Saat keluar lagi, Arya dan Norman berdiri di ruang tamu, menatap Janice dengan tatapan bingung.Norman lebih dulu melangkah maju. "Kamu kenapa? Obat maag yang dulu dibeli Pak Jason itu obat maag terbaik, nggak mungkin nggak sembuh-sembuh."Menghadapi keraguan itu, Janice tahu apa yang sedang dicurigai oleh Norman. Apa yang terjadi di acara tunangan waktu itu, sebagai asisten pribadi Jason, Norman pasti tahu semua dengan jelas.Lambung Janice yang tegang kembali berkontraksi. Dia menelan ludah dua kali dengan paksa agar bisa menahannya."Sejak ibuku kecelakaan, aku jadi sering lupa minum obat. Mungkin jadi makin parah.""Oh, begitu ya?"Norman mendekat, seolah-olah sengaja membiarkan Janice mencium aroma sabun dari tubuhnya.Janice menggertakkan gigi dan menahannya, lalu menatap Norman dengan tenang.Norman mengernyit kuat, tetapi akhirnya mundur dengan sopan."Maaf, Bu Janice.""Nggak apa-apa."Janice baru saja ingin menghela napas lega, tetapi kemudian sadar Arya menatapnya tanpa berk
Pemantik api Jason baru saja menyala, tetapi akhirnya dipadamkan kembali. Rokok yang sudah setengah menyala itu pun dilemparkan ke atas meja.Norman menyodorkan semangkuk sup lagi kepadanya. "Pak Jason, silakan."Ujung jari Jason menyentuh bibir mangkuk yang masih mengepulkan uap hangat. Dia bertanya dengan datar, "Kapan dia berangkat?""Lusa."Jason menatap mangkuk di tangannya tanpa berkata-kata lagi.Dalam keheningan itu, mereka berdua tidak menyadari bahwa Rachel sedang bersembunyi di luar pintu.Wanita itu bersandar pada dinding di sebelah pintu, mendongak membiarkan air mata jatuh tanpa suara.Begitu mendengar suara dari dalam ruangan, Rachel buru-buru menopang tubuh pada dinding dan kembali ke kamarnya.Saat melangkah masuk, dia baru menyadari sejak dia tinggal di kamar ini, Jason telah mengosongkan semua barang pribadinya. Dia tetap dia. Jason tetap Jason.Rachel jatuh terduduk di tepi ranjang. Entah sudah berapa lama berlalu, dia mengambil ponsel dan mengirim pesan ke Janice.
Saat itu juga, pegawai toko kue memecah keheningan yang canggung dan berat di antara mereka."Kak, jus dan red velvet cheesecake-nya, silakan dinikmati.""Terima kasih."Janice menunduk, lalu mulai mengaduk jusnya perlahan dengan sendok panjang, memutar-mutar potongan buah di dalamnya.Rachel menatap makanan di depannya sekilas. Dengan nada seperti menginterogasi, dia bertanya, "Anak itu ... anak siapa?"Kling! Suara nyaring terdengar saat sendok di tangan Janice menabrak dinding gelas. Namun, dia sama sekali tidak berhenti, tetap lanjut mengaduk, seperti tidak terjadi apa-apa.Dari luar, Janice tampak tenang. Di mata Rachel, itu justru terlihat seperti upaya menyembunyikan sesuatu.Wajah Rachel yang pucat menjadi merah karena emosi. Dengan geram, dia berucap, "Jadi, kamu memang hamil."Dada Janice naik turun. Dia tidak tahu bagaimana Rachel bisa tahu tentang kehamilannya. Yang dia tahu sekarang adalah kalaupun Rachel membawa hasil USG dengan namanya tertulis di situ, dia tetap harus t
Janice terkejut mendengar suara Rachel. Gelas sudah menempel di bibirnya. Dia tidak tahu harus meminumnya atau tidak.Rachel melanjutkan, "Pura-pura minum, lalu taruh pelan-pelan."Janice tidak memahami maksudnya, tetapi tetap menurut. Dia berpura-pura mengangkat kepalanya seperti sedang minum, lalu perlahan meletakkan kembali gelas itu ke meja.Dengan suara pelan, Janice bertanya, "Kenapa?"Rachel tersenyum getir. "Karena di dalam jus itu ada obat penggugur kandungan."Tangan Janice yang menggenggam gelas langsung mengencang, hampir ingin melemparkannya. Akan tetapi, dia tidak bisa menebak maksud Rachel sekarang, jadi tidak berani bertindak sembarangan.Rachel tetap berbicara seperti sedang mengobrol santai, "Tenang saja. Dosisnya nggak cukup buat langsung bikin kamu keguguran. Paling cuma bikin tanda-tanda awal, kayak nyeri perut sedikit."Mendengar Rachel mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, bulu kuduk Janice berdiri. Dia pun merasa panik. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa R
"Awalnya aku berniat membawa semua ini masuk ke liang kubur, nggak akan pernah kukatakan. Tapi tadi, waktu kamu bicara ke anak kecil itu, aku seperti baru terbangun dari mimpi.""Aku tersesat begitu lama, sampai lupa kalau dulu aku menolong dia bukan karena mengharapkan balasan, tapi karena aku benar-benar mencintainya."Rachel tersenyum, tampak bahagia dan penuh rasa puas. Dia menopang wajahnya dengan kedua tangan, seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta pada Jason."Kamu tahu nggak? Sebenarnya dia nggak secuek itu. Dia suka bantu orang, kadang senyumannya juga luar biasa manis. Dia cuma nggak suka banyak bicara.""Hm." Janice mengangguk. Dia tahu.Rachel tersenyum getir. "Tentu kamu tahu. Kalian sudah kenal lama. Jadi, Janice, bisakah kamu jangan rebut dia dariku? Aku benar-benar nggak bisa melepaskan dia."Janice menatap Rachel dan menjelaskan pelan, "Kalian itu suami istri, nggak ada yang bisa rebut dia darimu.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu ...." Senyuman Rac
Di bandara, Landon mengulurkan tangan untuk mengambil koper Janice. "Janice, aku minta maaf. Aku benar-benar nggak tahu Rachel bisa sebodoh itu.""Nggak apa-apa, toh aku juga akan pergi. Malah harus terima kasih karena kamu sudah menyiapkan semuanya untuk keberangkatanku secepat ini."Tatapan Janice tenang, tetapi dari sudut matanya, dia terus melirik ke arah luar bandara.Landon tahu dia masih belum rela pergi. Mungkin belum rela meninggalkan tempat di mana dia tumbuh, atau keluarga, atau mungkin seseorang.Landon mencoba menenangkan, "Mau telepon dulu sebentar buat pamitan?"Janice mengalihkan pandangan dan menggeleng. "Nggak usah. Ibuku itu cengeng, sekali nangis nggak bisa berhenti. Aku nggak sanggup dengarnya."Meskipun begitu, suara Janice terdengar serak dan menahan tangis. Bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada ibunya pun tidak bisa, mana mungkin dia bisa merelakan semudah itu?Setelah Janice menenangkan diri, Landon berkata dengan lembut, "Ayo, aku sudah minta Zion siap
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Jason tersenyum. "Baiklah, aku akan menunggu."Saat Jason menerima Vega yang agak memberontak, Hady langsung tertegun saat menatap mereka. "Pantas saja aku merasa kamu begitu familier, kalian berdua ....""Keluarga pasien! Keluarga pasien!" teriak perawat."Aku segera ke sana," jawab Hady.Setelah Hady pergi, Vega mengangkat kepala dan menatap wajah Jason. Namun, dia tidak menangis ataupun marah.Meskipun anak itu ada di depan mata, Jason masih merasa semuanya tidak nyata. Dia memeluk Vega dengan lebih erat dan menarik Vega agar lebih dekat dengan hati-hati. Saat dia bisa mencium aroma khas tubuh Vega dan bahkan ada sedikit bau Janice yang samar-samar, dia baru berani yakin anak ini adalah Vega di mimpinya. Hanya saja, wajah anak ini lebih bulat daripada wajah Vega di mimpinya.Mulut Jason bergerak, seolah-olah ada banyak hal yang ingin ditanyanya. Namun, saat dia hendak membuka mulut, Vega yang berada dalam pelukannya bergerak beberapa kali dan menunjuk mesin penjual otomatis di loron
Saat pria itu hendak memakaikan kalung itu pada istrinya, Jason tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Kalung ini dari mana?"Nada bicara Jason yang dingin membuat pria itu terkejut dan menjawab, "Dari ... Vega Jewelry. Bosnya adalah orang dari desa kami. Dia menjual perhiasan, sangat hebat."Wanita yang baru saja melewati kontraksinya pun meninju suaminya. "Apanya yang penjual perhiasan? Ini namanya desainer perhiasan.""Ya, aku memang mudah lupa," kata pria itu.Jason menatap desain pita yang pita yang istimewa itu. Dari lekukan hingga ukiran yang kecil-kecil di atasnya, semuanya itu adalah gaya khas Janice. Tenggorokannya terasa kering dan bertanya dengan suara serak, "Siapa?""Ja .... Ah! Sakit sekali!" teriak wanita itu tiba-tiba sebelum selesai menjawab pertanyaan Jason, lalu mencengkeram suaminya dan Jason dengan erat.Begitu pintu lift terbuka, kebetulan ada seorang perawat yang melihat kejadian itu dan segera memanggil orang untuk membantu. Saat dokter bertanya te
Nama yang tertera di sepatu itu adalah Vega.Saat itu, seorang guru yang sedang menjaga ketertiban di lokasi itu segera berlari mendekat. "Mama Vega, Vega nggak ada di sini. Anak-anak yang terluka parah sudah segera dibawa ke rumah sakit kota.""Terluka parah?" tanya Janice dengan suara bergetar.Guru itu menggigit bibirnya, lalu berkata, "Kepala sekolah sudah pergi ke sana, kamu juga segera pergi ke sana saja."Janice baru saja hendak berbalik, tetapi tubuhnya langsung ambruk.Arya segera memapah Janice. "Aku antar kamu ke rumah sakit."Janice hanya bisa menahan air matanya dan menganggukkan kepala. Setelah berlari ke rumah sakit dan diberi petunjuk oleh perawat, dia pun menemukan lantai tempat para korban kecelakaan TK dirawat. Di tengah kerumunan, dia langsung menemukan gurunya Vega. "Guru, mana Vega? Dia baik-baik saja, 'kan?""Vega baik-baik saja. Saat aku membawanya untuk menghindar, aku terpaksa membawanya bersamaku ke rumah sakit karena aku harus buru-buru mengantar para korban
Begitu mendengar terjadi kecelakaan di TK, Janice tanpa ragu langsung berlari keluar. Arya dan Louise segera mengikuti dari belakang."Kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil di TK?" tanya Arya."TK ini dibangun di lereng. Saat bus pariwisata turun dari bukit, sopirnya juga nggak tahu kenapa nggak menginjak rem dan langsung menerobos masuk ke TK. Saat itu banyak anak-anak yang sedang bermain .... Aduh, tunggu aku!" jelas Louise.Hanya mendengar penjelasan singkat dari Louise, naluri menyelamatkan sebagai seorang dokter membuat Arya langsung tahu kecelakaan ini sangat parah.Saat ini, sebuah bus besar terjepit di tembok TK. Bagian depan bus sudah menerobos masuk ke lapangan bermain sepenuhnya, sedangkan bagian belakangnya tergantung. Banyak orang di sekitar yang sedang membantu dan banyak anak yang diangkut keluar dengan menangis terisak-isak.Janice segera berlari mendekat dan menarik seorang anak yang sedang memegang lengannya. Anak itu adalah teman sekelas Vega. "Mana Vega?"Anak itu me
"Wanita apa? Panggil aku Wanita Ganas Pengayun Golok Tengah Malam," kata Louise yang berdiri di depan Janice dan melihat pria di depannya dengan tatapan ganas.Pria itu bertanya sambil mendesis, "Kamu penulis komik itu, 'kan?"Louise merapikan rambutnya, lalu berkata dengan suara yang menjadi manis, "Kamu ini penggemar fanatik, 'kan?""Aku bukan penggemar fanatik, aku adalah dewa," kata pria itu dengan kesal, lalu melempar sapunya dan menepuk debu di pakaiannya. Setelah itu, dia berjalan melewati Louise dan mendekati Janice.Melihat pria itu sudah mengejar sampai sini, Janice merasa tidak perlu bersembunyi lagi. Lagi pula, pria ini sudah melihatnya mengantar anak. Dia menepuk bahu Louise dan berkata dengan tak berdaya, "Aku kenal dia."Louise terkejut, lalu mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan dia ini ... ayahnya Vega?""Jangan sembarang berbicara. Kalau ada yang mendengar, aku akan mati," kata pria itu dengan marah.Mendengar perkataan itu, Janice tersenyum dan menggelengkan kepala kar
Zion segera maju dan memapah Landon. Saat melihat luka Landon dari dekat, dia langsung mengernyitkan alis. "Pukulan Pak Jason terlalu keras."Landon mengambil handuk dan menyeka sudut bibirnya. "Sudahlah, anggap itu pelampiasan saja. Kalau dia sudah menemukan tempat ini, kita sepertinya nggak bisa menipunya dengan bilang hanya kebetulan saja. Lebih baik beri Janice sedikit waktu lagi.""Tuan Landon, kamu sebenarnya punya niat pribadi juga, 'kan? Kamu ingin lebih dulu menemukan Nona Rachel daripada Pak Jason, 'kan?" kata Zion.Landon sama sekali tidak membantah. Dia sering berpikir apakah semuanya akan berbeda jika dia yang bertemu dengan Janice terlebih dahulu. Oleh karena itu, kali ini dia juga ingin mengambil risiko. "Zion, terus selidiki jejak Janice. Harus lebih cepat dari Pak Jason.""Baik," jawab Zion.....Setelah kembali ke kamar, Jason mengambil handuk dan menyeka tangannya yang terluka dengan tatapan dingin dan ekspresi cuek.Norman baru saja ingin mendekat dan menenangkan, t
"Biar aku saja," kata Dipo."Nggak perlu. Kamu ini baru pulang seminggu sekali, cepat pergi lihat orang tuamu," kata Janice sambil tersenyum dan menggendong Vega, lalu berbalik dan masuk ke penginapan.Dipo terbata-bata sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk pergi.Louise mengikuti Janice dan berkata, "Dokter Dipo sepertinya tertarik padamu dan sangat baik dengan Vega juga. Kenapa kamu malah menolaknya?""Sekarang kehidupanku cukup baik, aku hanya butuh Vega saja," jawab Janice sambil memeluk Vega dengan erat. Dia berpikir orang tidak boleh terlalu serakah.Louise mengangkat bahunya dan bertanya dengan penasaran, "Jangan-jangan kamu masih memikirkan ayahnya Vega? Dia itu pria berengsek."Janice langsung menutup telinga Vega. "Jangan sampai anak kecil mendengarnya.""Baiklah. Oh ya. Tadi ada pria yang super tampan datang ke sini, penampilannya itu seperti model," kata Louise sambil terus menggerakkan tangannya.Janice hanya menganggukkan kepala dengan cuek, sama sekali tidak memedulika
Saat Janice dan Dipo sedang membicarakan beberapa hal, Louise pergi keluar sambil memegang lolipop. Namun, Vega ternyata tidak berada di sana, dia pun terkejut sampai berkeringat dingin. Dia segera menarik salah satu karyawan dan bertanya, "Mana Vega?"Karyawan itu menunjuk ke toko hadiah di sebelah dan berkata, "Dia ke sana untuk cari makan dan minum lagi."Tetangga serta orang-orang di sekitar sana sudah sangat akrab dan Vega juga anak kecil satu-satunya di jalan itu, sehingga semua orang sangat menyayanginya.Louise baru saja hendak menghela napas lega, tetapi tatapannya tiba-tiba tertuju ke seberang jalan. "Wah .... Pria super tampan!"Karyawan itu pun terkekeh-kekeh. "Mulutmu jangan terbuka begitu .... Memang tampan, tapi kenapa rasanya agak familier?""Kamu jangan bodoh begitu, lihat aku saja," kata Louise sambil merapikan rambutnya dan hendak berjalan ke arah pria itu.Namun, karyawan itu menghentikan Louise. "Kamu yakin mau pakai piama ke sana?"Mendengar perkataan itu, Louise
Karakter dalam komik itu fiktif dan gambar anak kecil itu juga hanya mirip dengan Vega sekitar 70% sampai 80% saja. Oleh karena itu, tidak bisa dibilang identik dan tidak termasuk dengan pelanggaran privasi juga. Namun, Louise sangat menyukai Vega, tentu saja tidak ingin mempersulit Janice. "Kalau begitu, nanti aku akan klarifikasi dan ubah penampilan bayi itu.""Baiklah," jawab Janice.Begitu percakapan keduanya selesai, televisi di dinding ruang tamu penginapan tiba-tiba menayangkan berita yang sedang viral. Berita itu berisi gambaran Jason yang memapah Rachel masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Rachel terlihat bergerak dengan sangat pelan. Reporter berspekulasi program kehamilan mereka sudah berhasil.Saat melihat gambaran di layar televisi, Janice langsung tercekat. Setelah dia pergi, Anwar selalu mencari kesempatan di berbagai acara untuk mengumumkan pasangan suami istri itu sedang berusaha memiliki anak. Belakangan ini, Rachel juga ikut mengiakan kabar itu. Dia berpikir seperti