Ketika mendengar suara langkah kaki, Elaine segera meletakkan cangkir tehnya. Melihat Yosep yang berjalan mendekat, dia merasa agak lega.Tak heran Anwar begitu menyukai Yosep. Dia memang sangat mirip dengan Anwar saat masih muda. Kali ini, bisa dibilang Elaine bertaruh pada orang yang tepat.Elaine tersenyum dan menyapa, "Pak Yosep."Yosep tersenyum tipis, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan banyak emosi. "Bu Elaine, jangan sungkan begitu.""Ini hanya soal waktu," ujar Elaine dengan penuh keyakinan.Yosep tidak menyangkal. Ini memang soal waktu. Sudah waktunya karier Jason berakhir di kota ini.Yosep langsung masuk ke topik utama. "Bu Elaine, gimana dengan si sopir?"Elaine menyesap teh dan menjawab, "Tenang saja. Kalau Pak Anwar memberi perintah, aku tentu akan menyelesaikannya sebaik mungkin.""Aku sudah menyebarkan kabar bahwa si sopir sakit parah dan hidupnya tak lama lagi. Publik hanya akan mengira kalau dia iri pada orang kaya dan sengaja menyebabkan kecelakaan. Kamu dan Jason
Melihat itu, Yosep tertawa. Sorot matanya penuh dengan obsesi seorang pemenang. Dia melangkah ke depan Jason, menunduk sambil berkata, "Jason, sekarang sepertinya kita berdua sama-sama menyedihkan.""Kamu menutupinya dengan sangat baik, tapi sebenarnya kamu tahu ibumu melahirkanmu bukan karena cinta, tapi karena kamu adalah alat balas dendam bagi keluarganya. Kita ini sama saja."Mendengar itu, Jason menyindir, "Tak kusangka ternyata kamu haus kasih sayang ibu. Ibumu memang bukan orang baik, tapi itu nggak berarti semua ibu sama seperti dia."Yosep menggertakkan gigi dan menunjuk ke arah Arya. "Kamu bisa menyangkal sesukamu, tapi sahabat terbaikmu sudah mengkhianatimu.""Dan Janice, kamu begitu baik padanya, tapi dia tetap memilih pergi bersama Landon tanpa ragu sedikit pun.""Sekarang seluruh internet nggak tahu kamu masih hidup atau sudah mati. Kamu pikir dia akan meninggalkan Landon yang berpengaruh demi kamu?"Begitu mendengar nama Janice, hati Jason bergetar hebat. Dia mencoba ban
Di dalam ruangan.Jason membuka mata, sekelilingnya gelap gulita dan sunyi senyap. Seluruh tubuhnya lemas. Dia hanya bisa menggerakkan tangannya dengan susah payah. Seketika, terdengar suara rantai. Dia menunduk, ternyata tangannya dirantai.Dia bersandar lemah di dinding, lalu terkekeh-kekeh dingin. Saat itu, pintu terbuka.Yosep berdiri di ambang pintu, memandang Jason dari atas, menyunggingkan senyuman. "Jason, kamu penasaran kenapa aku nggak langsung membunuhmu, 'kan?"Jason menekuk satu kaki, satu tangannya bertumpu di lutut. Meskipun sedang ditahan, aura berbahayanya tetap sulit diabaikan. Tatapannya dingin saat mendongak ke arah Yosep, tak menunjukkan emosi."Karena saham yang diwariskan ibuku. Tanpa persetujuanku, dia pun nggak bisa mengambilnya kembali. Berapa hari waktu yang dia berikan kepadamu? Tiga? Lima?""Kalau kamu nggak bisa mendapatkannya dalam waktu itu, kamu nggak berguna lagi di matanya. Keluarga Karim nggak butuh orang yang nggak berguna. Kamu hanya pengganti diri
Melihat mereka, Janice tersenyum. Namun, sambil tersenyum, air matanya sudah membanjiri wajah. "Bicara dong! Ayo bicara!"Norman berkata pelan, "Pak Jason memang merencanakan untuk menjebak mereka, tapi entah kenapa rencana itu gagal.""Sepertinya pihak lawan sudah tahu rencana kita sejak awal dan menggunakan kecelakaan mobil untuk membuat kita nggak siap.""AC di dalam mobil dicampur dengan bubuk obat, aku dan Pak Jason pun .... Maafkan aku, Bu Janice."Norman kembali meminta maaf. Bibir Janice bergetar. Tangannya memukul dadanya dengan keras. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, hanya air mata yang mengaburkan penglihatannya."Bu Janice, sebelumnya Pak Jason sudah meninggalkan surat wasiat ....""Keluar." Janice mengerahkan seluruh tenaganya untuk berbicara.Norman hendak mengatakan sesuatu lagi, tetapi Zion langsung menariknya keluar. "Biarkan dia tenang dulu."Norman melihat ke arah pintu kamar yang tertutup rapat dan hanya mengiakan dengan singkat.Saat hendak berbalik
Janice sempat panik sejenak, lalu mulai meronta sekuat tenaga. Orang di belakangnya segera memelintir lengannya dan menariknya ke belakang.Tepat saat itu, mobil dari dalam sungai mulai diangkat ke permukaan.Srakkk .... Mobil mewah itu seperti rongsokan yang ditarik paksa dari jurang. Cipratan air dari atas seperti bilah pisau tajam, mengiris hati Janice.Dulu, dia begitu berharap Jason mati. Sekarang, dadanya seperti ditimpa. Napasnya tidak bisa lagi mengalir normal.Angin dingin menyayat setiap tarikan napasnya. Pandangannya kabur. Dia menggeleng keras, tidak berani memercayai kenyataan di hadapannya.Orang-orang yang menonton berhamburan maju. "Ada satu mayat yang berhasil diangkat. Sudah dikonfirmasi itu sopirnya. Sisanya cuma ada bercak darah. Mungkin arus bawah sudah menyeret jasadnya ke hilir."Janice tertegun. Tubuhnya seketika kehilangan tenaga, membiarkan dirinya diseret orang di belakang.Air matanya mengalir dari sudut mata, seolah-olah semua yang ada di depannya perlahan-
Landon menambah tekanan, membuat Chelsea langsung kehilangan senyumannya."Lain kali kalau mau main nekat, beli pakaian dalam yang layak dulu. Jahitan tambalannya sampai lepas begini."Leher Chelsea langsung memerah.Louise yang sedang menggandeng Vega pun mendengar percakapan mereka berdua. Dia tak kuasa mengintip ke dalam."Chelsea, kenapa kamu bisa sampai terluka begini?"Chelsea mendongak. "Kecelakaan."Louise hanya bisa membatin, 'Kamu pikir aku buta?'Dia hampir ingin mengumpat, tetapi segera menyadari raut wajah Chelsea tampak aneh. Landon juga melihatnya.Awalnya, dia mengira Chelsea hanya memakai riasan tebal hari ini. Namun, ternyata untuk menutupi memar di wajah.Landon buru-buru berkata sebelum Louise sempat menyela, "Obati dulu lukanya."Louise pun tak banyak tanya lagi, langsung membantu. Sementara itu, Vega duduk di samping sambil menelepon Janice lewat jam tangan pintar."Vega, kamu baik-baik saja, 'kan?""Mama, aku baik-baik saja.""Paman Landon dan Bibi Chelsea gimana