Share

Bab 5

Nadya akhirnya tidak tahan lagi. Dia berteriak dengan suara pelan, “Petugas keamanan, usir orang gila ini keluar!”

“Baik.” Dua petugas keamanan berjalan mendekat dan ingin mengusir Yoga keluar.

Sebelum mereka bisa melakukannya, Yoga sudah menghitung sampai angka ‘satu’.

Begitu kata ‘satu’ terucap, tiba-tiba saja terjadi perubahan yang aneh.

Bocah laki-laki itu membuka mulutnya dan memuntahkan darah kotor. Pada saat yang bersamaan, tubuhnya juga kejang-kejang dan mulutnya berbusa. Napasnya tersengal-sengal dan wajahnya menjadi pucat pasi.

Adegan yang terjadi secara tiba-tiba itu, langsung membuat ibu si bocah laki-laki menangis. “Kamu kenapa, Nak? Jangan menakuti Ibu?”

Danu sendiri juga takut dan bingung. “Profesor Hendra, apa yang terjadi? Ini … ini gejala normal, ‘kan? Tolong jelaskan padaku.”

Profesor Hendra buru-buru memeriksa bocah tersebut. “Jangan khawatir, Pak Danu …”

Setelah selesai memeriksa, Profesor Hendra menjadi pucat pasi. “Bagaimana ini bisa terjadi? Seharusnya ini nggak boleh terjadi.”

“Si*lan!” Nadya mengumpat pelan dan langsung berlari untuk memeriksa kondisi bocah tersebut.

Selesai memeriksa, tangan dan kaki Nadya terasa dingin.

Bocah itu sulit untuk bernapas. Menurut kondisi saat ini, dia tidak akan bisa bertahan lebih dari lima menit lagi.

Jika bocah ini mati … Nadya tidak berani lagi memikirkannya.

Melihat reaksi mereka berdua, Danu tahu jika terjadi sesuatu yang buruk.

Dia berteriak dengan marah, “Nadya, nggak peduli metode apa pun yang kamu gunakan, kamu harus menyelamatkan anakku! Kalau nggak, tanggung sendiri akibatnya!”

Ibu bocah laki-laki itu juga merasa remuk redam. Dia mengacungkan kuku jarinya ke wajah Nadya, “Dasar b*jingan jahat! Kamu harus mengganti kerugian anakku! Ganti rugi!”

Nadya memejamkan matanya dengan putus asa. Sekarang, satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah membiarkan mereka melampiaskan amarahnya. Lalu, memohon pengampunan pada mereka.

Namun, kuku jari lawan bicaranya tidak kunjung menyentuh wajahnya. Nadya pun membuka matanya karena terkejut.

Terlihat sebuah tangan yang kokoh tengah mencengkeram kuat-kuat tangan ibu bocah laki-laki itu dan melindungi Nadya.

Menyusuri tangan yang kokoh itu, Nadia menemukan jika tangan tersebut adalah tangan Yoga.

Pada saat itu, muncul perasaan aneh di dalam hati Nadya.

Ada begitu banyak orang di ruangan tersebut. Tidak sedikit teman dan orang kepercayaan Nadya. Namun, pada akhirnya malah orang asing yang melindungi Nadya. Benar-benar ironis.

Ibu bocah laki-laki itu berteriak dengan marah, “Lepaskan aku, b*jingan! Aku akan membunuh b*jingan jahat itu!”

“Kalau anakmu adalah sukarelawan dalam uji klinis, seharusnya kalian sudah menandatangani surat pemberitahuan risiko sebelumnya,” kata Yoga dengan santai. “Grup Magani nggak bertanggung jawab atas semua kecelakaan medis yang terjadi selama uji coba klinis. Kalian nggak punya hak untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Apalagi merenggut nyawa mereka.”

“Omong kosong!” Ibu bocah laki-laki itu mengumpat, “Kamu melindunginya. Kamu juga harus mati!”

“Kalau aku mati, bocah ini juga pasti akan mati,” kata Yoga. “Sebaliknya, kalau sekarang kamu meminta bantuanku, mungkin dia masih punya kesempatan untuk bertahan hidup.”

“Kalian semua diam!” teriak Danu. Mata Danu tertuju pada Yoga. “Kamu bilang, kamu bisa menyelamatkan anakku?”

Yoga mengangguk.

Danu melirik anaknya yang menggeliat kesakitan. Sambil menggertakkan giginya, dia pun mengambil keputusan. “Baiklah. Kalau begitu, selamatkan anakku.”

“Aku nggak setuju!” Nadya langsung berteriak, “Dia hanya sopir, yang tahu cara mengendarai mobil. Dia sama sekali nggak tahu apa-apa tentang ilmu kedokteran. Menyuruhnya menyelamatkan orang adalah omong kosong!”

Kemudian, Nadya merendahkan suaranya dan berkata kepada Yoga, “Kamu nggak tahu, seberapa berbahayanya situasi ini. Sebaiknya kamu nggak terlibat dalam masalah ini. Cepat pergi.”

Nadya tidak ingin melibatkan orang yang tidak bersalah.

Danu merasa ragu-ragu. Dia menatap Profesor Hendra. “Profesor Hendra, bagaimana menurutmu?”

“Melihat kondisi pasien saat ini, sekalipun guruku, Dewa Medis, ada di sini, dia juga nggak akan bisa berbuat apa-apa. Apalagi, dia hanya sopir yang nggak tahu ilmu kedokteran,” kata Profesor Hendra.

Harapan terakhir di hati Danu ikut hancur. Dia benar-benar bertindak gegabah karena panik, dengan menaruh harapan kepada seorang sopir.

“Tidak tahu ilmu kedokteran? Lantas, aku menghitung mundur tadi untuk apa?” tanya Yoga dengan dingin.

Tiba-tiba saja, semua orang langsung mengerti.

Ya, barusan Yoga menghitung mundur sampai angka sepuluh. Tiba-tiba saja, pasien mengalami kejadian yang tidak terduga. Hal ini menunjukkan Yoga sudah tahu bahwa pasien akan mengalami kejadian seperti itu.

Bagaimana mungkin mengatakan bahwa Yoga tidak mengetahui ilmu kedokteran?

Kata-kata Yoga inilah yang membuat Danu benar-benar membulatkan tekadnya. “Baiklah. Kamu yang akan menyembuhkannya. Segera lakukan sekarang juga!”

Nadya ingin kembali mencegahnya. Namun, Yoga sudah terlanjur berjalan menghampiri pasien dan memeriksanya.

Nadya menghela napas. Kamu sendiri yang cari masalah. Jangan salahkan orang lain.

Setelah memeriksa pasien, di dalam hatinya Yoga tahu apa yang terjadi pada pasien tersebut. Dia mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, mengisapnya dalam-dalam, dan mengembuskan asapnya ke wajah pasien.

Apa yang dilakukan Yoga tersebut langsung memancing kemarahan semua orang. Amarah Danu meledak. “Apa yang ingin kamu lakukan?”

Nadya juga merasa takut hingga berkeringat dingin. “Cepat matikan rokoknya, ini ruang steril!”

Tanpa diduga, Yoga malah melemparkan semua sisa rokoknya kepada Danu. “Bagikan rokok itu. Siapa pun yang mau merokok, silakan merokok. Oh ya. Tutup pintu dan jendela, agar asapnya nggak keluar.”

“Kamu sebenarnya mau apa?” tanya Danu dengan marah.

“Aku sedang mengobatinya,” jawab Yoga. “Lantaran kamu memintaku untuk mengobatinya, sebaiknya kamu memercayaiku sepenuhnya.”

“Kamu …” Napas Danu tersengal-sengal. Dia tidak tahu apakah mau mengambil risiko atau tidak.

Danu melirik anaknya. Napas anaknya sudah sangat lemah. Wajahnya benar-benar pucat pasi, tanpa ada rona merah sedikit pun di sana. Jelas, anaknya tersebut tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Jika tidak dicoba, anaknya pasti akan mati. Danu membagikan semua rokok tersebut dengan enggan. “Isap rokoknya. Berikan asap yang banyak untukku!”

“Oh ya. Abu rokoknya jangan dibuang. Dikumpulkan saja,” kata Yoga. “Hidup dan matinya pasien, tergantung pada abu rokok ini.”

Tak lama kemudian, laboratorium tersebut dipenuhi asap rokok, layaknya ‘negeri dongeng’.

Nadya dan beberapa wanita lainnya mengeluarkan air mata karena asap ini. Namun, mereka tidak mau pergi. Mereka berharap ‘keajaiban’ akan terjadi … jika memang ada keajaiban di dunia ini.

Rokok itu habis dalam sekejap mata. Yoga mengumpulkan abunya dan mencampurnya dengan garam, hingga membentuk adonan. Kemudian, Yoga langsung memasukkan adonan tersebut ke dalam perut pasien.

Yoga melakukannya dengan begitu cepat, sehingga semua orang tidak mampu menghentikannya.

Rentetan tingkah laku membingungkan yang dilakukan Yoga tersebut, membuat semua orang bingung.

Seseorang bergumam dengan suara pelan, “Aku tahu, ini pasti resep kuno untuk mencelakai orang, atau praktik takhayul. Anak ini bukan dukun keliling, ‘kan?”

Mendengar hal tersebut, ibu bocah laki-laki itu benar-benar remuk redam. Dia bergegas maju dan mencengkeram kerah Yoga. “Katakan padaku, kamu mencelakakan orang apa nggak?”

Yoga tidak menghiraukannya dan kembali mulai menghitung mundur. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh …”

Apa lagi yang ingin dilakukan Yoga?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status