Share

2. Perjanjian Dengan Iblis

Gao Tian melangkah berhati-hati karena dirinya enggan sial untuk yang kesekian kali. Dia menelusuri lorong gua yang landai.

“Ah, ya. Siapa tahu, di sini aku menemukan sebuah pedang sakti …, atau pisau, tongkat sekalipun tak mengapa. Asal bisa membuat diriku memiliki kekuatan yang dahsyat. Sehingga, aku dapat membutikan pada Xiao Mei bahwa aku—”

Turun mengulir dua kali, Gao Tian tiba pada dasar gua. Ia terdiam, tatkala melihat ada sebuah undakan dengan batu layaknya nisan tertanam di atasnya.

“I-ini … makam …?”

Dalam hatinya Gao Tian bertanya-tanya. Penasaran, ia terus mendekat pada makam yang ada di hadapannya.

Tidak ada ukiran atau tulisan apapun pada batu yang tampak seperti nisan yang sudah sumbing di beberapa bagian karena dimakan oleh waktu itu.

“Siapa orang yang dimakamkan di sini? Orang kayakah ... atau, seorang pendekar! Mungkin saja, di dalamnya terdapat …”

Belum juga Gao Tian selesai mengucapkan kata-katanya, dia merasa kepalanya berat dan disergap oleh kantuk yang sangat. Sekonyong-konyong, badannya tumbang tak berdaya.

Ia tidak mengetahui. Di saat yang bersamaan, pada nisan tersebut muncul simbol-simbol tertentu yang tak dapat dipahami.

Simbol-simbol itu timbul dengan sendirinya, kemudian meleleh layaknya tinta hitam yang lumer lantas menghilang.

“Siapa yang berani menggugah diriku?”

“Ha …?”

Seketika itu Gao Tian terpekur. Ia sendiri terheran-heran. Dirinya sekonyong-konyong berada di sebuah bangunan yang hanya diterangi oleh cahaya obor seadanya.

Di depan dia, ada seorang pria tengah duduk sembari mengangkat kaki dan memangku kepala. Lelaki itu menempati tahtanya yang terbuat dari tulang belulang, mungkin juga senjata-senjata tajam.

Laki-laki tersebut bertanya dengan suara yang dalam dan berat. Artikulasinya pun seperti sedang menggumam.

“Ak-aku … Gao Tian,” lugu Gao Tian menjawab pertanyaan orang tersebut.

“Aku tidak peduli dengan namamu. Yang aku tanyakan adalah: bagaimana bisa kau menjumpai diriku seperti ini?”

Bingung. Gao Tian benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Walau demikian, mulutnya bergerak-gerak dan akhirnya mampu berbicara.

“Ma-maafkan aku, T-tuan … aku seorang yatim piatu. 20 tahun sudah aku menjadi murid di sekte Tujuh Bintang Kejora. Akan tetapi … guruku tidak kunjung mengajariku cara menggunakan ilmu spiritual. Baru saja … aku bertarung dengan murid Amukan Penguasa Api …”

Polos, Gao Tian menuturkan semua yang dirinya alami pada pria yang berada di singgasananya tersebut. Masih dengan gayanya yang terlihat seperti malas-malasan, lelaki berbusana putih juga mengenakan jubah berwarna senada itu memperhatikan lawan bicaranya.

Dalam hati, laki-laki itu berkata-kata, “400 tahun sudah …, tidak ada orang yang dapat menjumpaiku. Tetapi hari ini …, seorang bocah dungu tahu-tahu saja ada di hadapanku. Siapa dia? Apa yang ia lakukan sehingga bisa berhadapan denganku?”

Sementara Gao Tian terus memaparkan bagaimana dia sampai dihajar hingga nyaris tidak dapat berdiri oleh Liu Tong dan tiba di situ.

“It-itulah semua yang aku alami, Tuan. Seandaikan saja … aku mampu lebih kuat dari sekarang.”

Kalimat yang diucapkan Gao Tian belakangan menggelontor begitu saja dari bibirnya seperti tengah mengeluh.

Dalam kepalanya, dia berpikir: apa yang ia alami sekarang merupakan efek samping dari jurus yang dilepaskan Liu Tong.

“Aku sedang berhalusinasi, melindur atau apapun namanya,” pasrah dia dalam benaknya.

“Hmmm …,” gumam sang pria misterius. Terdiam sejenak tanpa ekspresi yang berarti, dia bangkit dari tahtanya seraya berucap. “Jadi …, kau ingin menjadi kuat. Benar, bukan?”

Serasa menemukan orang yang memahami dirinya, mata Gao Tian melebar. Ia menjawab, “Y-ya …, betul, Tuan. Aku ingin menjadi kuat.”

Dari platformnya, si pria memandang pada Gao Tian yang ada di bawah. Terdiam sejurus, laki-laki itu kembali bersuara. “Aku bisa memberikan kekuatan untukmu.”

Karena berpikir dirinya sedang berhalusinasi, Gao Tian tidak langsung bereaksi. Dia hanya termangu. Lelaki tersebut berkata lagi.

“Tetapi, ada syaratnya. Pertama: biarkan aku menyatu dengan dirimu. Kedua: turuti semua instruksiku. Ketiga …, ini yang penting. Apa kau siap mendengarkanku?”

“Aku menyimak, Tuan.”

“Aku adalah Xuanwu. 400 tahun yang lalu, ada 6 iblis yang menyegel jiwaku di sini. Aku ingin kamu dan aku …, kita, menaklukkan mereka. Kamu mau melakukannya?”

“Bagaimana caranya?”

Untuk sekejap, Xuanwu merasa pertanyaan Gao Tian konyol. Tetapi dia tetap bersabar. Mengambil napas, dia menjelaskan.

“Jika kau menyatu denganku, aku akan membangkitkan kekuatan spritualmu. Namun, ada … katakanlah beberapa hal yang mesti kamu lakukan agar semakin kuat. Itulah mengapa kau harus menurut padaku.”

Usai dia mengucapkan kata-katanya, Xuanwu tersenyum tipis. Sedangkan Gao Tian terdiam mematung.

Selama ini, dia bercita-cita untuk menjadi pendekar yang perkasa. Sayang, guru-gurunya tidak kunjung mengajari dirinya mengerahkan ilmu spiritual.

Sekarang, ada seseorang yang entah nyata atau tidak berdiri di hadapan dia dan berjanji untuk memberikan kekuatan padanya.

“Apakah aku harus …”

“Bagaimana, apakah kau bersedia menyatu denganku, Gao Tian?”

Tidak sempat Gao Tian menyelesaikan apa yang dirinya pikirkan, Xuanwu sudah bertanya. Kata ‘tidak’ bagai sudah berada di ujung bibir Gao Tian.

Menurutnya, siapa tahu saja guru-gurunya di Bintang Kejora memiliki cara untuk mendidik. Mungkin di usianya yang ke-20 ini, mereka akhirnya akan mengajarkan dia menggunakan kekuatan spiritual.

“Tapi rasanya tidak mungkin. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan membuatku mempelajari ilmu spiritual dan aku akan begini terus hingga 20 tahun yang akan datang. Menjadi bahan olok-olok dan tertawaan …”

Itulah yang terlintas dalam kepala Gao Tian. Sehingga, ia mendongak sedikit sambil berucap pada Xuanwu. “Ya, Tuan Xuanwu. Aku bersedia.”

Pada tempat dia berdiri, bibir Xuanwu bergerak membentuk senyum yang tak kentara. Sorot matanya menatap Gao Tian dalam lagi lekat.

“Anak ini …, apakah dia sudah memikirkan jawabannya dengan masak-masak? Masa bodoh, dia hanya menghendaki agar dirinya menjadi kuat,” Xuanwu bersuara dalam hati, lalu ia bersabda.

“Baiklah, Dik Gao Tian. Mari kita menyatu.”

Selesai berucap, Xuanwu melangkah untuk mengambil dua buah piring dan dan sebilah pisau yang berada pada meja dekat dengan tahtanya.

Saat itu Gao Tian menelan liur. Sebenarnya ia sendiri masih merasa ragu. Benarkah semua yang dikatakan Xuanwu?

“Selain itu jika aku hanya bermimpi, mungkin sebentar lagi aku akan terbangun,” batin Gao Tian tidak ambil pusing.

Setelah sejak tadi berada di atas platform, Xuanwu turun. Ia berdendang halus. “Kita akan berteman, kamu menjadi kuat dan kita akan mengalahkan iblis-iblis!”

Lucu. Gao Tian menganggap tingkah Xuanwu itu tidak dewasa untuk pria yang sepertinya telah menginjak usia 30-an tersebut.

“Aku akan melukai tanganku dengan pisau. Begitu pula kamu. Teteskan darahmu di piring ini, aku juga akan melakukan hal yang sama. Kita bertukar piring, lantas silih meminum darah masing-masing.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status