Janice sengaja berkata lebih keras, "Dia datang untuk minta maaf pada ibuku. Katanya dia juga diinjak oleh orang lain, jadi nggak sengaja injak ibuku, bahkan dia bilang harus menemukan orang itu."Napas Verica tiba-tiba tersendat. "Waktu itu orangnya banyak, mungkin juga nggak sengaja.""Sengaja atau nggak, biar Keluarga Karim yang memutuskan," kata Janice dengan tegas.Selesai berbicara, Janice melirik Jason, seakan-akan memberi isyarat bahwa semua akan ditangani olehnya. Metode Jason sudah terkenal di Kota Pakisa, membuat siapa pun merasa gentar.Wajah Verica tampak sedikit pucat. Dia segera menggandeng Leah. "Kalau begitu, kami nggak akan mengganggu istirahat Bu Ivy. Kami pamit dulu."Keduanya berbalik hendak pergi.Namun, saat itu Janice mengeluarkan parfum dan menyemprotkannya dua kali di tubuhnya. Aroma anggrek yang khas langsung menarik perhatian Verica dan Leah.Verica menoleh cepat, menatap botol parfum itu. Urat di pelipisnya tampak menonjol. Leah pun terhenti sejenak, ikut m
Ivy menghela napas. "Dia sendiri yang meracik parfum itu saat berkunjung ke laboratorium, jadi aku bingung kenapa kamu bisa mencium aroma ini di tubuh Verica? Apa itu cuma kebetulan?"Dia bahkan menatap Janice dengan sorot mata penuh harapan.Janice menggeleng. "Bu, aku yakin sekali.""Kok bisa? Itu jelas nggak mungkin," tegas Ivy."Bu, mungkin saja teman kerjamu memberikan parfum itu juga kepada orang lain?""Dia nggak pernah bilang begitu padaku."Petunjuk pun terputus.Jason maju selangkah. "Kamu yakin dia sudah meninggal?"Ivy terdiam sejenak. "Tentu saja, kami yang antarkan jenazahnya untuk kremasi. Jason, aku tahu apa yang kamu maksud, tapi kalau dia masih hidup, masa aku nggak bisa mengenalinya saat dia berdiri di depanku?""Memang waktu pertama kali aku melihat Verica, aku sempat ragu. Tapi sifatnya sama sekali berbeda dengan temanku itu."Jason hanya menggumam pelan, tidak lagi berbicara.Suasana di kamar pasien mendadak sunyi mencekam. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu, memb
Saat kembali ke rumah sakit, cuaca cerah di siang hari tiba-tiba berubah menjadi langit yang gelap penuh awan, seakan-akan membuat orang sulit bernapas.Embusan angin dingin menerpa, Janice menyusutkan lehernya, tanpa sadar salah langkah dan hampir terjatuh dari anak tangga. Saat jatuh, dia menabrak pelukan seorang pria."Mau menyerahkan diri ke pelukanku?""Bukan." Janice berusaha melepaskan diri, tetapi justru dipeluk lebih erat oleh Jason. Dia hanya bisa melirik sekitar. "Jason, ini rumah sakit, banyak orang.""Bagus dong. Bisa sekalian mengancammu supaya kamu memberiku status." Jason menyahut dengan wajah tenang."Mengancamku? Aku nggak takut apa-apa."Jason salah orang ya? Seharusnya Jason yang takut! Baru kehilangan istri, sekarang malah memeluk wanita lain di depan umum.Jason menunduk, suaranya rendah. "Kalau nggak, kamu nggak pernah mau tanggung jawab setelah turun dari ranjang."Janice sampai tertawa saking kesalnya. "Jason, kamu ini nggak punya rasa malu ya."Jason semakin d
Jason mengelus botol parfum di tangannya. "Teman baik ibumu? Apa dia juga rekan kerja ibumu?"Janice tertegun. "Kenapa kamu tanya begitu?"Jason tidak langsung menjawab, melainkan menarik Janice ke tepi ranjang dan mengangkat tinggi botol parfum itu.Botol yang awalnya terlihat biasa saja itu memantulkan cahaya pecahan kaca berkilauan saat terkena sinar matahari. Namun ketika diturunkan, botol itu kembali terlihat biasa.Janice sedikit terkejut. "Ibu nggak pernah bilang kalau botol ini punya sesuatu yang tersembunyi."Jason menggenggam botol itu. "Botol ini terasa sangat berkualitas, juga cukup berat. Nggak mungkin botol sebagus ini terlihat biasa-biasa saja. Kalau botol seperti ini ada sejak 20 tahun lalu, pasti bukan merek parfum biasa."Belum lagi isi parfumnya adalah racikan khusus. Bukan sesuatu yang bisa didapat orang biasa.Janice menatap botol itu sambil mondar-mandir, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. "Ibu pernah bilang kalau dulu dia sempat bekerja di sebuah toko parfum, tapi
Mendengar wanita itu mengatakan parfum itu adalah racikan khusus Verica, Ivy terbelalak dan berkata, "Nggak mungkin."Kemudian, Ivy tiba-tiba pingsan. Janice segera memanggil dokter.Setelah memeriksa, dokter mengingatkan, "Jangan buat pasien emosional atau banyak pikiran."Zachary mengangguk berulang kali. Dia memberi isyarat agar semua orang keluar, membiarkan Ivy beristirahat dengan baik.Setelah keluar dari ruang rawat, wajah Zachary tegang. "Janice, pergi ke vila dan cari parfum milik ibumu. Pastikan apa itu sama dengan aroma yang kamu cium dari Verica.""Baik." Janice juga merasa mereka harus segera memastikan hal ini. Kebencian Verica terhadap dirinya dan Ivy jelas disertai faktor lain.Saat meninggalkan rumah sakit, Rensia mendapat telepon dari kantor polisi. "Yosep ingin bertemu denganku, sepertinya dia mau bernegosiasi.""Apa rencanamu?" Janice tahu bahwa Anwar pasti tidak akan membiarkan Yosep masuk penjara.Rensia tetap tenang. "Kalau memang mau bernegosiasi, kita lihat dul
Janice menjelaskan, "Waktu di rumah sakit, aku kebetulan bertemu Verica dan Leah. Mereka berdua ingin memakai cara seperti ini untuk menabrak ibuku, tapi aku sempat menghalangi.""Kalau turun tangga, saat orang banyak, tabrakan seperti ini wajar, kebanyakan orang nggak akan mempermasalahkannya."Rensia bertanya, "Tapi, masa orang yang mendorong ibumu sama sekali nggak merasa apa-apa?"Janice tidak bisa menjawab. Apa mungkin Verica punya orang dalam di Keluarga Karim?Jason menatap layar yang terhenti dan berkata, "Dengan posisi sekarang yang dimiliki Kak Zachary, siapa yang berani mengaku? Selama nggak ada yang mengaku, paling hanya dianggap kecelakaan."Janice menatap Jason dengan bingung.Jason menggeser layar ponselnya. "Orang di tengah ini melambat dua langkah, setelah itu ibumu jatuh. Mungkin kakinya diinjak atau ditendang. Saat menolong ibumu, dia nggak seperti orang lain yang ikut melihat keadaan, justru cepat-cepat bergeser ke pinggir."Janice menatap layar beberapa detik, lalu