Rachel mengulurkan tangan untuk mengambil mantel yang dibawa Jason di lengannya, tetapi pria itu menghindarinya dengan halus. "Aku bisa melakukannya sendiri. Kamu tidur saja dulu."Tangan Rachel terhenti di udara. Dia mengangkat wajah dan menatap Jason. "Kita nggak ... tidur sama-sama?"Jason menggantung mantelnya tanpa ekspresi. "Ada urusan. Kamu tidur duluan."Setelah berkata demikian, dia berjalan menuju ruang kerjanya.Rachel mengeratkan jemarinya, saling menggenggam satu sama lain, lalu menggigit bibirnya. "Jason ... apa ada yang salah denganku?"Jason berhenti sejenak, suaranya tetap datar. "Jangan terlalu banyak berpikir.""Kamu bilang hal yang sama terakhir kali." Rachel tidak bisa lagi menahan diri. "Tapi kenapa kamu selalu pulang larut malam? Dan setiap kali pulang, kamu selalu membawa luka. Ke mana kamu pergi sebenarnya?"Jason tiba-tiba berhenti. Matanya yang hitam pekat menatap Rachel dengan tajam. Dia baru saja ingin mengatakan sesuatu, tetapi Rachel sudah mengangkat tang
Jason melirik pria yang tergeletak di lantai dengan tatapan meremehkan. "Mengangkatnya masuk, lalu mengeluarkannya lagi. Sepertinya kamu benar-benar berusaha."Saat dia berbicara, Norman menyerahkan beberapa lembar foto. Foto-foto itu menunjukkan pria tersebut sedang bersusah payah membawa kotak kosong. Bagian bawah kotak itu lebih tebal dibandingkan kotak buah lainnya. Jelas sekali, kotak itu sudah dimodifikasi.Anwar masih ingin membantah, tetapi foto berikutnya muncul. Dalam foto itu, pria tersebut terlihat menjual produk perawatan kulit di sebuah toko. Dia bahkan terlalu malas untuk melepas stiker merah bertuliskan nama pasangan yang bertunangan dari kemasannya.Tatapan Jason menjadi semakin gelap, tetapi ekspresinya tetap tak tergoyahkan. "Sebagai tambahan, dia juga mencuri lima gelang asli untuk melunasi utangnya."Bam!Anwar membanting meja dengan keras. "Jason!"Jason hanya merapikan jasnya dengan tenang dan bangkit berdiri. "Ayah yang memutuskan bagaimana menanganinya. Bagaima
"Hmm." Janice duduk, membuka kotak makanan, dan mulai makan.Satu mangkuk, dua mangkuk, tiga mangkuk ....Tiba-tiba, Jason menahan tangannya dan menatapnya dengan tatapan yang rumit. "Jangan makan lagi."Janice tersenyum kecil. "Baik." Dia menyeka mulutnya, lalu menopang kedua tangannya di meja seperti robot yang menunggu perintah berikutnya.Jason melihatnya, lalu menyeringai tipis. "Apa gunanya kamu begini? Kalaupun kamu bersikap seperti ini seumur hidupmu, aku tetap bisa membuatmu tetap tinggal."Sambil berbicara, dia mengangkat tangannya dan mengusap remah makanan di dagu Janice. Namun, hanya dengan sedikit sentuhan itu, Janice langsung merasa mual."Ugh!" Dia buru-buru bangkit dan berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.Suara muntahnya begitu keras hingga Norman yang berdiri di pintu masuk, bisa mendengarnya. Dia masuk dengan ekspresi cemas dan menatap Jason dengan khawatir."Pak Jason, ini ....""Nggak apa-apa, dia akan terbiasa," jawab Jason dengan dingin.Norman
Sudut bibir Arya berkedut karena ucapan Norman. Dia mempercepat langkah menuju sumber suara.Di sana, Janice sedang mengarahkan Jason yang mengenakan jas, untuk menggali lubang dan menanam benih.Begitu melihat Arya, Janice melambaikan tangan sambil tersenyum, "Dokter Arya, kamu datang."Jason masih menggenggam sekop dengan celana panjangnya yang tertempel tanah. Terlihat agak ... aneh. Meskipun demikian, tetap tidak mengurangi wibawanya.Ekspresinya agak masam. "Yaya, simpan ponselmu. Kalau kamu berani mengambil satu foto saja, jangan harap bisa keluar dari sini hidup-hidup."Arya menyeringai, buru-buru menyimpan ponselnya. Kemudian, dia teringat pada luka Jason dan segera mengingatkan, "Jangan terlalu capek, lukamu ...."Tatapan Jason langsung berubah tajam. Arya segera mengubah kalimatnya, "Maksudku, Janice baru keracunan gas kemarin. Dia nggak boleh terlalu capek."Di samping, Janice tidak menyadari interaksi itu. Dia menepuk tanah di bajunya. "Aku baik-baik saja.""Lebih baik dipe
"Hm.""Begini ... hah? Kamu langsung setuju? Sejak kapan kamu jadi begitu mudah diajak bicara?" Padahal, Arya sudah menyiapkan banyak alasan untuk membujuk.Jason berkata dengan suara rendah, "Jangan banyak bicara. Apa lagi?"Dalam sekejap, Arya mengenakan sarung tangan dan berkata serius, "Cepat berbaring, aku akan mengganti perbanmu."Jason tidak bertele-tele, langsung berbaring. Arya mengganti perbannya dengan cekatan, lalu mengingatkan, "Jangan bertindak sembrono lagi. Kalau nggak, lukamu bisa robek lagi.""Hm." Jason duduk, hanya mengancing tiga kancing bajunya. Kerah yang sedikit terbuka memperlihatkan sebagian dadanya. Meskipun terluka, ototnya masih menunjukkan kesan kuat.Dia menyalakan sebatang rokok. Asap putih mengepul dari mulutnya, suaranya terdengar agak samar. "Dia benaran baik-baik saja?""Ya." Gerakan Arya yang melepas sarung tangan terhenti sejenak. Dia mengalihkan pembicaraan, "Kamu masih nggak mau pergi melihatnya?"Jason mematikan rokoknya, lalu melangkah keluar d
Ternyata dugaan mereka meleset. Setelah Arya dan Norman menghabiskan setengah bungkus camilan sambil mengobrol, Janice dan Jason akhirnya membawa makanan ke meja.Setelah menunggu sekian lama, yang tersaji hanyalah kentang tumis, telur orak-arik tomat, dan udang bawang putih. Beberapa udangnya bahkan gosong.Arya berdecak. "Aku rasa kalian sudah kenyang sebelum makan."Jason meletakkan sendoknya. "Pintu ada di sana. Silakan pergi, aku nggak akan mengantar.""Jangan dong, aku cuma bercanda." Arya buru-buru mengambil piringnya, lalu berucap, "Janice, terima kasih atas makanannya."Mungkin karena kehadiran Arya, rumah ini terasa tidak terlalu dingin bagi Janice. Dia tersenyum ringan. "Makanlah."Di tengah makan, Janice mengambil ponselnya. "Ibuku bilang pencuri itu sudah ditemukan. Dia juga sudah keluar dari rumah sakit. Katanya tinggal tiga hari sebelum tahun baru, dia ingin aku pulang untuk menemuinya. Kebetulan aku juga ada kerjaan yang harus diselesaikan.""Kerjaan apa?" tanya Arya de
Namun, saat tersenyum, pandangannya perlahan menjadi kabur. Tak disangka, Jason masih mengingatnya.Dalam ingatannya, setiap tahun baru, Jason selalu menjadi orang pertama yang memberinya angpau.Di hari-hari saat Janice masih diam-diam menyukainya, inilah saat yang paling dia nantikan. Karena hari itu, dia bisa berbicara banyak dengan Jason, membuatnya merasa dirinya adalah orang yang istimewa.Namun, semua akan berakhir hari ini. Janice menggenggam angpau itu dan menunduk. Air matanya jatuh, membasahi amplop merah di tangannya.Dia menutup mulutnya rapat-rapat, takut Jason mendengar isak tangisnya. Satu jam kemudian, dia sudah mengenakan pakaian dan perhiasan yang diberikan Jason.Mantel panjang berkerah yang berwarna merah dengan ikat pinggang panjang yang menjuntai di sisi, tampak anggun sekaligus meriah. Kalung mutiara yang dipakai pun menambahkan kesan klasik.Saat Jason turun dari lantai atas, Janice kebetulan sedang meletakkan sarapan di atas meja."Aku baru saja mau memanggilm
Janice berjalan masuk bersama Ivy. Di sepanjang jalan, mereka bertemu dengan banyak anggota Keluarga Karim. Ivy menyapa mereka satu per satu, tetapi orang-orang itu hanya menanggapi dengan dingin, bahkan lebih dingin daripada sebelumnya.Janice mengernyit. "Bu, bukankah masalah kotak seserahan pertunangan sudah diselesaikan? Mereka masih menyulitkanmu?""Nggak kok, aku cuma menolak mengurus urusan rumah tangga." Ivy tersenyum getir."Kenapa? Bukankah selama ini Ibu ingin menunjukkan kemampuan?" Janice terkejut."Janice, aku yang telah menyeretmu ke dalam masalah karena pertunangan ini. Tapi, sekarang aku sudah bisa menerimanya. Bagaimanapun, dengan status Rachel, cepat atau lambat dia akan mengurus rumah ini. Dia sangat baik, jadi nggak akan menyulitkanku."Ivy memiliki penilaian yang sangat baik terhadap Rachel. Namun, kata-kata itu terasa seperti duri yang menusuk hati Janice. Sangat sakit hingga mati rasa, tetapi lukanya tidak terlihat. Bukan karena dia iri pada Rachel, tetapi karen
Hanya dari perbandingan desain, Zion langsung tahu bahwa kalung itu adalah karya Janice. Dia memang ada di sini.Zion melanjutkan, "Aku menemukan kalung milik ibu hamil itu dipesan secara custom oleh suaminya di toko perhiasan daring bernama Vega Jewelry. Lokasinya juga ada di Moonsea Bay. Penulis komik itu juga tinggal di Moonsea Bay."Landon mengangguk. "Masih ingat waktu Rachel ngotot ingin punya anak? Aku ingat dia bilang sudah menyiapkan nama anaknya, namanya ....""Vega. Dia belum hamil, tapi dia sudah yakin banget kalau itu anak perempuan," ucap Zion.Landon menatap nama toko perhiasan itu, seakan-akan semakin yakin. "Sepertinya nama ini Rachel dengar langsung dari mulut Jason."Begitu kalimat itu selesai dilontarkan, ponsel Zion berbunyi."Pak, dia baru saja pulang dari rumah sakit. Jangan-jangan dia sudah tahu Bu Janice dan anaknya di Moonsea Bay? Setahuku di Moonsea Bay cuma punya satu TK, hari ini baru saja ada kejadian."Kening Landon berkerut. "Berarti semua omonganku wakt
Janice kembali menggendong Vega, lalu menurunkannya dan mulai berkemas lagi. Saat hendak pergi, dia teringat pada kecelakaan di taman kanak-kanak.Dia mengenal sebagian besar anak-anak di sana. Jadi, dia segera membuka ponsel dan mentransfer 100 juta kepada guru, dengan catatan untuk anak-anak yang terluka.Tak lama kemudian, guru mengembalikan uang itu dan mengirimkan sebuah pesan.[ Mama Vega, Pak Jason sudah menanggung seluruh biaya pengobatan anak-anak yang terluka. ]Kenapa Jason bisa ada di rumah sakit? Jangan-jangan dia memang datang untuk menyumbang?Saat sedang berpikir, guru mengirim pesan lagi.[ Kata Kepala Sekolah, Pak Jason memang sudah lama ada di grup donor darah. Tapi karena nggak bisa donor darah, dia cuma menyumbang. Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Terima kasih, Mama Vega. Bagaimana kondisi Vega sekarang? ][ Baik. Oh ya, aku ingin mengajukan cuti seminggu untuk Vega. ][ Boleh. Mohon tetap perhatikan kondisi Vega ya. Kalau ada masalah, beri tahu kami
Jason menggigit bibirnya. "Bagaimana kalau kami nggak setuju?"Jason menjawab dengan tenang, "Aku akan membuatmu setuju."Namun, kalimat ini terdengar seperti ancaman bagi Janice. Dia menatap Jason dengan tajam, lalu memasukkan tangannya yang sudah diobati ke dalam sakunya. Saat Jason sedang mengobati luka di tangan lainnya, dia mengeluarkan tongkat listrik mini anti pemerkosa.Setelah disetrum, tubuh Jason langsung menjadi kaku. Dia menatap Janice dan bertanya dengan nada bicara yang biasanya dingin dan sombong menjadi serak, "Apa kamu begitu membenciku?""Benci! Aku benci kamu!" teriak Janice sambil memalingkan wajahnya.Jason langsung terjatuh ke tanah dengan kuat.Setelah mematikan tongkat listrik itu, Janice segera menggendong Vega dan berlari keluar.Beberapa detik kemudian, Jason membuka matanya. Setelah perlahan-lahan bangkit dan menepuk debu dari pakaiannya, dia menatap ke arah perginya Janice sambil menghela napas. Saat seorang perawat masuk, dia langsung melirik dan memperin
Teringat dengan putrinya, Janice akhirnya berhenti melangkah dan memberi isyarat pada putrinya untuk segera ke sampingnya. Namun, Vega yang sedang memegang susunya pun langsung menarik keluar kakinya dari dalam jaket Jason sebagai isyarat dia tidak memakai sepatu. Dia hanya bisa berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan dan berusaha untuk tetap tenang. "Pak Jason, ini bukan anakmu.""Apa aku sudah tanya?" kata Jason sambil menarik pakaiannya dan membungkus kaki Vega, lalu perlahan-lahan berdiri di depan Janice.Saat Jason menatapnya, Janice merasa punggungnya sudah penuh dengan keringat dingin. Tatapan Jason terlihat dominan dan obsesif, tetapi terasa ada sebuah perasaan yang berbeda saat mendekatinya sampai dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Dia menggigit bibirnya karena menyadari Jason pasti sudah menyelidiki segalanya baru bisa muncul di sini.Namun, saat Janice ingin menghindar, tatapannya malah bertemu dengan tatapan Jason. Begitu keduanya saling memandang, waktu terasa berhent
Jason tersenyum. "Baiklah, aku akan menunggu."Saat Jason menerima Vega yang agak memberontak, Hady langsung tertegun saat menatap mereka. "Pantas saja aku merasa kamu begitu familier, kalian berdua ....""Keluarga pasien! Keluarga pasien!" teriak perawat."Aku segera ke sana," jawab Hady.Setelah Hady pergi, Vega mengangkat kepala dan menatap wajah Jason. Namun, dia tidak menangis ataupun marah.Meskipun anak itu ada di depan mata, Jason masih merasa semuanya tidak nyata. Dia memeluk Vega dengan lebih erat dan menarik Vega agar lebih dekat dengan hati-hati. Saat dia bisa mencium aroma khas tubuh Vega dan bahkan ada sedikit bau Janice yang samar-samar, dia baru berani yakin anak ini adalah Vega di mimpinya. Hanya saja, wajah anak ini lebih bulat daripada wajah Vega di mimpinya.Mulut Jason bergerak, seolah-olah ada banyak hal yang ingin ditanyanya. Namun, saat dia hendak membuka mulut, Vega yang berada dalam pelukannya bergerak beberapa kali dan menunjuk mesin penjual otomatis di loron
Saat pria itu hendak memakaikan kalung itu pada istrinya, Jason tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Kalung ini dari mana?"Nada bicara Jason yang dingin membuat pria itu terkejut dan menjawab, "Dari ... Vega Jewelry. Bosnya adalah orang dari desa kami. Dia menjual perhiasan, sangat hebat."Wanita yang baru saja melewati kontraksinya pun meninju suaminya. "Apanya yang penjual perhiasan? Ini namanya desainer perhiasan.""Ya, aku memang mudah lupa," kata pria itu.Jason menatap desain pita yang pita yang istimewa itu. Dari lekukan hingga ukiran yang kecil-kecil di atasnya, semuanya itu adalah gaya khas Janice. Tenggorokannya terasa kering dan bertanya dengan suara serak, "Siapa?""Ja .... Ah! Sakit sekali!" teriak wanita itu tiba-tiba sebelum selesai menjawab pertanyaan Jason, lalu mencengkeram suaminya dan Jason dengan erat.Begitu pintu lift terbuka, kebetulan ada seorang perawat yang melihat kejadian itu dan segera memanggil orang untuk membantu. Saat dokter bertanya te
Nama yang tertera di sepatu itu adalah Vega.Saat itu, seorang guru yang sedang menjaga ketertiban di lokasi itu segera berlari mendekat. "Mama Vega, Vega nggak ada di sini. Anak-anak yang terluka parah sudah segera dibawa ke rumah sakit kota.""Terluka parah?" tanya Janice dengan suara bergetar.Guru itu menggigit bibirnya, lalu berkata, "Kepala sekolah sudah pergi ke sana, kamu juga segera pergi ke sana saja."Janice baru saja hendak berbalik, tetapi tubuhnya langsung ambruk.Arya segera memapah Janice. "Aku antar kamu ke rumah sakit."Janice hanya bisa menahan air matanya dan menganggukkan kepala. Setelah berlari ke rumah sakit dan diberi petunjuk oleh perawat, dia pun menemukan lantai tempat para korban kecelakaan TK dirawat. Di tengah kerumunan, dia langsung menemukan gurunya Vega. "Guru, mana Vega? Dia baik-baik saja, 'kan?""Vega baik-baik saja. Saat aku membawanya untuk menghindar, aku terpaksa membawanya bersamaku ke rumah sakit karena aku harus buru-buru mengantar para korban
Begitu mendengar terjadi kecelakaan di TK, Janice tanpa ragu langsung berlari keluar. Arya dan Louise segera mengikuti dari belakang."Kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil di TK?" tanya Arya."TK ini dibangun di lereng. Saat bus pariwisata turun dari bukit, sopirnya juga nggak tahu kenapa nggak menginjak rem dan langsung menerobos masuk ke TK. Saat itu banyak anak-anak yang sedang bermain .... Aduh, tunggu aku!" jelas Louise.Hanya mendengar penjelasan singkat dari Louise, naluri menyelamatkan sebagai seorang dokter membuat Arya langsung tahu kecelakaan ini sangat parah.Saat ini, sebuah bus besar terjepit di tembok TK. Bagian depan bus sudah menerobos masuk ke lapangan bermain sepenuhnya, sedangkan bagian belakangnya tergantung. Banyak orang di sekitar yang sedang membantu dan banyak anak yang diangkut keluar dengan menangis terisak-isak.Janice segera berlari mendekat dan menarik seorang anak yang sedang memegang lengannya. Anak itu adalah teman sekelas Vega. "Mana Vega?"Anak itu me
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar