Share

Bab 5

Penulis: Danira Widia
Ruang aula begitu luas, tetapi suasana di sekitar Jason terasa mencekam. Udara seolah-olah membeku dan menekan semua orang hingga sulit bernapas. Dia tetap diam, tapi semua orang tahu dia sedang marah.

Jason mengeluarkan kotak rokok, lalu mengambil sebatang dan menyalakannya. Asap putih yang dihembuskannya menyelimuti wajahnya dan dia menatap Janice melalui kabut tipis itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Pergi," katanya dengan dingin.

Anwar yang juga tampak tidak senang, melambaikan tangannya dengan isyarat yang sama.

Ivy segera membantu Janice berdiri.

Namun, Janice menarik tangannya dan berdiri tegap di tengah aula. Dengan suara yang lantang, dia berkata, "Kalau keberadaanku di sini membuat semua orang nggak nyaman, aku akan segera pindah. Terima kasih atas perawatan Anda selama bertahun-tahun, Pak Anwar."

Janice ingin pergi dengan bermartabat dan tanpa keraguan sedikit pun. Dia tidak lagi takut dan berhati-hati seperti di kehidupan sebelumnya. Setelah menyampaikan kata-katanya, Janice berbalik dan pergi. Tatapan yang tertuju pada punggungnya penuh dengan bahaya dan kebencian.

....

Begitu keluar dari aula, efek samping dari obat kontrasepsi mulai menyerangnya. Reaksi dari lambung dan usus membuatnya pusing dan mual. Tak lama setelah berjalan beberapa langkah, Janice kehilangan kesadaran dan terjatuh.

Saat tersadar kembali, Janice melihat Ivy duduk di samping tempat tidurnya dengan mata memerah. Begitu melihat Janice bangun, Ivy langsung memberikan tamparan pelan. Tamparan itu tidak kuat, malah terasa seperti sedang digelitik.

"Kamu mau buat aku mati ketakutan, ya? Obat itu bukan untuk dimakan sembarangan!" ujar Ivy dengan suara parau.

"Bu, percuma saja. Kalau aku nggak meminumnya, seumur hidup aku nggak akan bisa lepas dari Keluarga Karim," jawab Janice dengan lirih.

"Kamu ... nasibmu memang buruk! Dari dulu aku sudah bilang, kamu seharusnya mendekati anak-anak keluarga kaya. Kalau kamu nikah dengan baik, hidupmu pasti akan lebih tenang," Ivy mencoba menasihatinya.

"Seperti hidupmu?"

Hidup seperti apa yang bisa disebut tenang? Ivy terdiam. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya terdiam. Saat itu, pintu kamar terbuka dan Zachary masuk dengan semangkuk bubur di tangannya.

"Janice sudah bangun ya? Makan bubur ini sedikit, perutmu akan terasa baikan," katanya sambil menyerahkan bubur ke Janice.

Janice baru saja ingin mengucapkan terima kasih ketika dia menyadari telinga Zachary terluka. Ada sebuah goresan yang tampak seperti bekas terkena benda tajam. Itu pasti ulah Anwar. Dia memang selalu membenci keluarga mereka.

Anwar menganggap anak keduanya bodoh, ditambah lagi Zachary tetap bersikeras menikahi wanita yang membawa anak dari pernikahan sebelumnya.

Dengan penuh penyesalan, Janice berkata, "Paman, maafkan aku. Aku akan segera pergi supaya nggak merepotkan lagi."

"Jangan bicara begitu!" tegur Ivy dengan nada kesal.

Zachary menepuk bahu Ivy dengan lembut. "Dokter bilang Janice masih perlu minum obat. Tolong ambilkan air hangat."

Ivy segera bangkit dan meninggalkan ruangan. Zachary duduk di tepi tempat tidur dan menghela napas. "Janice, apa kamu benar-benar harus pergi?"

"Paman, kalau aku tetap di sini, aku cuma bakal membebani Ibu dan dirimu. Aku sudah dewasa, aku bisa jaga diriku sendiri."

"Aku yang terlalu nggak berguna." Zachary mengambil sebuah kartu dan menyelipkannya di bawah bantal Janice. "Jangan tolak. Kamu masih muda, hidup di luar sana butuh banyak uang. Kata sandinya adalah tanggal lahirmu. Hati-hati di luar sana. Kalau ada masalah, hubungi aku atau ibumu."

Dengan penuh rasa syukur, Janice menjawab, "Terima kasih, Paman."

Zachary menatap Janice dan berkata, "Hari ini, tingkah Jason benar-benar aneh. Nggak seperti biasanya."

Janice mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Ibumu memanggilku karena kamu pingsan. Jason malah langsung menyerbu keluar, lalu menggendongmu dan membawamu pergi. Kalau bukan karena Ayah yang memerintahkan untuk membawamu kembali, kamu mungkin masih terbaring di rumahnya sekarang."

"Apa?" Janice tercengang sambil mencengkeram selimut lebih erat.

"Tenang saja. Jason bilang, dia khawatir kamu mati di rumah Keluarga Karim dan jadi bahan perbincangan semua orang."

Janice tersenyum getir. "Kedengarannya memang mirip sifat Jason."

Semua yang terjadi tadi malam terasa seperti mimpi. Setelah minum obat dan beristirahat sejenak, Janice bangun dan mulai berkemas. Sebelum pergi, dia menghindari Ivy agar tidak membuatnya menangis lagi.

Saat keluar dari rumah Keluarga Karim, semua pelayan menundukkan kepala karena takut terlibat dengannya. Janice berdiri di teras, menatap langit yang semakin gelap. Hari yang panjang ini akhirnya hampir berakhir.

Angin musim gugur datang lebih awal dan udara malam terasa sejuk dan dingin. Dengan menggenggam erat tasnya, Janice mempercepat langkahnya meninggalkan rumah itu.

Keluarga Karim tinggal di sebuah properti besar yang terletak di salah satu area terbaik di ibu kota. Untuk menjaga privasi, Keluarga Karim telah membeli tanah di sekitar rumah mereka untuk memastikan tidak ada gangguan dari dunia luar.

Keluarga Karim membangun taman pribadi yang mengelilingi properti mereka. Taman ini sesekali dibuka untuk umum saat ada acara. Namun, akses ke sana sangat terbatas. Tidak ada stasiun metro, bus, dan bahkan taksi pun jarang terlihat.

Meskipun Janice mempercepat langkahnya, butuh sekitar 20 menit untuk mencapai halte terdekat. Dia menerobos angin dingin sambil berjalan di bawah cahaya lampu jalan. Setelah beberapa menit berjalan, suara klakson mobil terdengar dari belakang.

Secara refleks, Janice berjalan menepi. Namun, mobil itu justru berhenti di sampingnya.

"Bu Janice, silakan naik." Jendela mobil diturunkan dan memperlihatkan wajah yang cukup dikenalnya. Orang itu adalah Norman, asisten Jason.

Janice terkejut sejenak. Dari sudut matanya, dia melirik ke kursi belakang. Sebuah tangan dengan cincin giok merah mengetuk lututnya dengan perlahan dan tampak tidak sabaran.

Jason.

Janice tidak ingin terlibat lagi dengannya. Dia menggelengkan kepala, "Nggak perlu. Terima kasih, Paman. Silakan lanjutkan perjalanan." Dia menarik ranselnya lebih erat dan melanjutkan berjalan.

Namun, Norman buru-buru turun dari mobil untuk menghalangi jalannya.

Sambil tersenyum sopan, dia berkata dengan lembut, "Bu Janice, tolong naik ke mobil. Ini juga demi kebaikanmu. Kata Pak Jason, kalau kamu pergi membawa barang bawaan seperti ini dan kelihatan sama orang-orang, itu akan terlihat buruk bagi semua pihak."

"Kalau kamu menolak, aku nggak punya pilihan selain menggunakan caraku sendiri untuk memintamu masuk."

Janice mencengkeram ranselnya lebih erat dan melirik ke arah jendela kursi belakang. Kaca jendelanya hitam pekat dan tidak bisa terlihat apa pun. Namun dia tahu betul, Jason sedang memperhatikannya dari balik kegelapan itu.

Kekejaman Jason sudah terkenal di ibu kota dan Janice tahu hal itu dari kehidupan sebelumnya. Jika memaksa untuk berkonfrontasi dengan Jason, Janice sudah bisa menebak apa yang akan terjadi pada dirinya. Sekujur tubuh Janice langsung merinding, seolah-olah udara di sekelilingnya menjadi lebih dingin.

Setelah bekerja keras untuk menjalani kehidupan kedua ini, dia tidak ingin mengambil risiko memicu kemarahan Jason. Akhirnya, Janice mengangguk dan menuju ke kursi depan. Namun, Norman segera mengarahkan Janice ke kursi belakang.

Begitu dia duduk, bau alkohol segera tercium dari dalam mobil.

Dengan penuh curiga, Janice melirik ke arah Jason. Tubuh tegapnya bersandar di kursi dan matanya setengah terpejam. Dalam pencahayaan yang redup, sebagian besar wajah Jason tersembunyi di balik bayangannya.

Sosoknya terlihat berbahaya dan mencekam.

Jason mengangkat sedikit kelopak matanya, lalu berkata dengan nada datar, "Sudah mau pergi?"

Nada bicaranya tidak terkesan marah, tetapi membuat Janice merasa sangat terintimidasi. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari perasaan apa yang dirasakannya saat ini. Suara Jason mirip sekali dengan waktu dia ingin menghukum Janice di kehidupan sebelumnya. "Mau pergi? Nggak semudah itu."

Sambil menahan amarah, Janice beringsut sedikit di kursinya. Saat dia hendak menjawab, ponselnya telah berdering. Panggilan dari Ivy.

Janice enggan mengangkatnya karena takut Ivy akan kembali mengomel tentang bagaimana dia tidak memanfaatkan kesempatan yang ada. Namun, tatapan Jason sudah tertuju padanya dengan alis berkerut.

Dengan terpaksa, Janice menjawab panggilan itu.

"Janice! Kau mau buat aku mati khawatir ya? Apa aku pernah perlakukan kamu dengan buruk, sampai-sampai kamu mau kabur dari rumah?"

Suara Ivy terdengar serak dan putus asa, menunjukkan betapa tak berdayanya dia saat ini. Ivy tahu dirinya tidak mampu melindungi putrinya.

"Bu, aku akan jaga diri baik-baik."

"Kamu ... berhati-hatilah." Ivy menghela napas dan akhirnya menyerah, "Janice, gimana kalau aku minta bantuan pamanmu untuk carikan calon suami? Sebaiknya punya orang yang bisa diandalkan daripada sendirian di luar sana. Pamanmu pasti bisa carikan pria yang cocok untukmu."

Ivy mulai memberi ceramah lagi. Janice melirik Jason sekilas. Meski sulit membaca ekspresinya dalam cahaya yang redup, tekanan yang dirasakan Janice membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Pada akhirnya, dia buru-buru mengakhiri pembicaraan itu.

Namun, Ivy jarang-jarang bersikap keras kepala seperti ini. "Jangan mengelak! Aku cuma mau yang terbaik untukmu. Sudah kuputuskan, beberapa hari lagi kamu akan pergi kencan buta."

"Bu! Aku tutup teleponnya sekarang." Janice langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban. Di kehidupan sebelumnya, Ivy memang pernah merencanakan pertemuan kencan untuknya, tetapi semuanya hancur setelah insiden dengan Jason.

'Ngomong-ngomong soal Jason, apa dia mendengar percakapan tadi? Kalaupun kedengaran, sepertinya nggak masalah. Lagi pula, Jason nggak akan peduli.'

Namun, suasana di dalam mobil seketika menjadi sunyi senyap. Lampu jalan yang melintas menyinari wajah Jason melalui kaca jendela. Janice duduk dengan gelisah sambil mencengkeram tangannya lebih erat. Kemudian, terdengar suara tawa yang sinis dari Jason.

"Kencan buta?"

"Janice, apa ada satu kalimat pun yang kamu bilang semalam itu adalah kata yang jujur?"
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Sumiyati Sumiyati
lamjut dong mantaap
goodnovel comment avatar
Retno Anggiri Milagros Excellent
ya Janice anak yang baik.. hehe
goodnovel comment avatar
Chantiqa Chiqa
perempuan bodoh ternyata mewarisi sifat ibunya yg lemah dan bodoh. pantes takut muluk isi otaknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 1114

    Menjelang subuh, Landon kembali ke hotel. Saat membuka pintu, aroma makanan langsung tercium.Begitu masuk ke kamar, Chelsea sedang duduk di depan meja makan. Kepalanya bersandar pada bantal dan hampir tertidur. Beberapa hidangan rumahan tersaji di atas meja.Ketika Landon melangkah mendekat, Chelsea sontak berdiri tegak. Landon sampai curiga apakah Chelsea tidur dengan satu mata terbuka.Begitu bangkit, pandangan Chelsea langsung menggelap, tubuhnya oleng dan nyaris jatuh. Landon buru-buru meraih lengannya. Masih kurus seperti dulu. Seolah-olah sedikit saja ditekan, bisa langsung patah.Chelsea menenangkan diri sebentar, lalu berkedip dan tiba-tiba menjatuhkan diri ke pelukan Landon sambil berseru pelan. Trik lama ini sepertinya tak pernah membosankan baginya.Landon pun terkejut menyadari bahwa dirinya sudah terbiasa dengan trik itu. Dia mengernyit, lalu menegakkan tubuh Chelsea dengan sopan."Kamu menungguku?""Mm. Lihat, aku sudah menyiapkan makanan untukmu. Gimana menurutmu?"Chel

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 1113

    Sebaliknya, itu justru membuat tubuhnya semakin cepat memanas."Kamu lapar, tapi menahanku di sini. Apa gunanya? Aku ke dapur deh, lihat ada apa di kulkas," kata Janice sambil mendorong dada Jason.Tubuh pria itu keras seperti dinding, memeluknya erat dengan aroma yang familier tetapi terasa berbahaya.Tangan Jason bertumpu pada pintu, lalu perlahan-lahan menurun seiring tubuhnya membungkuk. Suara gesekan itu seperti sedang menggelitik."Janice, aku cemburu."Janice tertegun. "Cemburu apa?""Aku juga belum makan." Suara Jason berat dan dalam.Dia hanya mengingatkan Chelsea sekilas, masa itu juga membuatnya cemburu? Ternyata Jason ini berhati sempit juga."Kalau begitu, aku buatkan kamu sesuatu?" Janice mencoba menyelinap keluar dari pelukan Jason lewat bawah lengannya, tetapi karena dia bersandar di pintu, dia tetap tidak bisa lolos.Jason bersandar di sana sambil menatapnya lekat-lekat. "Kamu lagi main teka-teki sama aku?"Janice mengatupkan bibirnya. "Nggak, aku cuma mau lihat ke dap

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 1112

    Landon tidak menyembunyikan Chelsea dan Vega, malah menempatkan mereka di hotel paling mewah dan eksklusif di Kota Pakisa.Hotel itu adalah milik para pemegang saham yang punya koneksi kuat di jalur resmi maupun gelap. Anwar sekalipun akan kesulitan jika ingin bertindak diam-diam di tempat ini.Janice teringat bahwa belakangan ini Chelsea telah membantunya mengurus Vega, jadi dia menyiapkan sebuah amplop besar serta beberapa barang kebutuhan wanita.Meskipun Chelsea adalah seorang selebritas kecil, pakaian sehari-harinya sangat sederhana. Janice tahu pasti dia sedang kesulitan, jadi momen ini menjadi kesempatan untuk memberinya sesuatu.Setelah membuka pintu, tampak Chelsea yang memakai piama lucu sedang bermain dengan Vega.Begitu melihat Janice, Vega langsung memasang wajah cemberut dan berdiri dengan tangan di pinggang.Janice melirik Jason, memberi isyarat dengan mata. Lihat, si kecil sedang marah.Jason langsung berjongkok dan mulai membujuk Vega. Setelah cukup lama dibujuk, akhir

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 1111

    Leah merasa senang dalam hati, rona merah mulai muncul di wajahnya yang tadinya pucat.Mendengar itu, Janice tanpa sadar menggenggam tasnya erat-erat.Sebelum sempat bereaksi lebih jauh, tubuhnya diadang dan didorong perlahan oleh seseorang, menyingkirkannya dari sisi Jason.Saat dia menoleh, ternyata itu adalah Verica. Tatapan mereka bertemu. Mata Verica yang semula terlihat sopan kini memancarkan kebencian yang sulit dijelaskan.Ya, itu adalah kebencian. Janice awalnya mengira itu karena Leah. Namun sekarang, dia merasa kebencian itu justru berasal dari Verica sendiri.Aneh, mereka bahkan tidak saling kenal.Janice berniat melangkah maju, tetapi gerakan Verica yang merapikan rambutnya kembali menghalangi jalannya.Tatapan Verica melirik ke arah Leah. Leah langsung mengerti. Dia berdiri dan melangkah ke arah Jason. Langkahnya tampak begitu lemah, seolah-olah dia akan jatuh ke pelukan Jason kapan saja.Janice mengepalkan telapak tangannya, sementara Jason sontak meraih dan menariknya k

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 1110

    Janice memperkirakan Zion sebentar lagi akan sadar, jadi dia dan Jason pergi membeli bubur sekaligus membawakan makanan untuk yang lain.Tak disangka, begitu masuk ke ruangan, mereka langsung melihat Norman dan Zion sedang saling memelototi."Ada apa? Pak Zion, apa ada yang sakit?" Janice meletakkan makanan dan maju.Mungkin karena Zion baru saja bangun dari bius, wajahnya tampak sangat pucat dan kaku.Zion seperti baru sadar dari mimpi. Dia menggeleng. "Nggak ada, cuma lukaku agak nyeri."Baru saja kalimat itu terucap, Louise yang berbaring di sofa pun terbangun.Sebelum Janice sempat menyuruhnya makan, Zion sudah bertanya, "Louise, kamu dengar sesuatu nggak tadi?"Louise meregangkan badan dan bertanya balik, "Dengar apa? Tapi aku merasa kayak ada nyamuk, berdengung terus. Buat susah tidur."Janice tertawa. "Mungkin kamu mimpi. Di musim dingin begini, mana ada nyamuk. Ayo makan dulu."Louise pun tidak terlalu memikirkannya, langsung berdiri dan ikut makan.Sambil makan, dia berkata, "

  • Pembalasan sang Istri Tertindas   Bab 1109

    Mendengar itu, Leah pun menenangkan diri. Tadi saat melihat Jason memperlakukan Janice dengan kelembutan luar biasa, hatinya dipenuhi rasa cemburu. Dia bahkan sempat ingin mengabaikan harga dirinya dan langsung menghampiri mereka. Setelah dipikir-pikir sekarang, dia memang terlalu terburu-buru."Dengarkan ibumu." Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari luar.Leah menengadah dan melihat orang yang masuk. Dia langsung maju untuk menyambut. "Ayah."Bayu menatap luka di tubuh Leah, lalu mengerutkan kening melihat Verica.Verica refleks mengepalkan tangannya, buru-buru menjelaskan, "Dokter bilang nggak ada cedera serius, tapi aku sudah perintahkan orang-orang untuk memberi tahu polisi dan Jason bahwa kondisinya cukup parah.""Hmm." Bayu menarik kembali pandangannya dan membantu Leah duduk.Leah yang sedang terluka menjadi manja di hadapan ayahnya. "Ayah, aku nggak mau ada bekas luka. Tolong carikan dokter bedah plastik terbaik untukku.""Ya, ya. Semua keinginanmu akan Ayah turuti." Bayu mena

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status