Keesokan pagi saat Janice bangun, Ivy sudah menunggunya di samping tempat tidur dengan membawakan makanan lezat."Sudah bangun? Ayo makan dulu," ucap Ivy.Karena tidak ingin membuat ibunya khawatir, Janice mengangguk dan menerima mangkuk dari tangan Ivy.Namun, dia sama sekali tidak punya nafsu makan. Setelah dua suapan, dia pun bertanya, "Ibu, semalam kamu minta maaf sama siapa?"Ivy yang sedang mengupas telur, tiba-tiba menggenggam terlalu kuat hingga kukunya menekan putih telur.Dia menyeka tangannya, lalu kembali mengupas cangkangnya dengan kepala tertunduk. "Siapa lagi? Tentu saja sama kamu. Kalau dulu aku nggak nikah dengan Zachary, semua ini nggak akan terjadi."Janice meletakkan mangkuknya dan menjelaskan, "Ibu, aku nggak pernah berpikir seperti itu.""Sudahlah, jangan bahas aku lagi. Kenapa kemarin kamu pulang sendirian? Bukannya Landon yang seharusnya mengantarmu?" Ivy mengalihkan pembicaraan.Janice menggigit bibirnya sebelum menjawab, "Aku sudah bilang padanya kalau aku ing
Saat Rensia keluar dari hotel, dia melihat sekilas pesan penuh amarah dari Anwar di ponselnya. Tanpa ragu, dia langsung menginjak dan menghancurkan ponselnya dengan sepatu hak tinggi, lalu melemparkannya ke tong sampah.Kemudian, dia mengeluarkan ponsel baru dari tasnya dan menelepon Jason. "Jason, terima kasih atas kerja samamu dengan Landon. Kalian telah membantuku menemukan ibuku. Dia sudah dalam perjalanan ke bandara. Setelah aku kembali, aku akan mengirimkan barang yang kamu inginkan.""Hm." Suara Jason terdengar datar dan dingin, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan terhadap barang yang disebut Rensia.Tak ingin berhutang budi, Rensia melanjutkan, "Apa aku perlu menemui Janice untuk menjelaskan? Sepertinya dia salah paham tentang hubungan kita."Terdengar suara Jason meneguk minuman di ujung telepon. "Jelaskan saja hubunganmu dengan Landon.""Apa? Maksudmu menjelaskan tentang kerja samaku dengan Landon? Itu cuma untuk mengelabui Anwar, 'kan?" Rensia mengira dia salah dengar
Mendengar perkataan Rensia, Cheria tertegun sejenak sebelum refleks menatap Anwar.Ekspresi pria itu tetap datar. Dia meniup teh panasnya, lalu berkata dengan tenang, "Dia sudah cukup umur untuk nikah. Apa salahnya mencarikan beberapa pria untuknya? Aku melakukan ini juga demi kebaikannya."Tatapan dingin Anwar menyapu ke arah Cheria, membuat wanita itu buru-buru mengangguk setuju.Cheria berbalik menatap Rensia. Suaranya setengah memohon, setengah menegur, "Rensia, ayahmu benar. Kamu sudah dewasa, sudah saatnya nikah."Rensia menatap ibunya yang dibutakan oleh cinta. Dia menggigit bibirnya hingga berdarah. Setelah menelan ludahnya yang bau amis darah, dia menyahut."Nikah? Dengan siapa? Dengan pria yang istrinya sekarat di ranjang rumah sakit dan ingin aku menggantikannya? Atau pria yang seumuran dengan putrinya sendiri? Atau mungkin aku harus menghancurkan hubungan orang lain lebih dulu, lalu diminta mengambil kesempatan?""Ibu, kamu masih belum mengerti? Dia mempermainkanmu, merenda
Rensia membiarkan ibunya mencengkeramnya tanpa melawan. Dia tidak lagi melontarkan sepatah kata pun.Anwar memberi isyarat kepada para pengawal. Salah satu pengawal mengeluarkan suntikan berisi obat penenang dan langsung menyuntikkannya ke tubuh Cheria. Hanya dalam beberapa detik, tubuh Cheria melemas, lalu para pengawal segera membawanya pergi."Kalian mau bawa ibuku ke mana? Lepaskan dia!"Anwar melempar botol obat ke lantai sambil menyeka tangannya dengan tisu. Dia memperingatkan, "Ibumu nggak akan bertahan lama. Orang yang sudah kecanduan obat seperti dia, bisa melakukan apa saja saat kumat. Termasuk bunuh diri.""Ini semua salahmu!" Rensia menjerit penuh kemarahan. "Kamu sengaja membuatnya kecanduan!""Rensia, kalau mau menuduh seseorang, setidaknya siapkan bukti. Ibumu sakit, aku membayar dokter untuk merawatnya. Kalau dia akhirnya kecanduan, itu karena dia lemah dan nggak bisa mengendalikan dirinya sendiri.""Tapi lihatlah, aku tetap nggak membuang kalian, 'kan? Kamu pasti tahu
"Aku nggak sebodoh itu. Kamu datang ke rumahku sambil menodongkan pistol. Kalau bukan untuk membunuhku, masa kamu benar-benar hanya ingin makan dessert denganku?" Janice berbicara sambil membuka jendela di dekat lemari.Rensia langsung waspada. "Kamu mau apa?""Ada bau darah. Aku nggak ingin menghirupnya," jawab Janice dengan nada getir.Alasannya sudah jelas. Sebagai seseorang yang tahu apa yang terjadi malam itu, Rensia pasti mengerti. Rensia menggigit bibirnya dan tidak berkata apa-apa lagi.Janice mengambil kotak P3K dan mendekati Rensia, lalu perlahan berjongkok untuk membuka plester luka di lututnya.Melihat luka dalam di kulit putih itu, Janice tidak bisa langsung menebak bagaimana Rensia bisa terluka. Namun, dia tidak banyak bertanya karena dia tahu Rensia tidak akan menjawab.Awalnya, dia mengira hanya perlu menghentikan pendarahan, mengoleskan obat, lalu membalutnya. Namun, ketika dia membersihkan luka Rensia dengan kapas, dia malah menemukan serpihan yang masih tertinggal di
"Nggak peduli seberapa keras aku berusaha, ibuku nggak melihatnya, dia juga nggak melihatnya. Pada akhirnya, satu-satunya nilai yang kumiliki hanyalah menikah."Janice terpaku di tempat. Saat mengangkat pandangannya, dia bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi kesedihan dan kehampaan. Dia pernah melihat ekspresi seperti ini di mata Jason.Dalam kebingungan, tiba-tiba dagunya diangkat oleh Rensia. Wanita itu meneruskan, "Anwar diam-diam menangkap ibuku kembali. Jason mencariku untuk membahas kerja sama. Dia membantuku menyelamatkan ibuku, lalu aku bekerja sama dengan Landon untuk menipu semua orang.""Aku benar-benar mengaguminya. Dia sampai bersedia bekerja sama denganku. Sampai akhirnya aku melihatmu ...."Janice merasakan sakit di dagunya. Saat ingin memberontak, dia melihat Rensia kembali mengangkat pistolnya. Dalam sekejap, dia tidak berani bergerak.Dia tahu betapa menyakitkannya kematian dan dia tidak ingin mati. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mengulur waktu selama mu
Saat moncong pistol kembali mengarah kepadanya, Janice segera berdiri dan mundur beberapa langkah.Dia mencoba membujuk, "Rensia, jangan begini. Kamu nggak perlu menghancurkan dirimu sendiri demi orang lain."Rensia mengangkat pistolnya dan mendekati Janice, matanya perlahan memerah. "Tentu saja kamu bisa bicara begitu. Kamu punya Jason yang melindungimu dari segalanya, punya Landon yang bisa menghiburmu.""Aku hanya punya ibuku seorang. Kalau dia memperlakukanku dengan buruk, aku bisa saja menyerah padanya. Tapi, dia juga pernah melindungiku dengan sepenuh hati."Janice sebenarnya bisa memahami perasaan Rensia. Dalam situasi tanpa harapan, orang terdekat justru menjadi satu-satunya pegangan. Bagaimana dia bisa membujuk Rensia untuk melepaskan itu?Detik berikutnya, moncong pistol Rensia sudah menempel di kening Janice. Janice menarik napas dalam-dalam, menatap orang di depannya dalam diam.Rensia berbicara dengan nada datar, "Aku akan memberitahumu satu hal lagi. Dia nggak mau kamu ta
Jason mengangkat tangannya dan hendak menyentuh pipi Janice. Namun, sebelum sempat menyentuh, tangannya langsung terjatuh dengan lemas seperti kehilangan kekuatannya. Setelah itu, seluruh tubuhnya terjatuh ke bahu Janice.Janice segera memeluk Jason dengan tangan yang bergetar. "Bangun, jangan mati. Urusan kita masih belum selesai ...."Namun, pada saat itu, terdengar suara dan pintu lift pun terbuka. Terlihat Norman yang datang mendekat bersama beberapa orang dan langsung memapah Jason, lalu bertanya, "Mana dia?""Di lantai atas," jawab Janice sambil menatap tangannya yang berlumuran darah dengan bengong."Aku akan menangani sisanya, kamu pergi ke rumah sakit dulu," kata Norman.Setelah itu, Norman memberikan isyarat mata pada kedua orang di belakangnya. Kedua orang itu pun segera masuk ke lift dan pergi ke lantai atas.....Di rumah sakit.Janice berdiri dengan tatapan kosong di koridor. Tubuhnya penuh dengan darah yang sudah mengering dan menempel erat di kulitnya.Melihat itu, Norm
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti
Di Moonsea Bay.Janice baru saja menyerahkan kalung yang didesainnya untuk istri Hady si kurir itu.Hady tersenyum dan berkata, "Apa Vega sebentar lagi akan jadi seleb ya?"Janice yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksudmu?""Istriku lihat gambar Vega saat sedang melihat-lihat video. Dia bilang sekarang banyak orang yang bilang dia mirip seseorang yang sangat terkenal ... namanya aku sudah lupa."Setelah mengatakan itu, perhatian Hady langsung tertuju pada kalung di dalam kotak. "Wah. Nona Janice, kamu benar-benar hebat. Aku nggak menyangka hanya dengan empat jutaan saja sudah bisa membeli kalung yang begitu bagus. Istriku pasti suka."Hady menutup kotaknya dengan hati-hati, lalu menyimpannya ke dalam saku di dalam jaketnya.Namun, Janice masih memikirkan perkataan Hady tadi. "Hady, gambar Vega apa yang tadi kamu maksud?""Itu komik yang digambar Nona Tukang Jerit di penginapanmu. Istriku bilang ceritanya sangat lucu dan karakter bayi yang baru muncul itu yang begitu mirip dengan Veg
Tanpa perlu dijelaskan, Norman tahu Arya pasti mengerti orang yang dimaksudnya adalah Janice. Dia meminta Arya melakukan itu karena merasa foto itu mungkin bisa membantu Jason di saat krusial.Saat terpikir Jason, Arya tersenyum pahit. Dia adalah orang yang paling mengerti kondisi Jason selama tiga tahun ini. Hanya saja, rencana seperti ini sering tiba-tiba berubah.Setelah mengajukan cuti dan hendak memesan tiket pesawat ke Kota Genggi, ponsel Arya tiba-tiba menerima pesan dari Zion.[ Aku menemani tuan mudaku dinas ke Kota Genggi. Bagaimana kalau aku terbang ke Kota Pakisa untuk bertemu denganmu? Tenang saja, aku nggak membawa anak. ]Arya langsung menyadari Zion juga sudah tahu dan merasa ada firasat buruk.Firasat buruk Arya memang benar. Pada detik berikutnya, Norman pun menerima perintah dari Jason. "Pak Jason sudah tahu Pak Landon pergi ke Kota Genggi. Dia suruh aku mengatur perjalanannya ke sana juga.""Habis sudah ...." Arya langsung merasa kesulitan.Keduanya pun akhirnya sep
Lima menit kemudian, Arya sudah terikat di kursi kantornya. Dia menatap Norman dan berkata sambil tersenyum, "Jangan main-main lagi, sebentar lagi aku harus keliling kamar pasien."Norman bersandar di meja dan berkata dengan ekspresi serius, "Minggu ini giliranmu jaga klinik, jadi kamu nggak perlu keliling kamar pasien. Jangan harap bisa menghindar. Cepat katakan, itu anak siapa?""Punya Zion," jawab Arya dengan sangat serius dan tegas.Sudut bibir Norman berkedut, lalu mengernyitkan alisnya dan berkata, "Kamu tahu maksudku."Arya mengalihkan pandangannya. "Hanya komik, kebetulan saja.""Kalau hanya kita bertiga yang mirip dengan karakter di komik itu, masih bisa dibilang kebetulan. Tapi, penampilan anak kecil itu hanya kamu, aku, dan Pak Jason saja yang tahu, siapa yang bisa gambar sampai begitu detail? Kecuali dia benar-benar ada. Perlu aku teruskan lagi?" jelas Norman."Bisakah kamu nggak seperti Pak Jason? Aku benar-benar nggak tahu," kata Arya sambil memalingkan wajahnya dengan gu
Saat Janice mengatakan itu, Louise merasa makin bersemangat. "Aku tiba-tiba dapat inspirasi, aku naik ke atas dulu."Melihat Louise berlari dengan cepat, Janice juga tidak terlalu memikirkannya karena kebetulan jam di dinding menunjukkan sudah waktunya untuk menjemput anak. Dia berjalan kaki menuju TK di kota. Pukul setengah empat, kelas penitipan anak pun pulang terlebih dahulu. Seorang anak kecil memakai topi kuning dan rambutnya dikepang dua berlari terhuyung-huyung ke arahnya."Mama, aku rindu kamu," kata Vega.Janice menggendong Vega, lalu mengeluarkan sebuah permen dari sakunya. "Guru bilang hari ini kamu paling baik, jadi ini hadiah untukmu.""Wah. Mama, terima kasih," kata Vega dengan sepasang mata yang terlihat bersinar, bahkan sempat mengecup pipi Janice.Setiap kali Vega mengecupnya seperti ini, Janice selalu merasa sangat bersyukur telah pergi dari kehidupan sebelumnya karena sekarang Vega akhirnya kembali lagi ke sisinya. Tanpa kehidupan yang mewah sekaligus menyesakkan se
[ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Jason menatap tulisan itu cukup lama sebelum akhirnya kembali tersadar. Tenggorokannya kering, suaranya serak saat berkata, "Tega sekali ...."Seolah-olah sudah bisa menebak isi surat itu, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Jason lantas meletakkan kedua surat itu berdampingan, mengambil dua gelang kapibara dari dalam lemari.Plak. Suara kecil terdengar saat gelang itu melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia mengepalkan tangannya, menatap lekat-lekat dua kalimat yang menghantam hatinya.[ Kita jadian yuk. ][ Hubungan kita cukup sampai di sini saja. ]Seakan-akan baru saja mendapatkan sesuatu di detik sebelumnya, lalu langsung kehilangan di detik berikutnya.Wajah Jason perlahan memucat, matanya memerah. Dia menunduk sedikit untuk menyembunyikan kesedihannya."Janice, kembalilah."....Tiga tahun kemudian, di Moonsea Bay. Kurir bernama Hady sedang mengangkat paket-paket ke dalam mobil."Bu Janice, sepertinya tahun ini toko online-mu la
Kebetulan tangannya menyentuh kunci itu. Kira-kira, kunci yang satu lagi untuk apa?Jason mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat lemari yang terkunci. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamar utama, ruangan yang paling tidak ingin dia buka. Meskipun sudah berlalu begitu lama, aroma Janice masih memenuhi setiap sudut ruangan.Pandangannya akhirnya tertuju pada satu-satunya lemari di sudut ruangan yang tidak ditutupi kain penutup debu, seolah-olah sedang menuntunnya.Jason membawa kunci itu mendekat dan membukanya dengan mudah. Yang terpampang di depan adalah semua hal yang berkaitan dengan dirinya dan Janice. Janice tidak membawa apa pun.Bahkan, gelang kapibara yang mereka menangkan bersama di pasar malam bertahun-tahun lalu pun masih ada di sana.Dua gelang itu tersimpan di dalam lemari, masing-masing menekan dua pucuk surat. Satu surat beramplop merah muda sudah tampak memudar warnanya, jelas sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.Yang satu lagi hanya amplop
Jason sangat paham arti sebenarnya dari desakan Anwar soal anak. Selain untuk mengikatnya, itu juga cara agar Keluarga Karim dan Keluarga Luthan terikat erat satu sama lain.Jason tidak akan membiarkan Anwar mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itulah, dia sudah mempersiapkan segalanya sejak awal.Saat ini, seluruh ruang makan menjadi hening. Bahkan saat sendok di tangan Rachel jatuh ke lantai, tidak ada yang bereaksi.Semua orang tahu Ivy tidak bisa punya anak, sementara Zachary lebih memilih terus diserang daripada menceraikannya. Jadi, satu-satunya harapan garis keturunan Keluarga Karim ada pada Jason.Kini, Jason telah melakukan vasektomi. Itu artinya, dia benar-benar memutus harapan Anwar.Dada Anwar naik turun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, "Jangan bercanda seperti itu. Aku cuma seorang ayah yang ingin melihat cucuku lahir dengan mataku sendiri.""Kamu sudah punya cucu. Namanya Yoshua. Lupa secepat itu?" timpal Jason dengan datar."Yang sudah berl
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can