. Sementara itu, Vega duduk di samping sambil menelepon Janice lewat jam tangan pintar."Vega, kamu baik-baik saja, 'kan?""Mama, aku baik-baik saja.""Paman Landon dan Bibi Chelsea gimana
Janice, Vega, dan Louise langsung masuk ke kabin kelas satu atas pengaturan Landon.Janice hendak mengambil tas kecil Vega. Namun, saat dia mengangkat tangannya, tiba-tiba terasa nyeri yang dahsyat dan tubuhnya langsung roboh ke lantai.Vega terkejut dan segera berlutut untuk menopang tubuhnya. "Bibi Chelsea! Kamu kenapa?"Topi wanita itu terjatuh, memperlihatkan wajah pucat yang penuh keringat dingin. Ternyata itu adalah Chelsea.Landon yang sedang menelepon buru-buru mengakhiri panggilannya. "Lakukan seperti yang aku bilang."Tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia langsung memutuskan sambungan dan cepat-cepat mengangkat tubuh Chelsea. Saat menyentuhnya, Landon menyadari tubuh Chelsea sangat panas.Louise yang baru datang membantu langsung menutup mulutnya karena kaget, lalu menunjuk ke lantai. "Darah."Landon melihat noda darah di lantai. Wajahnya langsung menegang. Kemudian, dia melontarkan tatapan tajam ke arah pramugari.Pramugari itu segera mengangguk, menutup tirai, dan menyi
Tatapan Jason memancarkan kilatan dingin.Kalimat itu membuat Yosep benar-benar membeku di tempat.Mobil perlahan melintasi jembatan besar. Dari sudut matanya, Yosep melihat sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Dia mendadak tertawa sinis."Pak Jason, dulu aku kira kamu itu orang yang cerdas. Tapi, ternyata cuma begitu kemampuanmu. Gimana rasanya berubah jadi anjing yang kehilangan rumah cuma karena seorang wanita, mau coba rasanya?"Jason melirik dengan dingin. "Memangnya kamu sanggup?"Tatapan Yosep semakin liar. Di bawah sorotan sinar matahari yang menyilaukan, ekspresinya pun mulai berubah menyeramkan. "Sanggup."Suhu dalam mobil seketika turun drastis. Dari arah ventilasi AC, terdengar pula suara aneh. Partikel bubuk halus beterbangan di udara. Dari kursi depan, Norman menyadari ada yang tak beres dan segera mengangkat tangan untuk bertindak.Tak disangka, sopir justru membanting setir dan menabrakkan mobil ke arah luar jembatan. Norman bahkan belum sempat bereaksi, tubuhnya sud
Baru saja Janice selesai berbicara, Louise tak tahan dan tertawa.Jason melirik ke arahnya, membuat Louise langsung terdiam. Kemudian, Louise menarik dua koper dengan satu tangan dan tangan lainnya menggandeng Vega."Kami ke bawah dulu, kalian ngobrol saja."Begitu Louise dan Vega pergi, Janice belum sempat bereaksi saat tubuhnya sudah ditarik Jason ke dalam kamar.Begitu tubuhnya bersandar di balik pintu, pria itu langsung mendekat. Dengan mata setengah terpejam, Jason mendekat dengan aura mengancam yang tersembunyi di balik sikap malasnya.Kancing kemejanya belum sepenuhnya tertutup, memperlihatkan jakunnya yang sedikit bergerak.Pandangan Janice sempat tertahan di situ, lalu perlahan naik. Semua gerakan kecilnya tertangkap oleh mata Jason.Dengan suara yang dalam dan tertekan, dia bertanya, "Benaran nggak ada yang mau kamu katakan ke aku?"Dia mendekat ke bibir Janice, lalu mundur sedikit. Proses ini terulang berkali-kali. Jelas sekali, Jason sengaja menggodanya.Napas Janice tertah
"Banyak minta.""Ya." Jason langsung mengangguk. "Bukan cuma itu. Aku mau semua yang ada di dirimu.""Kamu ... um!"Jason mencium Janice sambil menarik pakaiannya. Tubuh mereka saling menempel erat.Suara Jason terdengar parau. "Panggil aku."Bagaimana bisa dia memanggil dalam kondisi seperti ini? Wajah Janice seketika memerah.Namun, Jason tidak berhenti. Tangannya menyusuri punggung Janice, sedikit demi sedikit membuatnya larut.Nada suara Janice berubah. "Pa ... paman ....""Hmm." Jason seperti baru menemukan tombol tersembunyi. Dia baru menyadari panggilan itu ternyata bisa digunakan di tempat lain.Akhirnya, Janice sendiri pun tak tahu sudah berapa kali dia memanggil Jason "paman" malam itu.Di tengah-tengah itu, Jason sempat mengambil ponsel Janice dan mengirimkan satu pesan suara.Di ujung lain, Yosep menerima pesan suara dari Janice. Awalnya hanya terdengar suara berisik, tetapi kemudian terdengar dua helaan napas berat.Di akhir, terdengar lagi suara manis dan manja seorang wa
Janice meronta dalam pelukan Jason, tetapi pria ini unggul dalam tinggi badan dan kekuatan. Dalam sekejap, Janice sudah terkunci di dalam dekapannya.Jason menunduk dan mengecup sudut bibirnya. "Aku memang terburu-buru, terburu-buru untuk bisa menjagamu selamanya di sisiku."Namun, jika masalah yang ada sekarang tak terselesaikan, dirinya dan Janice akan dipisahkan oleh jurang yang tak terlihat untuk selamanya.Dulu dia selalu berpikir bisa mengurung Janice, memaksanya tetap hidup di sisinya. Dia yakin dirinya bisa memberikan segalanya dan Janice hanya butuh dirinya.Padahal kenyataannya, dia tak bisa memberi Janice satu pun hal yang benar-benar dibutuhkan. Kini saat dia mengingat kembali semua yang telah terjadi, pelarian Janice dulu ternyata bukan sebuah kesalahan.Karena itu, dia ingin Janice bisa berdiri di bawah cahaya matahari bersamanya.Napas Jason menyapu pipi Janice, membawa kehangatan yang menempel di kulitnya. Baru saja Janice hendak berbicara, ciuman lembut itu kembali men